Penulis :
Brahmanto Anindito dan Rie Yanti
Tebal :
xiv + 314 halaman
Penerbit/cetakan :
Gagasmedia/Cetakan pertama, 2010
ISBN :
979-780-443-7
Harga :
Rp 37.000,00
Pertama kali membaca judul novel ini, saya
membayangkan kain satin berwarna merah, yang mungkin nanti akan muncul di dalam alur cerita. Apalagi
cover depannya juga berhiaskan gambar abstrak semacam gumpalan kain berwarna
merah. Saya tercengang begitu sampai di sekitar ¾ bagian novel, pada bab 62
yang menjelaskan secara eksplisit apa itu “satin merah”. Beneran tak terduga,
jauh sekali dari persepsi saya, seperti jika Anda mendengar frasa “white collar” dan mungkin langsung
muncul bayangan kemeja berkerah putih, padahal arti sebenarnya adalah “pekerja
kantoran”. Hehe.
Beralih ke sub judulnya, yang sungguh
menarik, “Aku cuma ingin jadi signifikan.” Signifikan yang bagaimana? Jadi
orang penting yang seperti apa? Pertanyaan ini terjawab oleh paragraf pertama
sinopsis pada cover belakang, “Satu-satunya cara untuk membuat Nadya merasa
dirinya berharga dan ‘terlihat’ adalah dengan selalu berprestasi. Tapi seiring
waktu berlalu, dia mendapati sinarnya kian memudar. Nadya tak ingin terlupakan.
Dia merasa harus membuat gebrakan prestasi untuk membuat pujian dan tatapan
kagum kembali tertuju padanya.”
Novel ini diawali dengan ditemukannya dua
mayat sastrawan Sunda di pekarangan dan bak mandi rumah salah seorang dari
almarhum itu. Jelas sekali bahwa mereka korban pembunuhan. Tapi, siapa yang
melakukan perbuatan keji itu? Dan apa motivasinya?
Nindhita Irani Nadyasari atau biasa
dipanggil Nadya adalah seorang murid kelas 12 SMA Priangan 2 Bandung. Ia
termasuk ke dalam jenis murid yang study-oriented,
selalu menyabet predikat ranking satu selama ia sekolah. Tapi adiknya, Alfi,
makin bertumbuh menjadi seorang anak yang langganan mewakili sekolahnya dalam
berbagai lomba dan tak jarang meraih juara. Hal itu menenggelamkan
kecemerlangan Nadya, lantaran prestasi yang ia raih membosankan, itu-itu saja,
yaitu menjadi ranking satu di kelas. Ditambah lagi dengan omelan-omelan dari
orangtuanya yang sering membandingkannya dengan adiknya, makin membesarkan api
kemarahan Nadya.
Datanglah satu kesempatan untuk
menunjukkan bahwa ia mampu berprestasi. Untuk kembali merebut perhatian
orang-orang di sekitarnya. Lomba siswa teladan se-Bandung-Raya itulah yang ia
manfaatkan baik-baik untuk menyedot pujian-pujian dari seantero Bandung jika ia
berhasil menjadi juara. Sampailah ia pada seleksi tahap ketiga, yang
mengharuskannya menulis karya ilmiah dalam jangka waktu tiga bulan. Berbagai
topik karya ilmiah diluncurkan oleh teman-temannya, semacam global warming, tapi ia butuh tema yang
menantang.
“Sebuah tema yang tidak banyak
diketahui orang, terutama oleh para kompetitornya di lomba ini. Namun, tema itu
juga harus siginifikan...” (halaman 8)
Lantas, tanpa sengaja, suatu topik unik
muncul di benaknya: sastra Sunda. Topik ini menimbulkan komentar negatif nan
skeptis dari teman-temannya, Diana dan Valen, yang menyebabkan hubungan mereka
merenggang. Hanya Echa-lah yang tetap setia menjadi temannya hingga akhir.
