frida keranjingan puisi (meminjam judul kumpulan cerpen gunawan tri atmodjo)
Entah mulai
kapan tepatnya, saya keranjingan puisi. Keranjingan puisi lagi, maksud saya,
karena pertama kali saya mulai menulis waktu SMP dulu, yang saya tulis adalah
puisi. Saya belajar menulis pertama kali lewat puisi. Nah, sudah lama, saya
fokus ke cerpen, resensi, dan novel. Selama ini pula, buku kumpulan puisi yang
saya baca baru dua, karya Taufik Ismail dan Sutardji Calzoum Bachri, yang saya pinjam dari perpustakaan
SMA, dulu. Saya merasa sayang kalau harus beli buku kumpulan puisi. Alasannya
tidak sastrawi, sih, semata-mata karena buku kumpulan puisi biasanya tipis
sekali. (Ya, ya, saya tahu, tidak semua buku puisi tipis sekali.) Kalau tidak salah, saya mulai keranjingan puisi
lagi sejak mulai lagi menulis puisi demi mengikuti tantangan #30haribercerita di Instagram.
Suatu siang,
keluar dari Gedung Kompas Yogyakarta, saya berjalan kaki menyusuri Jalan Suroto
untuk menghabiskan jam makan siang (karena saya sudah makan). Teringat di dekat
situ ada Togamas, mampirlah saya ke sana. Tepat di hari Kamis (di Togamas
Suroto ada diskon 25% untuk semua novel tiap Kamis, tapi waktu itu saya tidak
beli novel). Semua Ikan di Langit
belum ada di sana. Entah kenapa, tiba-tiba saya berkeinginan kuat untuk membeli
sebuah buku puisi. Masalahnya, buku puisi yang mana? Sergius Mencari Bacchus tidak ada (saya sudah mencari-cari di rak
sesuai dengan nomor yang saya dapati di mesin pencarian, tapi tidak ada).
Penataan buku di Togamas situ memang kurang rapi. Saya selalu dibikin bingung
olehnya. Lalu saya tertarik oleh Buku Tentang Ruang dan Perempuan yang Dihapus Namanya oleh Avianti Armand, tapi saya masih belum yakin. Berkelana di
Goodreads, akhirnya saya mencomot Hujan Bulan Juni.
Sapardi
adalah tokoh puisi legendaris Indonesia, dan bisa-bisanya saya cuma tahu satu
puisinya (yang berjudul Aku Ingin
itu). Sungguh, saya malu pada diri sendiri.
***
tentang hujan bulan juni
tak ada yang lebih
tabah
dari hujan bulan
juni
dirahasiakannya
rintik rindunya
kepada pohon
berbunga itu
tak ada yang lebih
bijak
dari hujan bulan
juni
dihapusnya
jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di
jalan itu
tak ada yang lebih
arif
dari hujan bulan
juni
dibiarkannya yang
tak terucapkan
diserap akar pohon
bunga itu
(1989)
Seratus dua puisi
bergandengan tangan membentuk garis waktu pengelanaan makna Sapardi dari tahun
1959 sampai 1994. Saya pikir, Hujan Bulan
Juni cukup pas dijadikan judul buku ini, lantaran saya sering berpapasan
dengan “nuansa hujan atau gerimis” di antara larik-larik puisi Sapardi, meski
saya tidak tahu, itu hujan di bulan Juni atau bulan lain. Selain Hujan Bulan Juni, kalau saya tidak salah
hitung, ada 17 puisi
yang bicara tentang atau saat hujan.
Sebentar, saya
bingung bagaimana meresensi buku puisi. Ini pengalaman pertama saya meresensi
buku puisi.
Baiklah,
barangkali saya akan mulai dari tema. Tema umum buku puisi ini barangkali adalah keabadian, yang digambarkan Sapardi dalam beberapa subjek dominan:
kematian, spiritualitas, cinta, dan hujan. Yang paling dominan (sejauh
pemaknaan saya yang cetek) adalah tentang kematian, yang banyak di antaranya
ditulis Sapardi pada tahun 1959–1969 (saya belum tahu, apa yang dirasakan
Sapardi di tahun-tahun itu). Selepas itu, sampai tahun 1994, cukup jarang puisi
Sapardi berbicara tentang kematian, dibanding periode sebelumnya. Mengenai
subjek ini, salah satu pesan yang saya tangkap, saat kematian bukanlah akhir
melainkan awal dari perjalanan berikutnya. Dengan kata lain, kematian adalah
pintu menuju keabadian. Pesan ini saya dapati dalam puisi Saat Sebelum Berangkat (1967), Cahaya
Bertebaran (1970), dan Pada Suatu
Hari Nanti (1991).
Cahaya
Bertebaran
cahaya
bertebaran di sekitarmu
butir-butirnya
membutakan dua belah matamu
“sudah
sampaikah kita?” tanyamu tiba-tiba. Lupakah
kau bahwa
baru saja meninggalkan dermaga?
