Penulis :
Ilana Tan
Tebal :
432 halaman
Penerbit/cetakan : Gramedia/Cetakan kedua, 2012
ISBN :
978-979-22-7813-2
Harga :
Rp 65.000,00 48.750,00 (diskon 25%)
Nama
Ilana Tan yang tertera pada sampul depan novel ini tentunya memberi harapan
besar akan kepuasan pembaca, seperti yang sudah-sudah. Ingatlah tentang empat
karyanya sebelumnya, tetralogi empat musim yang laris manis bak barang diskon
plus buy one get one free (apaan, sih
-_-). Kisah romansa yang manis ciptaan Ilana Tan selalu berhasil menyihir saya,
meskipun ada yang sad ending (baca Autumn in Paris). Mungkin jarang sekali
orang menyukai kisah yang nggak happy
ending. Tapi kalau semua kisah di dunia ini berakhir bahagia, itu sih bukan
kehidupan nyata, melainkan cerita dongeng karangan Hans Christian Andersen.
Hehehe.
Awalnya
saya mengira Sunshine Becomes You ini
akan berakhir bahagia. Sinopsis di sampul belakangnya juga nggak mengisyaratkan
barang satu kata pun yang mengarah ke sad
ending. Tapi ternyata, tak dinyana-nyana….
Alex
Hirano, seorang pianis terkenal, terpaksa harus membatalkan konsernya. Mia
Clark-lah yang patut ia salahkan, atas tangan kirinya yang terkilir. Membutuhkan
waktu sekitar dua bulan untuk bisa digunakan secara normal kembali, padahal
tanggal konsernya semakin dekat. Yah, meskipun gadis itu tak sengaja jatuh dari
tangga dan menubruk, menimpa tubuh Alex hingga tangannya jadi seperti itu.
Tetap saja, satu alasan itu cukup untuk membuat Alex membenci Mia. Pasti
begitulah juga perasaanmu terhadap orang yang menyebabkan konsermu batal dan
kau harus menderita kerugian besar. Belum lagi kerepotan yang diakibatkan
kehilangan fungsi satu tangan, seperti kesulitan ketika hendak membuat kopi.
Atau sekadar membuka pintu apartemen sambil memegang secangkir kopi.
Ngomong-ngomong, Alex tak bisa mengawali harinya tanpa minum secangkir kopi.
Dan itu akan membuatnya uring-uringan. Ditambah lagi dengan idenya yang sedang
mampet untuk menciptakan lagu baru.
Alex mengerutkan kening menatap malaikat kegelapannya yang mendadak muncul di depan matanya. Kenapa gadis itu datang ke sini? (halaman 35)
Dituntun
oleh rasa bersalah yang sedemikian memuncak mengalahkan gunungan sampah
seantero Jakarta yang dikumpulkan jadi satu, Mia Clark menawarkan bantuan pada
Alex. Dengan berat hati, awalnya, karena Alex takut berada dekat-dekat dengan
malaikat kegelapannya itu, Alex menerima Mia di apartemennya.
“Kalau kau memang ingin menjadi pesuruhku, kuizinkan kau menjadi pesuruhku.” (halaman 42)
Sikap
Alex yang antipati terhadap Mia sangat berlawanan dengan sikap Ray Hirano,
adiknya. Cowok yang lebih dulu mengenal Mia itu (karena mereka sama-sama
menjadi pelatih tari di studio Small
Steps Big Steps) malah terlalu kentara memperlihatkan rasa sukanya terhadap
Mia. Tapi ia harus kecewa karena Mia memperlakukannya sama dengan teman-teman
pria lainnya.
Bisa
ditebak, kebersamaan Alex dan Mia lama-lama mengubah sikap Alex terhadap gadis
itu. Cowok itu jadi menyadari bahwa ia sangat membutuhkan kopi yang enak,
buatan gadis itu. Mendadak, ia juga mendapat inspirasi untuk menulis lagu baru,
setelah teringat akan Mia Clark, akan senyum gadis itu yang secerah sinar
matahari. Ia juga merasa aneh ketika mendapati dirinya kesal melihat Mia bersama
teman prianya, tersenyum pada mereka seperti ia tersenyum pada Alex. Lalu
sebuah rasa pensaran muncul ketika Alex mengetahui bahwa Mia dulunya adalah
salah satu penari Dee Black Dance Company (salah satu klub tari tersohor
Amerika Serikat). Juga, kata Dee Black, Mia adalah salah satu penari terbaik
yang pernah ia miliki, satu dari lima penari kontemporer terbaik dunia. Fakta
itu membuat Alex bertanya-tanya, jika memang Mia sehebat itu, kenapa ia memilih
hanya menjadi seorang pengajar di studio tari—bukannya bergabung dengan klub
tari terkenal dan menari di panggung-panggung broadway?
Ketika
akhirnya rasa penasarannya itu terjawab, Alex malah menyesal. Ia tak ingin
memikirkan kemungkinan terburuk berkaitan dengan kondisi kesehatan Mia yang
menjadi alasan untuk berhenti menari di panggung. Juga kenapa Mia tampak tak
mau menjalin hubungan istimewa dengan laki-laki, padahal tak sedikit yang
mengejar-ngejarnya (Ray termasuk di dalamnya). Begitu juga, akhirnya saya tahu
maksud implisit dari salah satu kalimat sinopsis novel ini: “Kemudian Alex Hirano tersenyum, dan jantung
Mia yang malang melonjak….” Frase kuncinya adalah “JANTUNG MIA YANG
MALANG”.
