12 August 2013

Resensi PASANGAN (JADI) JADIAN "(Ternyata Nggak Cuma) Berbagi Ruang"



Judul Buku                            : Pasangan (Jadi) Jadian
Penulis                                  : Lusiwulan
Tebal                                    : 248 halaman
Penerbit/cetakan                   : Gramedia/Cetakan ketiga, 2009
ISBN                                   : 978-979-22-3538-8
Harga                                   : Tak diketahui (novel minjem, hihi)


“Kalian menikah!” Gantian Kakek yang berseru. (halaman 79)
Priyayi merapikan posisinya sesaat. “Aku sudah mikirin ini baik-baik. Kita nikah di hadapan Kakek, tapi kita tetap berteman...” (halaman 91)
OH MY GOSH!! Jangan pikir ini adalah novel tentang pernikahan dini. Tentang sepasang remaja yang terpaksa menikah gara-gara hamil duluan, alias MBA (Married by Accident). Oke, setengah benar..., di bagian “MBA”-nya. Tapi mereka bukan sepasang remaja. Dan si cewek juga nggak hamil.
Si cewek dan cowok itu adalah Priyayi dan Jagad, yang sudah berumur 24 tahun. Mereka tinggal serumah karena Priyayi menemukan ide bagus untuk menambah pemasukan celengannya demi cita-citanya jalan-jalan sampe mampus ke Eropa. Ide bagus itu adalah dia akan menyewakan sebuah kamar kosong di rumahnya yang ia tinggali sendiri. Juga karena Jagad yang sedang tak punya tempat tinggal dan terbelit masalah finansial..., maklum baru satu bulan bekerja sebagai guru matematika. Jadilah mereka berdua tinggal satu atap, berbagi ruang, nggak lebih (katanya).
Seorang gadis dan laki-laki tinggal serumah, sementara status mereka berdua hanya teman. Ini memang nggak etis. Apalagi kedua orang itu sama-sama sudah memiliki tambatan hati. Malah Priyayi dan Jimmy, pacarnya, sudah merencanakan masa depan bersama. Jimmy memang kurang setuju dengan keputusan Priyayi yang menerima Jagad dalam rumahnya, tapi dia mencoba berbesar hati. Sedangkan di pihak lain, Syamila, pacar Jagad, tak mengetahui bahwa pacarnya itu tinggal di rumah seorang cewek.
Awalnya semua berjalan normal. Keadaan menjadi runyam ketika Syamila akhirnya mengetahui di mana dan dengan siapa Jagad tinggal serumah. Makin menjadi-jadilah saat orang tua dan Kakek kesayangan Priyayi serta orang tua Jagad tanpa sengaja datang ke rumah Priyayi berbarengan di suatu pagi. Mungkin nggak akan terlalu mengejutkan jika saja Jagad nggak keluar dari kamar Priyayi dengan tampilan khas baru bangun tidur. Semua orang pasti bisa menyimpulkan apa yang telah terjadi.
“Ehh... emm...” Priyayi berujar terbata-bata. “Jagad main game semalaman di komputerku...”
“JANGAN BOHONG!” Kelima orang berseru bebarengan. (halaman 77-78)
Well, salahkan hasrat yang muncul tiba-tiba lantaran tubuh terkuasai efek mabuk minuman keras. Mereka melakukan “hal itu” hampir tanpa sadar dan menyesalinya kemudian. Akhirnya mereka menikah,demi menyenangkan Kakek Priyayi yang sampai jatuh sakit karena shock. Mereka memang menikah, tapi itu hanyalah bagian dari rencana Priyayi. Bermain peran, judulnya. Yah, mereka berpura-pura sebagai sepasang suami-istri muda yang bahagia, tapi di balik itu, mereka tetap menjalin hubungan dengan pacar masing-masing.
Beberapa kali Priyayi ketahuan sedang berduaan dengan Jimmy. Begitu juga Jagad, yang kepergok oleh Kumala (teman Priyayi yang seorang adventurer) sedang ketemu berdua dengan Syamila. Hal ini menambah beban Yasmin (sahabat Priyayi yang tahu rahasianya tentang “bermain peran”), yang harus menjaga rahasia semua orang, sementara ada pihak lain yang akan marah jika nggak dikasih tahu tentang rahasia itu. Lalu Jagad melakukan sebuah kesalahan besar: jatuh cinta pada Priyayi. Apakah Priyayi juga memiliki perasaan yang sama terhadapnya? Bagaimana jadinya hubungan mereka dengan pacar masing-masing? Juga, gimana jadinya pernikahan mereka itu?
