Judul Buku :
Pasangan (Jadi) Jadian
Penulis :
Lusiwulan
Tebal :
248 halaman
Penerbit/cetakan : Gramedia/Cetakan ketiga, 2009
ISBN :
978-979-22-3538-8
Harga :
Tak diketahui (novel
minjem, hihi)
“Kalian menikah!” Gantian Kakek
yang berseru. (halaman 79)
Priyayi merapikan posisinya
sesaat. “Aku sudah mikirin ini baik-baik. Kita nikah di hadapan Kakek, tapi
kita tetap berteman...” (halaman 91)
OH MY GOSH!! Jangan pikir ini adalah novel
tentang pernikahan dini. Tentang sepasang remaja yang terpaksa menikah
gara-gara hamil duluan, alias MBA (Married by Accident). Oke, setengah
benar..., di bagian “MBA”-nya. Tapi mereka bukan sepasang remaja. Dan si cewek
juga nggak hamil.
Si cewek dan cowok itu adalah Priyayi dan
Jagad, yang sudah berumur 24 tahun. Mereka tinggal serumah karena Priyayi
menemukan ide bagus untuk menambah pemasukan celengannya demi cita-citanya
jalan-jalan sampe mampus ke Eropa. Ide bagus itu adalah dia akan menyewakan
sebuah kamar kosong di rumahnya yang ia tinggali sendiri. Juga karena Jagad
yang sedang tak punya tempat tinggal dan terbelit masalah finansial..., maklum
baru satu bulan bekerja sebagai guru matematika. Jadilah mereka berdua tinggal
satu atap, berbagi ruang, nggak lebih (katanya).
Seorang gadis dan laki-laki tinggal
serumah, sementara status mereka berdua hanya teman. Ini memang nggak etis.
Apalagi kedua orang itu sama-sama sudah memiliki tambatan hati. Malah Priyayi
dan Jimmy, pacarnya, sudah merencanakan masa depan bersama. Jimmy memang kurang
setuju dengan keputusan Priyayi yang menerima Jagad dalam rumahnya, tapi dia
mencoba berbesar hati. Sedangkan di pihak lain, Syamila, pacar Jagad, tak
mengetahui bahwa pacarnya itu tinggal di rumah seorang cewek.
Awalnya semua berjalan normal. Keadaan
menjadi runyam ketika Syamila akhirnya mengetahui di mana dan dengan siapa
Jagad tinggal serumah. Makin menjadi-jadilah saat orang tua dan Kakek
kesayangan Priyayi serta orang tua Jagad tanpa sengaja datang ke rumah Priyayi
berbarengan di suatu pagi. Mungkin nggak akan terlalu mengejutkan jika saja
Jagad nggak keluar dari kamar Priyayi dengan tampilan khas baru bangun tidur.
Semua orang pasti bisa menyimpulkan apa yang telah terjadi.
“Ehh... emm...” Priyayi berujar
terbata-bata. “Jagad main game semalaman di komputerku...”
“JANGAN BOHONG!” Kelima orang
berseru bebarengan. (halaman 77-78)
Well, salahkan hasrat yang muncul tiba-tiba
lantaran tubuh terkuasai efek mabuk minuman keras. Mereka melakukan “hal itu”
hampir tanpa sadar dan menyesalinya kemudian. Akhirnya mereka menikah,demi
menyenangkan Kakek Priyayi yang sampai jatuh sakit karena shock. Mereka memang menikah, tapi itu hanyalah bagian dari rencana
Priyayi. Bermain peran, judulnya. Yah, mereka berpura-pura sebagai sepasang
suami-istri muda yang bahagia, tapi di balik itu, mereka tetap menjalin
hubungan dengan pacar masing-masing.
Beberapa kali Priyayi ketahuan sedang
berduaan dengan Jimmy. Begitu juga Jagad, yang kepergok oleh Kumala (teman
Priyayi yang seorang adventurer) sedang ketemu berdua dengan Syamila. Hal ini
menambah beban Yasmin (sahabat Priyayi yang tahu rahasianya tentang “bermain
peran”), yang harus menjaga rahasia semua orang, sementara ada pihak lain yang
akan marah jika nggak dikasih tahu tentang rahasia itu. Lalu Jagad melakukan
sebuah kesalahan besar: jatuh cinta pada Priyayi. Apakah Priyayi juga memiliki
perasaan yang sama terhadapnya? Bagaimana jadinya hubungan mereka dengan pacar
masing-masing? Juga, gimana jadinya pernikahan mereka itu?
