Judul Buku :
Bangkok, The Journal
Penulis :
Moemoe Rizal
Tebal :
viii+436 halaman
Penerbit/cetakan :
Gagasmedia/Cetakan pertama, 2013
ISBN :
979-780-629-4
Harga :
Rp 57.000,00
Kita
semua mungkin pernah melakukan kesalahan terhadap orangtua kita. Ada yang
langsung termaafkan, tapi ada pula yang meninggalkan luka dan penyesalan yang
dalam, hingga mengendap bertahun-tahun. Itulah yang dialami oleh tokoh utama
novel ini, Edvan, si arsitek muda, ganteng (yang katanya lebih ganteng daripada Chaiwat Thongsaeng, artis Thailand),
narsis, dan baru saja mencapai kesuksesan karirnya. Sekilas ia tampak sempurna
sebagai seorang pria. Tunggu dulu. Di balik kesempurnaan “eksterior”-nya itu,
sebenarnya “interior” hatinya menyimpan penyesalan tentang ibunya.
Lantas, apa yang akan kaulakukan
jika kau mendapat berita tentang kematian ibumu, yang sudah kaubenci dan
kautinggalkan selama sepuluh tahun?
Pasti
kau akan langsung pulang ke kampung halamanmu demi melihat wajah ibumu untuk terakhir kali. Begitu jugalah
yang dilakukan Edvan, setelah ia mendapat kabar dari adiknya, Edvin. Sayang
sekali, ia sampai di pemakaman ibunya setelah ahli kubur menimbuni peti ibunya
dengan tanah. Kepulangannya ke tanah air
ternyata juga membawa kejutan lain:
adiknya menjelma menjadi seorang wanita cantik dan anggun yang mirip ibunya,
dan meminta dipanggil “Edvina”. Edvan tak bisa menerima kenyataan itu awalnya;
sulit untuknya menerima kenyataan bahwa adiknya yang dulu laki-laki itu kini
adalah seorang wanita.
“Manusia nggak pernah bisa diterima di dunia kalau menjadi
diri sendiri.” (Edvin—halaman 26)
Bukan
itu saja. Edvin memberi kejutan lain. Sebuah warisan dari ibu mereka, yang
beliau ingin berikan kepada Edvan. Apakah uang? Rumah? Emas? Saham? Not at all. Nyatanya, yang disodorkan
oleh Edvin adalah selipat kertas kalender yang telah menguning, dengan jurnal
ibunya di baliknya. Jumlah jurnal bertanggal tahun 1980 itu ada tujuh, dan
Edvan harus mencari sisanya (enam) yang tersebar di kota Bangkok.
“Semua jurnal ini tersebar di
Bangkok, Thailand. Lokasi jurnal sebelumnya, selalu ada di jurnal sesudahnya...
Ibu cuma pengen Kakak mengumpulkan semua jurnal itu, merangkaikan, dan
menemukan warisan Ibu dari situ...” (Edvin kepada Edvan—halaman 33)
Untuk pertama kalinya, Edvan Wahyudi
melepas gentleman’s dignity-nya, dan menjadi
anak yang baik bagi ibunya, untuk menebus kesalahannya dulu. Ia mengambil cuti
dari kantor, meninggalkan proyek-proyek besar yang mungkin akan bisa
dipegangnya jika ia tak pergi ke Bangkok, dan memulai pencarian mustahil itu
bersama Charm, seorang gadis Thailand yang hafal seluruh sudut kota Bangkok.
Pencarian itu ternyata tak semudah perkiraannya. Dibantu juga oleh Max, adik
Charm, satu persatu jurnal itu terkumpul.
Kebersamaan Edvan bersama Charm membuatnya
terjangkit fenomena “witing tresno jalaran
saka kulina”. Namun, sikap Charm tiba-tiba berubah, setelah Edvan
menyatakan cinta padanya. Ia menjaga jarak dan sering menghilang, seolah ada
sesuatu yang dirahasiakannya. Meratapi nasib cintanya yang tak berjalan mulus,
kebingungan yang melandanya akibat pertanyaan, apa yang salah dari dirinya
hingga Charm tak menerima cintanya? Pada akhirnya, ia mengetahui bahwa bukan
dirinya yang salah. Bukan juga Charm.
Perjalanan di Bangkok itu telah mengubah
Edvan, memberinya sudut pandang baru terhadap hal-hal yang selama ini
diyakininya. Sembari menapaki kisah masa lalu Artika, ibunya, melalui
jurnal-jurnal itu. Juga bertemu dengan orang-orang yang masa lalunya pernah
menjadi cerah karena ibunya. Pertemuannya dengan seorang waria di Wang Lang
market dan seorang ibu yang memuja anaknya yang seorang stripteaser waria di sebuah bar, memberinya pencerahan baru. Bahwa
ia dapat menerima adiknya seutuhnya, tanpa menghakiminya lagi. Bahwa adiknya
adalah satu-satunya keluarga yang ia punyai.
“Kau tak perlu menerima kehadiran
mereka... Buatku, waria seperti anakku, yang sering menghormati aku, jauh lebih
baik di banding laki-laki jantan yang berdosa terhadap dirinya sendiri.
