6 August 2013

Resensi BANGKOK, THE JOURNAL "Telusurilah Bangkok dan Temukan Warisanmu!"





Judul Buku                        : Bangkok, The Journal
Penulis                              : Moemoe Rizal
Tebal                                : viii+436 halaman
Penerbit/cetakan               : Gagasmedia/Cetakan pertama, 2013
ISBN                                : 979-780-629-4
Harga                               : Rp 57.000,00

Kita semua mungkin pernah melakukan kesalahan terhadap orangtua kita. Ada yang langsung termaafkan, tapi ada pula yang meninggalkan luka dan penyesalan yang dalam, hingga mengendap bertahun-tahun. Itulah yang dialami oleh tokoh utama novel ini, Edvan, si arsitek muda, ganteng (yang katanya lebih ganteng daripada Chaiwat Thongsaeng, artis Thailand), narsis, dan baru saja mencapai kesuksesan karirnya. Sekilas ia tampak sempurna sebagai seorang pria. Tunggu dulu. Di balik kesempurnaan “eksterior”-nya itu, sebenarnya “interior” hatinya menyimpan penyesalan tentang ibunya.

Lantas, apa yang akan kaulakukan jika kau mendapat berita tentang kematian ibumu, yang sudah kaubenci dan kautinggalkan selama sepuluh tahun?
Pasti kau akan langsung pulang ke kampung halamanmu demi melihat wajah ibumu untuk terakhir kali. Begitu jugalah yang dilakukan Edvan, setelah ia mendapat kabar dari adiknya, Edvin. Sayang sekali, ia sampai di pemakaman ibunya setelah ahli kubur menimbuni peti ibunya dengan tanah.  Kepulangannya ke tanah air ternyata juga membawa kejutan lain: adiknya menjelma menjadi seorang wanita cantik dan anggun yang mirip ibunya, dan meminta dipanggil “Edvina”. Edvan tak bisa menerima kenyataan itu awalnya; sulit untuknya menerima kenyataan bahwa adiknya yang dulu laki-laki itu kini adalah seorang wanita.
“Manusia nggak pernah bisa diterima di dunia kalau menjadi diri sendiri.” (Edvin—halaman 26)
Bukan itu saja. Edvin memberi kejutan lain. Sebuah warisan dari ibu mereka, yang beliau ingin berikan kepada Edvan. Apakah uang? Rumah? Emas? Saham? Not at all. Nyatanya, yang disodorkan oleh Edvin adalah selipat kertas kalender yang telah menguning, dengan jurnal ibunya di baliknya. Jumlah jurnal bertanggal tahun 1980 itu ada tujuh, dan Edvan harus mencari sisanya (enam) yang tersebar di kota Bangkok.
“Semua jurnal ini tersebar di Bangkok, Thailand. Lokasi jurnal sebelumnya, selalu ada di jurnal sesudahnya... Ibu cuma pengen Kakak mengumpulkan semua jurnal itu, merangkaikan, dan menemukan warisan Ibu dari situ...” (Edvin kepada Edvan—halaman 33)
Untuk pertama kalinya, Edvan Wahyudi melepas gentleman’s dignity-nya, dan menjadi anak yang baik bagi ibunya, untuk menebus kesalahannya dulu. Ia mengambil cuti dari kantor, meninggalkan proyek-proyek besar yang mungkin akan bisa dipegangnya jika ia tak pergi ke Bangkok, dan memulai pencarian mustahil itu bersama Charm, seorang gadis Thailand yang hafal seluruh sudut kota Bangkok. Pencarian itu ternyata tak semudah perkiraannya. Dibantu juga oleh Max, adik Charm, satu persatu jurnal itu terkumpul.

Kebersamaan Edvan bersama Charm membuatnya terjangkit fenomena “witing tresno jalaran saka kulina”. Namun, sikap Charm tiba-tiba berubah, setelah Edvan menyatakan cinta padanya. Ia menjaga jarak dan sering menghilang, seolah ada sesuatu yang dirahasiakannya. Meratapi nasib cintanya yang tak berjalan mulus, kebingungan yang melandanya akibat pertanyaan, apa yang salah dari dirinya hingga Charm tak menerima cintanya? Pada akhirnya, ia mengetahui bahwa bukan dirinya yang salah. Bukan juga Charm.
Perjalanan di Bangkok itu telah mengubah Edvan, memberinya sudut pandang baru terhadap hal-hal yang selama ini diyakininya. Sembari menapaki kisah masa lalu Artika, ibunya, melalui jurnal-jurnal itu. Juga bertemu dengan orang-orang yang masa lalunya pernah menjadi cerah karena ibunya. Pertemuannya dengan seorang waria di Wang Lang market dan seorang ibu yang memuja anaknya yang seorang stripteaser waria di sebuah bar, memberinya pencerahan baru. Bahwa ia dapat menerima adiknya seutuhnya, tanpa menghakiminya lagi. Bahwa adiknya adalah satu-satunya keluarga yang ia punyai.
“Kau tak perlu menerima kehadiran mereka... Buatku, waria seperti anakku, yang sering menghormati aku, jauh lebih baik di banding laki-laki jantan yang berdosa terhadap dirinya sendiri. Harusnya manusia dinilai dari apa yang dia lakukan pada orang lain, bukan pada dirinya sendiri semata.” (halaman 297)
Lalu, pertemuan tak disengaja dengan sepasang kakak beradik: bocah lelaki bernama Monyakul dan adiknya yang waria bernama Kanok menyadarkannya untuk menjadi dirinya sendiri saat mencintai seseorang. Kemudian, hal itulah yang dilakukannya pada Charm. Akankah Charm menerima cintanya? Apakah Edvan lebih memilih proyek besar di Bang Kachao, atau kenangan manis bersama Charm dan Max? Dan apa sebenarnya yang disembunyikan Charm? Yang jelas, Edvan pada akhirnya berhasil menemukan warisan yang diberikan ibunya itu.