Barangkali,
kematian digambarkan sebagai “cahaya bertebaran yang membutakan mata”. Kalimat
terakhir, “Lupakah kau bahwa baru saja meninggalkan dermaga?” seolah twist. Pertanyaan yang menjawab
pertanyaan dari seseorang yang mengira bahwa kematian adalah akhir.
Subjek
berikutnya adalah spiritualitas. Kebanyakan puisi bersubjek spiritualitas (yang
bisa saya tangkap) ditulis Sapardi pada tahun 1968. Puisi-puisi bersubjek ini
berusaha merekam dan menyajikan aneka cara para tokohnya berbicara dengan sang
Pencipta. Contohnya, dalam puisi Tuan (1980),
yang hanya terdiri dari dua baris si tokoh “saya” seolah menghindar dari Tuhan.
Tuan Tuhan,
bukan? Tunggu sebentar,
saya sedang
keluar.
Membaca
puisi tersebut, saya membayangkan percakapan itu berlangsung via telepon.
Sebelumnya, si Tuan menelepon si Saya, tapi tidak diangkat. Mungkin si Tuan
meninggalkan pesan suara untuk memberi tahu bahwa dia akan menemui si Saya di
rumahnya. Lalu, si Saya menelepon balik
dan mengucapkan isi puisi itu. Barangkali sebenarnya dia ada di rumah, tapi
sedang tidak mau ditemui si Tuan. Puisi ini seperti menyindir sambil tertawa
(saya pun ingin tertawa membaca puisi yang terasa lucu ini). Kadang-kadang saya
memang menghindari Tuhan. Meski keabadian Tuhan tak bisa dipungkiri, sehingga
percuma saja menghindari.
Selanjutnya,
puisi-puisi dengan subjek cinta. Izinkan saya menukil puisi Sapardi yang paling
saya kenal, Aku Ingin (1989).
aku ingin
mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata
yang tak sempat diucapkan
kayu kepada
api yang menjadikannya abu
aku ingin
mencintaimu dengan sederhana:
dengan
isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada
hujan yang menjadikannya tiada
Subjek
“cinta” bisa diartikan cinta untuk kekasih, cinta untuk alam, cinta untuk
Tuhan, cinta untuk apa saja. Biarkanlah saya mengartikannya cinta untuk kekasih.
Puisi dua bait itu berisi dua alegori paralel
yang menggambarkan bagaimana si “aku” mencintai “kamu” (kekasihnya) dengan
cara yang ia sebut “sederhana”. Kayu bakar barangkali butuh waktu cukup lama
sampai dia habis dimakan api. Dia terbakar, membara, lalu sedikit demi sedikit
habis tanpa ia sadari. Oleh karena itu, ia tidak sempat mengucapkan selamat
tinggal kepada api. Awan dan hujan serupa itu: butuh waktu bagi awan sampai ia
selesai meneteskan tetesan air hujan terakhirnya sebelum ia lenyap. Cintanya
begitu tulus seperti kayu yang bersedia dibakar habis oleh api, meski sakit.
Kedua analogi itu melibatkan perubahan fisika: kayu menjadi abu dan awan menjadi
air hujan. Oleh karena itu, kayu dan awan tidak benar-benar hilang, mereka
hanya berubah wujud. Dengan kata lain, mereka—cintanya—abadi.
Selanjutnya,
puisi-puisi dengan subjek hujan. Contohnya, yang menjadi salah satu favorit
saya, adalah Percakapan Malam Hujan
(1973). Saya suka puisi itu karena metaforanya
sangat menggelitik.
Hujan, yang
mengenakan mantel, sepatu panjang, dan payung,
berdiri di samping tiang
listrik. Katanya kepada lampu jalan,
“Tutup matamu dan tidurlah. Biar
kujaga malam.”
“Kau hujan
memang suka serba kelam serba gaib serba suara desah;
asalmu dari laut, langit, dan
bumi; kembalilah, jangan
menggodaku tidur. Aku sahabat
manusia. Ia suka terang.”
Kenapa saya
tergelitik:
(1) hujan
digambarkan Sapardi “mengenakan mantel, sepatu panjang, dan payung”. Hujan
berusaha melindungi diri dari dirinya sendiri?!
(2) hujan
menyuruh lampu jalan untuk menutup mata dan tidur, padahal lampu jalan tidur
sambil tetap membuka mata (lihat baris terakhir bait kedua).
(3) hujan
dan tiang lampu lambang kontradiksi. Hujan mengesankan suasana kelam, dingin,
suram, gaib/misterius: suasana yang ingin manusia hindari, tapi membuatnya
tertarik. Sementara itu, lampu jalan mengesankan suasana terang: suasana yang
ingin manusia dekati. Kedua hal tersebut saling bergantian ada dalam hidup
manusia.
