21 October 2016

[Semacam Resensi A MONSTER CALLS] MONSTER ITU ADA DALAM DIRIMU


Judul buku: A Monster Calls (Panggilan Sang Monster)
Penulis: Patrick Ness
Ilustrator: Jim Kay
Alih bahasa: Nadya Andwiani
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, 2016
Tebal: 216 halaman
Harga: Rp 97.000,00 (di Gramedia Bandar Lampung)
Rating saya: 5/5
Kategori: Young adult
Genre: fantasi, drama, realisme-magis

Seorang perempuan sedang duduk dengan kedua kaki diluruskan di atas pembatas semen, di sudut balkon lantai dua sebuah rumah. Di kejauhan depan sana, mengabaikan atap-atap rumah bersembulan rapat, tiang-tiang dan kabel, plang-plang, tampaklah permukaan laut berkelap-kelip dibasuh sinar keemasan matahari sore. Jika ia menoleh ke belakang, menjulang tinggi di sana adalah Gunung Tanggamus, dengan jubah kabut yang jarang ia tanggalkan.
Di tangannya terbuka sebuah buku...
"Conor, seorang bocah laki-laki berumur 13 tahun, adalah tokoh utama buku ini. Patrick Ness membekalinya dengan masalah-masalah: ibunya sakit kanker, kemoterapi membuat kepalanya botak dan tubuhnya lemah sehingga Conor harus dan menjadi terbiasa mengurus dirinya sendiri. Ayahnya, yang tinggal di Amerika bersama istri barunya, hanya menghubunginya sesekali (telepon dwi-mingguan). Neneknya sangat mengintimidasi dan menyebalkan, sehingga Conor sangat ngeri ketika suatu kali ibunya mengumumkan bahwa neneknya akan tinggal di rumah untuk mengurusnya selama sang ibu menjalani perawatan di rumah sakit," ujar perempuan bernama Fri itu pada lubang mikrofon di earphone yang terpasang pada ponselnya.
"Bagaimana dengan kehidupan sekolahnya?" tanya laki-laki di pulau seberang, suaranya menelusup melalui earphone.
"Ah, iya, Conor mengalami pem-bully-an oleh Harry dan kedua anteknya, Sully dan Anton. Yang selalu mereka jadikan bahan ledekan adalah perihal ibunya yang sakit. Seisi sekolah mengetahui hal ini, teman-temannya memandangnya dengan aneh, guru-gurunya memandangnya dengan sorot mata mengasihani. Suatu saat, Conor menjadi marah terhadap Lily, teman dekatnya, karena secara tidak langsung, Lily-lah yang menyebarkan berita tentang ibu Conor ke seisi sekolah. Conor sering mengalami mimpi buruk di malam hari: 'mimpi yang berisi kegelapan, angin, dan jeritan'. Suatu malam, pada pukul 00.07, sang monster muncul pertama kali. Monster yang mewujud dari pohon yew di halaman gereja di atas bukit di belakang rumah Conor."
"Jadi, sebenarnya untuk apa sang monster mendatangi Conor?"
"Di satu titik, Conor menyadari bahwa pasti sang monster 'datang berjalan' kepadanya untuk menyelamatkan ibunya. Sang monster, kan, berwujud pohon yew raksasa. Tahukah kau bahwa pohon itu bisa dijadikan obat kanker? Conor menduga seperti itu setelah ibunya menjalani kemoterapi dengan jenis obat yang baru, obat dari pohon yew..."
"Sebentar, aku sedang Googling..."
"Ya?" dahi Fri berkerut. Ia menunggu beberapa saat sambil membiarkan imajinasinya berkelana bersama ilustrasi monokrom dalam buku yang dipegangnya itu. Nuansa hitam-putih tersebut sangat membantu menggambarkan kemuraman, kesedihan mendalam Conor. Goresan-goresan dalam sketsa itu sungguh fantastis dan melambangkan "keliaran" tertentu, yang bisa merujuk pada sang monster, Conor, ataupun kisah itu sendiri. Bagaimana jika buku ini tak berilustrasi? Fri pasti akan berusaha keras membayangkan sendiri bagaimana sosok sang monster. Ilustrasi itu memang membantu, tapi di sisi lain ia mendikte pikiran pembaca: memenjarakannya dari dunia liar imajinasi.
Tangan Fri membalik ke halaman 45. Ia membaca dalam hati, "Kisah adalah sesuatu yang paling liar, derum sang monster. Kisah itu mengejar, menggigit, dan memburu."
"Halo, Fri? Aku telah menemukannya," ujar laki-laki itusebut saja dia "Mbung".
"Menemukan apa?"
"Taxol. Mungkin itu nama obat kemoterapi yang dimaksud oleh ibu Conor; yang terbuat dari kulit pohon yew. Oh, oh, sebentar..., tadi katamu Patrick Ness menulis novel ini berdasarkan ide dari Siobhan Dowd, kan?"
"Ya, lalu?"
"Taxol itu jugalah yang dikonsumsi oleh Dowd sebelum ia akhirnya meninggal karena kanker yang dideritanya."
Fri tertawa. "Wow, riset yang bagus, Mbung!"
"Lanjutkan ceritanya," sahut Mbung.
"Ya, tapi ternyata tidak begitu. Sang monster datang bukan untuk menyembuhkan ibu Conor, melainkan untuk menyembuhkan Conor sendiri; agar dia mengungkapkan kebenaran yang selama ini menekannya dalam diam. Sang monster akan mendatangi Conor untuk menceritakan tiga kisah padanya, dan Conor harus menceritakan kisah keempat. Kisahnya