Novel ini adalah seri STPC (Setiap Tempat Punya Cerita) pertama yang saya punya, dan masih satu-satunya yang saya punya sampai saat ini. Haha. Pengennya sih,  bisa mengoleksi semuanya.

Dari awal membuka sampul novel ini, saya langsung disuguhi desain cover yang manis, ditambah dengan bonus post card bergambar pemandangan Bangkok (entah Bangkok sebelah mananya). Jadi nggak nyesel mengeluarkan uang 57 ribu ^^. Beranjak ke ilustrasi-ilustrasi yang terdapat di setiap halaman awal bab baru, yang menambah hawa Bangkok menjalari imajinasi. Juga saya sama sekali tak menyesal membeli novel ini, karena sinopsisnya menarik dan tidak menipu (akhirnya, hufh).

Dengan gaya penulisan yang mudah dicerna, ringan, kadang membuatmu terbahak karena kekonyolan tokoh-tokohnya, atau gara-gara footnote-nya yang dengan lihai, oleh Moemoe Rizal, dijadikan sarana curhat sang tokoh utama. Padahal, awalnya saya kira footnote itu akan sama dengan footnote  pada umumnya, tapi ternyata tidak. Haha, sifat humoris si penulis nampak sekali di sini (nggak tahu, sih, aslinya si penulis ini orangnya kayak gimana, hoho).

Kadang juga, kalimat-kalimat dalam novel ini membuatmu berpikir, lalu mengiyakan kebenarannya. Bahkan mungkin juga merenungkannya, membandingkan dengan pengalaman hidupmu sendiri. Lalu mungkin kau juga akan terharu atau menangis ketika sampai di bagian di mana Edvan benar-benar merubah sikapnya pada Edvin. Di situlah kehebatan gaya bercerita sang penulis.

Bangkok, The Journal ini bukanlah satu jenis novel yang akan sekadar menyuguhkan setting tempat yang terkenal saja di Bangkok, melainkan sampai ke sudut-sudut kota itu, dan detail-detail kehidupan di sana. Kelihatan sekali bahwa sang penulis tidak hanya googling tentang Bangkok, tapi benar-benar pernah bertualang ke sana.

Ada beberapa hal yang mengganggu saya pada novel ini. Pertama, sebagian kalimat percakapan dalam bahasa Thailand tidak ada terjemahannya. Mungkin karena penulis benar-benar memosisikan diri sebagai tokoh Edvan, yang saat itu tidak tahu apa arti dari kalimat-kalimat berbahasa Thailand itu. Tapi itu tetap mengganggu, lantaran membuat saya penasaran apa artinya. Kedua, ada adegan yang aneh buat saya, yaitu di mana seharusnya Charm sedang botak (menurut penjelasan sebelumnya) tapi lalu ada adegan ketika rambutnya tertiup angin. Ini membuat saya bertanya-tanya apakah ia memakai wig. Namun, diruntut dari adegan sebelumnya, Charm mengenakan skarf untuk  menutupi kepalanya yang botak. Jadi? Jadi, sebaiknya tak usah terlalu dipikirkan, karena hal tersebut tak mengurangi keasyikan membaca Bangkok, The Journal hehehe.

Wait, ada satu isu besar yang dibahas secara eksplisit oleh Moemoe Rizal di sini. Yak, isu seputar transgender. Dari novel ini, saya menangkap kesan pro oleh si penulis terhadap orang-orang yang memutuskan  mengubah kelamin. Memang, secara religius, hal itu salah. Tapi, secara manusiawi, kita tak bisa menyalahkan mereka. Mereka juga tak memilih Tuhan menciptakan mereka seperti apa. Yang jelas, dengan menjadi transgender, mereka telah menjadi diri sendiri, dan tahu bahwa mereka bahagia dengan hal itu. Berikut ini adalah beberapa quote favorit saya mengenai pandangan tentang kaum transgender.
“Karena ketika aku menjadi diri sendiri, aku bisa jadi orang yang berguna.” (Waria di Wang Lang Market—halaman  128)
“Bayangkan betapa monokromnya dunia kita kalau hanya manusia-manusia konvensional seperti kita yang menghuni. Tuhan punya tujuan ketika menciptakan Edvin seperti itu.” (Ibu Edvan—halaman 285)
Berkat Moemoe Rizal, saya jadi makin menyukai gaya bercerita penulis laki-laki Indonesia, selain Putu Wijaya dan Brahmanto Anindito (nanti saya akan menulis resensi novelnya juga ^^).  Satu kata untuk novel ini: เจ๋ง alias cěng alias COOL!
Sàwàtdee, kha!

0 komentar:

Post a Comment

Your comment is so valuable for this blog ^^

bloggerwidgets