Puisi lain
yang memiliki metafora yang
menggelitik adalah Puisi Cat Air untuk
Rizki (1975). Di puisi itu Sapardi menuliskan “hujan meludah di ujung
gang”.
Kemudian,
puisi-puisi yang belum bisa saya golongkan, mereka mewakili subjek apa? Salah
satu dari golongan ini yang adalah favorit saya, adalah Pada Suatu Pagi Hari (1973).
Maka pada
suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil berjalan
tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin pagi itu hujan turun
rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri saja
sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa.
Ia tidak
ingin menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk
memecahkan cermin membakar tempat tidur. Ia hanya ingin
menangis lirih saja sambil berjalan sendiri dalam hujan
rintik-rintik di lorong sepi pada suatu pagi.
Puisi ini
bicara tentang kesedihan. Kesedihan yang teramat dalam hingga hanya bisa
dilampiaskan dengan cara “menangis lirih sambil berjalan sendiri dalam hujan rintik-rintik
di lorong sepi pada suatu pagi”. Kenapa di pagi hari? Entahlah. Apa yang
membuatnya sedemikian sedih? Entahlah. Mungkin saya perlu menghubungkannya
dengan puisi lain untuk bisa menangkap maknanya. Nah, ternyata sebelumnya saya
sudah pernah membaca puisi itu di cerpen
apa ya, saya lupa. Duh!
Juga, Yang Fana adalah Waktu (1978) menjadi
favorit saya.
Yang fana
adalah waktu. Kita abadi:
memungut
detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada
suatu hari
kita lupa
untuk apa.
“Tapi,
yang fana
adalah waktu, bukan?”
tanyamu.
Kita abadi.
Puisi itu
barangkali ingin mengatakan bahwa kita, saking terjebak rutinitas atau
ambisi-ambisi, lupa untuk memaknai waktu yang kita gunakan sehari-hari. Kadang
malah saya ingin seandainya sehari itu tidak cuma 24 jam. Mengapa rasanya waktu
cepat sekali berlalu, padahal belum sempat saya menyelesaikan ini-itu? Nah,
barangkali saya perlu berhenti
sejenak.
Subjek-subjek
yang sudah saya sebutkan itu tak jarang saling tumpang-tindih. Itu makin
menunjukkan bahwa subjek-subjek itu berasal dari satu tema umum.
Dari sisi tipografi, puisi-puisi Sapardi dalam
buku ini menurut saya rapi, konsisten, dan sederhana. Bisa dilihat, misalnya
pada puisi yang sudah saya cantumkan sebelumnya, Aku Ingin dan Percakapan
Malam Hujan. Keduanya sama-sama terdiri dari dua bait, tiap bait terdiri
dari tiga baris, hanya saja di Percakapan
Malam Hujan, baris kedua dan ketiga tiap bait ditulis menjorok ke
dalam. Mayoritas puisi Sapardi ditulis seperti itu tampilannya. Yang agak
dibikin “berantakan”, misalnya Ziarah
(1967).
Sementara Hujan Bulan
Juni dan Aku Ingin memiliki
penggalan antarbaris yang teratur dan paralelisme antarbait, ada juga yang
terdiri dari satu kalimat panjang dengan penggalan yang tak kentara, seperti Catatan Masa Kecil, 3 (1971), Bunga, 2, dan Telinga (1982).
***
Buku puisi ini telah mengubah paradigma saya yang melabeli
dengan semena-mena buku puisi, bahwa ia tak cukup layak untuk saya beli karena
biasanya sangat tipis. Sangat tipis, ya ampun, saya tidak percaya saya bisa
sebegitu menghakimi. Dan memang benar, puisi tidak bisa menggantikan nikmatnya baca prosa. Kenikmatan baca puisi
beda dengan kenikmatan baca prosa, dan kenikmatan yang berbeda itu punya keistimewaan
sendiri-sendiri. Tak bisa dibanding-bandingkan apalagi saling menggantikan. Hujan Bulan Juni, yang saya beli karena iseng, membuat saya tak takut
lagi untuk baca buku puisi. Selain itu, makna sajak-sajak Sapardi bisa dibilang
masih cukup mudah dimengerti oleh pembaca awam (saya). Dia masih mengikat makna
dengan kata-kata (tak seperti, puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri, misalnya, yang kebanyakan membebaskan kata dari makna, sehingga sulit sekali untuk saya pahami). Terima kasih, Sapardi. (Meski sayang, buku bersampul cantik
ini isinya tak berilustrasi.)***
rating saya
identitas buku
Penulis:
Sapardi Djoko Damono
Penyelia
naskah: Mirna Yulistianti
Penerbit:
Gramedia Pustaka Utama
Cetakan:
VIII, Agustus 2016
Tebal: xii +
120 halaman
Harga: Rp
68.000,00
ISBN:
978-979-22-9706-5
0 komentar:
Post a Comment
Your comment is so valuable for this blog ^^