Harusnya manusia dinilai dari apa yang dia lakukan pada orang lain, bukan pada
dirinya sendiri semata.” (halaman 297)
Lalu, pertemuan tak disengaja dengan
sepasang kakak beradik: bocah lelaki bernama Monyakul dan adiknya yang waria
bernama Kanok menyadarkannya untuk menjadi dirinya sendiri saat mencintai
seseorang. Kemudian, hal itulah yang dilakukannya pada Charm. Akankah Charm
menerima cintanya? Apakah Edvan lebih memilih proyek besar di Bang Kachao, atau
kenangan manis bersama Charm dan Max? Dan apa sebenarnya yang disembunyikan
Charm? Yang jelas, Edvan pada akhirnya berhasil menemukan warisan yang
diberikan ibunya itu.
Novel
ini adalah seri STPC (Setiap Tempat Punya Cerita) pertama yang saya punya, dan
masih satu-satunya yang saya punya sampai saat ini. Haha. Pengennya sih, bisa mengoleksi semuanya.
Dari
awal membuka sampul novel ini, saya langsung disuguhi desain cover yang manis, ditambah dengan bonus post card bergambar pemandangan Bangkok
(entah Bangkok sebelah mananya). Jadi nggak nyesel mengeluarkan uang 57 ribu
^^. Beranjak ke ilustrasi-ilustrasi yang terdapat di setiap halaman awal bab
baru, yang menambah hawa Bangkok menjalari imajinasi. Juga saya sama sekali tak menyesal membeli novel
ini, karena sinopsisnya menarik dan tidak menipu (akhirnya, hufh).
Dengan gaya penulisan yang mudah dicerna,
ringan, kadang membuatmu terbahak karena kekonyolan tokoh-tokohnya, atau
gara-gara footnote-nya yang dengan
lihai, oleh Moemoe Rizal, dijadikan sarana curhat sang tokoh utama. Padahal,
awalnya saya kira footnote itu akan
sama dengan footnote pada umumnya, tapi ternyata tidak. Haha,
sifat humoris si penulis nampak sekali di sini (nggak tahu, sih, aslinya si
penulis ini orangnya kayak gimana, hoho).
Kadang juga, kalimat-kalimat dalam novel
ini membuatmu berpikir, lalu mengiyakan kebenarannya. Bahkan mungkin juga
merenungkannya, membandingkan dengan pengalaman hidupmu sendiri. Lalu mungkin
kau juga akan terharu atau menangis ketika sampai di bagian di mana Edvan
benar-benar merubah sikapnya pada Edvin. Di situlah kehebatan gaya bercerita
sang penulis.
Bangkok, The Journal ini bukanlah satu jenis novel yang akan sekadar menyuguhkan
setting tempat yang terkenal saja di
Bangkok, melainkan sampai ke sudut-sudut kota itu, dan detail-detail kehidupan
di sana. Kelihatan sekali bahwa sang penulis tidak hanya googling tentang Bangkok, tapi benar-benar pernah bertualang ke
sana.
Ada beberapa hal yang mengganggu saya pada
novel ini. Pertama, sebagian kalimat percakapan dalam bahasa Thailand tidak ada
terjemahannya. Mungkin karena penulis benar-benar memosisikan diri sebagai
tokoh Edvan, yang saat itu tidak tahu apa arti dari kalimat-kalimat berbahasa
Thailand itu. Tapi itu tetap mengganggu, lantaran membuat saya penasaran apa
artinya. Kedua, ada adegan yang aneh buat saya, yaitu di mana seharusnya Charm
sedang botak (menurut penjelasan sebelumnya) tapi lalu ada adegan ketika
rambutnya tertiup angin. Ini membuat saya bertanya-tanya apakah ia memakai wig. Namun, diruntut dari adegan
sebelumnya, Charm mengenakan skarf untuk
menutupi kepalanya yang botak. Jadi? Jadi, sebaiknya tak usah terlalu
dipikirkan, karena hal tersebut tak mengurangi keasyikan membaca Bangkok, The Journal hehehe.
Wait, ada satu isu besar yang dibahas secara
eksplisit oleh Moemoe Rizal di sini. Yak, isu seputar transgender. Dari novel
ini, saya menangkap kesan pro oleh si
penulis terhadap orang-orang yang memutuskan mengubah kelamin. Memang, secara religius, hal
itu salah. Tapi, secara manusiawi, kita tak bisa menyalahkan mereka. Mereka
juga tak memilih Tuhan menciptakan mereka seperti apa. Yang jelas, dengan
menjadi transgender, mereka telah menjadi diri sendiri, dan tahu bahwa mereka
bahagia dengan hal itu. Berikut ini adalah beberapa quote favorit saya mengenai pandangan tentang kaum transgender.
“Karena ketika aku menjadi diri
sendiri, aku bisa jadi orang yang berguna.” (Waria di Wang Lang
Market—halaman 128)
“Bayangkan betapa monokromnya
dunia kita kalau hanya manusia-manusia konvensional seperti kita yang menghuni.
Tuhan punya tujuan ketika menciptakan Edvin seperti itu.” (Ibu Edvan—halaman 285)
Berkat Moemoe Rizal, saya jadi makin menyukai
gaya bercerita penulis laki-laki Indonesia, selain Putu Wijaya dan Brahmanto
Anindito (nanti saya akan menulis resensi novelnya juga ^^). Satu kata untuk novel ini: เจ๋ง alias cěng alias COOL!
Sàwàtdee, kha!
Sàwàtdee, kha!
0 komentar:
Post a Comment
Your comment is so valuable for this blog ^^