Tema cerita yang diusung oleh Lusiwulan dalam novel ini memang klise. Dua orang cewek-cowok terpaksa tinggal satu rumah. Lalu melakukan “hal yang bikin keenakan” itu tanpa sengaja (kalau nggak sengaja, gimana bisa? Hahah). Terpaksalah juga mereka menikah, padahal tak saling cinta. Salah satu dari mereka, atau keduanya, (saling) jatuh cinta. Alur cerita ini memang gampang ditebak, tapi anehnya, novel ini laris manis, sampai cetak ulang ketiga kali, lho! Gimana bisa begitu?
Menurut saya, mungkin karena:
(1) gaya bahasa Lusiwulan yang mengalir lincah, bikin pembaca betah, apalagi dengan banyolannya yang jayus. Cocok banget buat bacaan hiburan. Kayak begini contohnya: “Lantaran mereka semua hidup di alam, maka berlakulah hukum alam, salah satunya adalah manusia boleh berencana, tetap Tuhan-lah yang menentukan. Jadi, selalu ada satu-dua hal meleset di luar rencana. Pasangan yang pakai kontrasepsi aja bisa kebobolan, apalagi yang bukan pasangan. Lho, kok gini analoginya?!” (halaman 29-30). Haha, silakan ngakak :p.
(2) meski begitu, tetap ada pesan moral yang disampaikan oleh Lusiwulan secara lugas dan sederhana. Seperti ini: “Kalau terus saja terpaku memikirkan dan menyesali itu, kapan kita maju untuk melanjutkan hidup? Walaupun untuk kesalahan itu berarti kita harus siap menerima konsekuensinya...” (halaman 86)
(3) nggak banyak deskripsi tempat. Semua setting diceritakan oleh Lusiwulan dengan singkat, sederhana, tapi cukup memberi gambaran pada pembaca. Penulis lebih menekankan interaksi interpersonal dan intrapersonal tokohnya. Hal ini membuat cerita dengan lincah melompat dari satu adegan ke adegan lainnya, terasa asyik bagi pembaca. Mungkin jika ini adalah novel yang berkonsep jalan-jalan, atau semacam seri STPC-nya Gagasmedia, poin ini justru akan menjadi kelemahannya.
(4) saya pribadi sangat suka dengan keberadaan subbab-subbab pada novel ini, bikin nggak bosan (saya selalu suka novel yang terdiri dari bab yang pendek-pendek, tapi jika bab itu lumayan panjang, dengan adanya subbab akan sangat membantu agar tak jenuh). Dan subbab itu juga lucu-lucu, unik, dan bikin penasaran. Matahari terbit, suplai oksigen (halaman 86). Perayaan, “uji akting” (halaman 159). Seharian, sesuatu yang lain (halaman 206). Smart idea, Kak Lusiwulan! Jadi pengen mencoba bikin novel dengan subbab unik kayak begitu. Hehehe.
(5) novel ini.... ANTI TYPO!!!! (maksudnya, ada typo tapi dikiiiiit banget, yang jelas nggak mengganggu J).
Selain alasan-alasan itu, saya juga suka dengan cara berpikir Priyayi. Bahwa ia tak setuju dengan cara pandang Kakeknya dalam menghadapi insiden yang menimpa cucunya itu. Yaitu tentang kehormatan, yang mengalahkan perasaan dan kasih sayang. Pandangan seperti ini umum dimiliki oleh para orangtua zaman bahula.
“Kenapa menyelamatkan muka lebih penting, Kek? Kenapa nggak nerima aku apa adanya?” (halaman 118)
Di sisi lain, saya setuju dengan sikap Mama dan Papa Priyayi yang menerima anaknya apa adanya, tanpa menghakimi. Meskipun awalnya mereka syok.
“Apapun kesalahanmu, selama kamu menyesalinya, mama dan papamu akan menganggap itu berlalu, cuma sedikit masa lalu. Masih banyak yang lebih baik di depan.” (halaman 83)
Keren banget. Merekalah contoh orang-orang dewasa yang BENAR-BENAR DEWASA. Meski, saya yakin, masih jarang di Indonesia orang tua yang berpikiran seperti itu, mungkin termasuk orang tua saya (sungguh disayangkan).
Satu hal yang agak mengganggu saya adalah, kadang, penjelasan tentang setting waktu dan tempat terlalu minim (meski ini salah satu poin lebih dari novel ini), hingga kadang saya bingung ini kejadian kapan dan di mana. Padahal tadi lagi ngapain, kok sekarang ngapain. Juga ada beberapa adegan dialog tanpa keterangan siapa yang bilang apa, membuat agak bingung.Overall, saya suka buku ini. Ceritanya ringan, cocok sekali untuk para pembaca yang sedang ingin membaca novel sebagai hiburan, nggak pake mikir berat ^^.

1 comment:

  1. I think your blog is great for readers and beg for more updates his blog
    domino qiu qiu

    ReplyDelete

Your comment is so valuable for this blog ^^

bloggerwidgets