“Well, kalau obat-obatan tidak berhasil, tidak ada cara lain selain mencari jantung baru untukku.” (halaman 316)
Lalu
satu tawaran untuk menari di panggung menyambut Mia. Dee Black memintanya
menjadi penari utama pada pertunjukan terakhirnya di New York. Satu kali saja,
menampilkan kembali kemampuannya yang luar biasa pada dunia dan mewujudkan
impiannya….
“Impian setiap penari adalah menari di atas panggung, Dee. Kau tahu itu.”
“Aku juga penari. Jadi aku juga memiliki impian itu.” (halaman 303)
Tawaran
yang dilematis, sementara kondisi jantung Mia makin melemah…. Pilihan apa yang
akan dipilih Mia? Menari satu kali saja dengan membahayakan jantungnya, atau
tidak menari sama sekali dan menyesal?
Alex
juga mengalami kekhawatiran tersendiri, yaitu ketika Mia menghindarinya setelah
ia menyatakan perasaannya pada gadis itu. Apa yang ia lakukan selanjutnya? Yang
paling ingin ia ketahui adalah perasaan Mia terhadapnya. Apakah Mia sebenarnya
memiliki perasaan yang sama atau tidak?
Ilana
Tan selalu berhasil membikin saya berkhayal tentang tokoh laki-laki yang ia
ciptakan. Tokoh laki-laki yang manis seperti Alex Hirano; yang rela melakukan
apa saja demi gadis yang dicintainya. Gaya penuturan cerita dengan sudut
pandang orang ketiga terbatas (bukan serba tahu) khas milik Ilana Tan membuat
saya mengetahui pemikiran tiap-tiap tokoh utama. Kisah perkenalan hingga
kebersamaan antara Alex dan Mia pun mengalir secara lincah dengan tempo yang
tak terlalu cepat, tereksplor dengan optimal dan tak berlebihan, meski kadang
banyak terjadi kebetulan. Tapi kebetulan-kebetulan itu masih wajar dan masuk
akal.
Tapi
saya merasa agak bosan dengan cara Ilana Tan menjabarkan pikiran-pikiran dan
ekspresi tokohnya, terasa agak didramatisir, mungkin? Atau ini mungkin efek
terlalu mengenal gaya penulisan Ilana Tan melalui novel-novel sebelumnya?
Entahlah. Juga tentang setting-nya,
latar tempat cerita. Saya tak terlalu merasakan suasana kota New York, meskipun
Ilana mewadahi adegan-adegannya dengan hawa dingin musim gugur dan musim dingin
kota New York, adegan perayaan Natal, adegan di beberapa spot kota New York, seperti kawasan Soho. Tapi semua deskripsi
tempat itu terasa mengambang. Mungkin memang karena penulis tak memfokuskan
karyanya pada penjabaran latar tempat, melainkan pada interaksi antartokoh.
Jujur
saja, saya agak kecewa ketika sampai di bagian ending novel ini yang terasa
terlalu cepat. “Oh gitu doang.” Begitulah kira-kira yang terucap setelah saya
merampungkan sampai halaman terakhir. Plot yang diciptakan Ilana pun terasa
datar, tanpa klimaks yang benar-benar klimaks. Menurut saya, ending Autumn in Paris jauh lebih menggigit emosi saya daripada ending novel ini. Saya ingat, beberapa tahun
lalu, saya meneteskan air mata ketika membaca bagian ending Autumn in Paris. Sungguh disayangkan,
padahal saya berharap lebih pada kepiawaian menulis Ilana Tan yang sudah
terbukti.
Tunggu
dulu, ada satu pertanyaan yang mengganjal di benak saya. Mengapa sedikit pun
tak tebersit pemikiran di otak Alex Hirano untuk mendonorkan jantungnya buat
Mia? Bukankah ia sangat mencintainya? Well,
mungkin jantung mereka tidak akan cocok atau Alex tak sampai segitunya
merelakan hidupnya sendiri. Atau bagaimana, ya? Saya nggak ngerti tentang
syarat-syarat jadi donor transplantasi jantung.
Kemudian,
ketika mendengar bahwa novel ini akan di-layarlebar-kan, saya jadi antusias
karena ingin sekali mendengar seperti apa lagu Sunshine Becomes You ciptaan Alex itu. Lagu yang bisa membuat
“penonton mendesah dan memejamkan mata, membayangkan sinar matahari yang
hangat, padang rumput yang hijau, dan langit biru tak berawan” (halaman 432).
Juga bagaimana memukaunya tarian Mia Clark pada penampilan terakhirnya di atas
panggung. Saya ingin melihat bagaimana “ia bergerak dan menari dengan
keanggunan, kelas, dan kehebatan penari tingkat dunia” dan bagaimana “ia
bercerita melalui gerakan tubuh dan raut wajahnya” (halaman 389).
Tak
sampai di situ saja. Mulailah otak saya berkelana, membayangkan siapa artis Indonesia
yang cocok memerankan Alex, Mia, dan Ray. Hingga saya mampir di
Google dan mendapatkan beberapa profil yang mungkin cocok seperti di bawah ini, meskipun saya tak tahu apakah mereka mumpuni untuk bermain piano (Alex) dan menari (Mia dan Ray).
Dan sekarang beneran ada filmnya :P
ReplyDeleteCast Predictionnya meleset semua tapi semoga filmnya sukses yaaa hehehe
Aku blm nonton, Selvia :-q
DeleteDan kecewa sama cast-nya wahahaha