Bahkan papanya juga tak menyetujuinya.
“Kamu ini ya, Sastra Sunda aja
dipikirin! Ngapain sih, mau-maunya! Biar orang desa yang lebih berbakat
kesenian yang ngurusin perkara remeh gitu. Di keluarga kita, nggak ada
darah-darah sastrawan, tau nggak? Kamu mau jadi apa, Naaak, ngurusin sastra itu
mau jadi apaaaa? Orang kere di Indonesia ini udah banyak!” (halaman
161)
Tak masalah. Tak ada yang mampu
menghentikan Nadya jika ia sudah kerasukan roh ambisius seperti ini.
Langkah awal yang ia lakukan adalah
mencari informasi lewat internet, tentang perkembangan sastra Sunda. Tapi
pencarian itu tak membuahkan hasil yang memuaskan. Akhirnya ia mencari alamat
dan mewawancarai para tokoh sastra Sunda, sekaligus meminta mereka menjadi
mentornya yang akan mengajarinya menulis. Tokoh pertama yang ia datangi adalah
Yahya Soemantri, seorang sastrawan yang hidup soliter, dingin, dan bermulut
pedas. Cerpen yang Nadya buat dengan penuh usaha keras itu malah dicecarnya
habis-habisan, memancing kemarahanNadya. Kemudian ia beralih ke tokoh lainnya,
penulis yang memiliki spesialisasi genre kriminal, Didi Sumpena Pamungkas. Awalnya,
ia belajar dengan penuh semangat lantaran Didi tak seperti Yahya; beliau
humoris dan menyenangkan. Namun Nadya jadi panas dingin ketika Didi menunjukkan
gelagat ingin menguak kebenaran di balik menghilangnya Yahya, teman sesama
sastrawan Sunda.
Melalui jejaring sosial facebook, Nadya
berkenalan dengan penulis lain, Nining, seorang wanita ramah, lembut, dan penuh
cinta. Beliau selalu mendasari tulisannya dengan tema cinta. Orang ini juga
mempopulerkan korelasi antara sastra dan terapi jiwa. Nadya juga ingin memiliki
ilmu ini, di mana ia akan bisa memberi sentuhan cinta pada karya-karyanya.
Tatkala ia telah berhasil memilikinya, seorang dosen Sastra Sunda Unpad, Lina
Inawati, yang juga teman Nining, mengajaknya berkenalan lantaran tertarik akan
karya-karya Nadya yang ia post di
facebook.
Di sisi lain, Lina heran akibat
meninggalnya orang-orang dekatnya dengan misterius. Mulai dari Yahya
(pamannya), Didi, hingga Nining, sahabatnya. Ia pun mencurigai seseorang di
facebook bernama Lotus, yang menge-post
karya-karyanya di grup Sastra Sunda Plus (SS+). Kecurigaan Lina itu beralasan,
kecermatannya membuatnya melihat kemiripan karya-karya Lotus dengan almarhum
Yahya, Didi, juga Nining. Pada akhirnya, beliau juga mencurigai Nadya, karena
ia ada di rumah Nining malam sebelum wanita itu meninggal akibat diracun.
Akankah Lina berhasil mengungkap siapa
sebenarnya Lotus? Dan apakah benar ia pembunuh para sastrawan itu?
Apakah fenomena “energi putih”—penampakan
berupa energi serupa mega putih di mimpinya, yang menandai bahwa ia sudah
mewarisi ilmu-ilmu seseorang setelah ia bertemu dan berguru secara langsung
dengan orang itu—yang sering dialami Nadya dan sudah menyimpang jauh itu akan
dapat ia kendalikan?