kebenarannya."
"Sebentar, sang monster itu benar-benar ada, atau hanya fantasi Conor?" tanya Mbung, suaranya berbinar-binar.
"Awalnya Conor mengira sang monster sekadar bagian dari mimpinya. Tiap bangun tidur selesai bertemu dengan sang monster di belakang rumahnya, Conor terbangun di tempat tidurnya. Tapi, ada bukti-bukti bahwa yang terjadi itu nyata: daun-daun yewyang memenuhi lantai kamarnya, buah beri, tunas pohon yang tumbuh dari mata kayu di papan lantai."
"Jadi dia nyata?"
"Lebih tepatnya, menurutku, sang monster adalah superego Conor..."
"Buktinya, Fri?"
"Saat sang monster mengisahkan kisah kedua, ia mengajak Conor menghancurkan rumah sang pendeta dalam kisah itu. Di titik inilah, Conor melampiaskan kemarahannya. Begitu sadar, Conor menemukan dirinya, kelelahan, tangan berdarah, di antara ruang duduk Grandma yang telah hancur. Pelampiasan kemarahan" Conor terjadi lagi pada kisah ketiga tentang pria tak kasatmata. Kisah itu mencerminkan Conor sendiri, yang akhir-akhir itu nyaris tak pernah berinteraksi dengan teman-teman sekolahnya, hingga ia merasa seolah tak kasatmata. 'Bukan berarti dia benar-benar tak kasatmata. Orang-oranglah yang telah terbiasa untuk tidak melihat dirinya. Dan jika tak seorang pun melihatmu, apa artinya kau benar-benar ada?' kata sang monster. Sang monster lalu menyerang Harry, yang baru saja menganggap Conor tak ada. Dalam kenyataannya, Conor telah membuat Harry babak-belur."
"Bisa dibilang bahwa sang monster adalah sisi gelap dalam diri Conor? Sisi yang memiliki kualitas buas, liar, menyeramkan seperti monster, begitu, Fri?"
Fri mengangguk tanpa sadar, meski Mbung di seberang sana tak bisa melihat anggukannya."Ya, benar sekali, Mbung! Yang lebih menarik lagi, kisah-kisah sang monster, terutama yang pertama dan kedua, penuh karakter abu-abu dan twist, yang saking tak terduganya membuat Conor marah."
"Yang mana kisah favoritmu, Fri?"
"Yang pertama, Mbung, tentang pangeran, gadis yang dicintainya, dan sang ratu yang adalah penyihir. Yang lebih menarik lagi, novel ini memang berpusat pada kesedihan mendalam Conor dan pergolakan dalam dirinya untuk sampai pada tahap penerimaan: merelakan ibunya, tapi kau tak akan menemukan satu pun kata 'meninggal', 'kanker', 'cinta'. Patrick Ness mengolah narasinya tanpa menggunakan kata-kata tersebut tapi mampu menunjukkan; membuat pembaca merasakan kesedihan, kemarahan Conor. Dua kali aku dibuatnya menangis, salah satunya saat membaca halaman 177."
Fri lalu membalik ke halaman 202, membaca dalam hati.
Kau tidak menulis hidupmu dengan kata-kata, ujar sang monster. Kau menulisnya dengan tindakan. Apa yang kaupikirkan tidaklah penting. Satu-satunya yang penting adalah apa yang kaulakukan," 
"Kesedihan mendalam, tahap penerimaan... mengingatkanku akan 'lima tahap kesedihan' yang pertama kali disebutkan oleh Elisabeth Kubler-Ross: penyangkalan, kemarahan, pengharapan, depresi, dan akhirnya... penerimaan."
"Ah, iya, setelah kupikir-pikir, narasi A Monster Calls mewakili kelima tahap itu, Mbung. Awalnya Conor menyangkal, seperti dalam dialognya dengan Grandma di halaman 52:'Dia akan tampak seakan-akan lebih baik besok, tapi kenyataannya tidak, Conor.''Perawatan itu membuatnya lebih baik. Itulah sebabnya Mum menjalaninya.'"
"Hmm, lalu tahap 'kemarahan' telah kaubeberkan sebelumnya, ya, Fri. Tahap 'pengharapan'?"
"Nah, itu ketika Conor berharap bahkan meyakini bahwa sang monster datang untuk menyelamatkan ibunya. 'Monster itu datang berjalan sebagai pohon penyembuh, pohon serupa yang menjadi obat bagi ibunya, jadi untuk apa lagi?' begitulah pikir Conor di halaman 153."
"Bentuk depresi Conor, mungkin bisa diwakili oleh mimpi buruknya yang terus berulang..."
"Ya, lalu akhirnya adalah tahap penerimaan, yang terjadi saat Conor mengungkapkan kebenarannya."
"Ngomong-ngomong, Fri, bukan kebetulan pohon yew dipilih oleh Ness... Pohon itu memiliki sebutan 'the tree of the dead', di samping kegunaannya sebagai obat kanker, kemampuannya untuk menyembuhkan..."
"Menyembuhkan Conor. Ya... Dengan begitu, berakhirlah tuturanku, Mbung. A Monster Calls sudah pasti menjadi salah satu novel favoritku."
"Aku tak sabar ingin meminjam buku itu darimu."
Dan, obrolan via telepon itu pun terus berlanjut, mengalirlah tuturan tentang apa saja, hingga waktu pun jatuh dan bergulir. Sebulan-dua bulan tak akan terlalu terasa.

0 komentar:

Post a Comment

Your comment is so valuable for this blog ^^

bloggerwidgets