Tema cerita yang diusung oleh Lusiwulan
dalam novel ini memang klise. Dua orang cewek-cowok terpaksa tinggal satu
rumah. Lalu melakukan “hal yang bikin keenakan” itu tanpa sengaja (kalau nggak
sengaja, gimana bisa? Hahah). Terpaksalah juga mereka menikah, padahal tak
saling cinta. Salah satu dari mereka, atau keduanya, (saling) jatuh cinta. Alur
cerita ini memang gampang ditebak, tapi anehnya, novel ini laris manis, sampai
cetak ulang ketiga kali, lho! Gimana bisa begitu?
Menurut saya, mungkin karena:
(1) gaya bahasa Lusiwulan yang mengalir lincah,
bikin pembaca betah, apalagi dengan banyolannya yang jayus. Cocok banget buat
bacaan hiburan. Kayak begini contohnya: “Lantaran
mereka semua hidup di alam, maka berlakulah hukum alam, salah satunya adalah
manusia boleh berencana, tetap Tuhan-lah yang menentukan. Jadi, selalu ada
satu-dua hal meleset di luar rencana. Pasangan yang pakai kontrasepsi aja bisa
kebobolan, apalagi yang bukan pasangan. Lho, kok gini analoginya?!” (halaman
29-30). Haha, silakan ngakak :p.
(2) meski begitu, tetap ada pesan moral
yang disampaikan oleh Lusiwulan secara lugas dan sederhana. Seperti ini: “Kalau terus saja terpaku memikirkan dan
menyesali itu, kapan kita maju untuk melanjutkan hidup? Walaupun untuk
kesalahan itu berarti kita harus siap menerima konsekuensinya...” (halaman 86)
(3) nggak banyak deskripsi tempat. Semua setting diceritakan oleh Lusiwulan
dengan singkat, sederhana, tapi cukup memberi gambaran pada pembaca. Penulis
lebih menekankan interaksi interpersonal dan intrapersonal tokohnya. Hal ini
membuat cerita dengan lincah melompat dari satu adegan ke adegan lainnya,
terasa asyik bagi pembaca. Mungkin jika ini adalah novel yang berkonsep
jalan-jalan, atau semacam seri STPC-nya Gagasmedia, poin ini justru akan
menjadi kelemahannya.
(4) saya pribadi sangat suka dengan
keberadaan subbab-subbab pada novel ini, bikin nggak bosan (saya selalu suka
novel yang terdiri dari bab yang pendek-pendek, tapi jika bab itu lumayan
panjang, dengan adanya subbab akan sangat membantu agar tak jenuh). Dan subbab
itu juga lucu-lucu, unik, dan bikin penasaran. Matahari terbit, suplai oksigen (halaman 86). Perayaan, “uji akting” (halaman 159). Seharian, sesuatu yang lain (halaman 206). Smart idea, Kak Lusiwulan! Jadi pengen mencoba bikin novel dengan
subbab unik kayak begitu. Hehehe.
(5) novel ini.... ANTI TYPO!!!! (maksudnya, ada typo tapi dikiiiiit banget, yang jelas
nggak mengganggu J).
Selain alasan-alasan itu, saya juga suka
dengan cara berpikir Priyayi. Bahwa ia tak setuju dengan cara pandang Kakeknya
dalam menghadapi insiden yang menimpa cucunya itu. Yaitu tentang kehormatan,
yang mengalahkan perasaan dan kasih sayang. Pandangan seperti ini umum dimiliki
oleh para orangtua zaman bahula.
“Kenapa menyelamatkan muka lebih
penting, Kek? Kenapa nggak nerima aku apa adanya?” (halaman 118)
Di sisi lain, saya setuju dengan sikap
Mama dan Papa Priyayi yang menerima anaknya apa adanya, tanpa menghakimi.
Meskipun awalnya mereka syok.
“Apapun kesalahanmu, selama kamu
menyesalinya, mama dan papamu akan menganggap itu berlalu, cuma sedikit masa
lalu. Masih banyak yang lebih baik di depan.” (halaman 83)
Keren banget. Merekalah contoh orang-orang
dewasa yang BENAR-BENAR DEWASA. Meski, saya yakin, masih jarang di Indonesia
orang tua yang berpikiran seperti itu, mungkin termasuk orang tua saya (sungguh
disayangkan).
Satu hal yang agak mengganggu saya adalah,
kadang, penjelasan tentang setting waktu
dan tempat terlalu minim (meski ini salah satu poin lebih dari novel ini),
hingga kadang saya bingung ini kejadian kapan dan di mana. Padahal tadi lagi
ngapain, kok sekarang ngapain. Juga ada beberapa adegan dialog tanpa keterangan
siapa yang bilang apa, membuat agak bingung.Overall,
saya suka buku ini. Ceritanya ringan, cocok sekali untuk para pembaca yang
sedang ingin membaca novel sebagai hiburan, nggak pake mikir berat ^^.
I think your blog is great for readers and beg for more updates his blog
ReplyDeletedomino qiu qiu