“Tema yang nyaris tak tersentuh oleh
penulis zaman sekarang. Dipadukan dengan kehidupan anak muda yang sangat akrab
dengan teknologi internet. Menarik banget. Unik. Orisinal.” Begitulah testimoni
dari Feby Indirani terhadap novel ini. Saya setuju dengan pendapat itu. Sebuah
kisah misteri diwarnai secercah fantasi (tentang fenomena aneh “energi putih”
itu), yang dibangkitkan oleh roh kesusasteraan Sunda, dan kejadian serta setting yang dekat dengan dunia nyata
anak muda. Diolah secara apik oleh dua orang penulis ini, yang melakukan
aktivitas penulisan hanya lewat jagat maya. Bagi saya, itu keren sekali. Tanpa
pernah bertatap muka, mereka berdua berhasil menjalin kreativitas hingga
mewujud jadi novel Satin Merah.
Jujur, saya selalu menyukai novel dengan
bab-bab yang pendek-pendek. Oleh karena itu, saya puas membaca buku ini,
bagaimana tidak, hanya dengan tebal 314 halaman, novel ini terbagi menjadi 81
bab. Teknik penulisan semacam ini berhasil menarik saya mengikuti alurnya yang
menegangkan tanpa menjadi bosan. Meski
suasana yang dihadirkan oleh novel ini tegang dan kelam (hasil injeksi Brahm),
tetap tak kehilangan keindahan unsur puitis sastra Sunda (ciptaan Rie Yanti). Alur
yang dibangun pun turut membikin suasan tegang, dengan mengisahkan secara maju
dan mundur. Misalnya ketika terakhir kali Nadya bertemu dengan Yahya pada bab
16, dan pada bab 26 baru diceritakan kembali kejadian bagaimana Yahya
meninggal. Jarak yang lumayan jauh ini berhasil menghindarkan kebingungan pada
pembaca tentang setting waktu.
Kedua penulis ini juga berhasil
menciptakan penokohan yang kuat, terutama untuk Nadya. Tergambar secara
konsisten bagaimana sifat gadis itu: arogan, ambisius, penuh rasa ingin tahu,
tak sabaran. Juga bagaimana lembutnya Nining. Dinginnya Yahya. Humorisnya Didi.
Cerdas & penuh curiganya Lina.
Namun yang disayangkan, meskipun novel ini
bergenre misteri, tapi menurut saya kurang narasi aktual di bagian ketika Didi,
Nining, dan Hilmi dibunuh. Ketiga kasus itu hanya diceritakan melalui tokoh
figuran lain. Lalu ada satu peristiwa yang masih mengusik logika saya hingga
saat ini (setelah dua kali saya baca Satin Merah), yaitu adegan meninggalnya
Nadya. Tubuhnya gosong tersambar petir dan mati. Bukankah petir itu akan
mencapai puncak benda yang paling tinggi lebih dulu? Maka dari itu, dipasang
penangkap petir pada gedung-gedung tinggi, bukan, yang akan mengalirkan energi
listrik petir itu ke tanah, jadi tak berbahaya? Nah, yang aneh adalah Nadya
tersambar petir di kawasan yang dihuni bangunan tinggi (menurut deskripsi novel
itu, kafe Terakota yang ada di jalan itu saja terdiri dari dua lantai, kan?).
Jadi, bagaimana bisa tubuh Nadya yang diincar si petir? Kecuali jika memang
kejadian ini dimaksudkan sebagai peristiwa gaib.
Terlepas dari itu semua, saya hendak
memberi tepuk tangan untuk novel ini. Sukses memperkaya tulisan fiksi anak
bangsa di genre thriller, di mana
Indonesia masih miskin saat ini. Sudah saatnya para penulis Indonesia melirik
dan menggarap tema-tema yang unik. Apalagi berani mengolah unsur lokalitas
berpadu dengan kemodernan zaman seperti Satin Merah ini.
“Aku bersumpah jadi sastrawan
yang siginifikan. Nggak bakal ada lagi orang yang meremehkan Sastra Sunda!”
(halaman 279)
0 komentar:
Post a Comment
Your comment is so valuable for this blog ^^