20 January 2015

[Resensi "Dunia Anna"] Sudah Saatnya Kita Sadar...



 Judul Buku                     : Dunia Anna
Penulis                          : Jostein Gaarder
Penerjemah                   : Irwan Syahrir
Tebal                             : 244 halaman
Penerbit/cetakan            : Mizan/Cetakan II, November 2014
ISBN                             : 978-979-433-842-1
Harga                            : Rp 45.000,00
Rating                           :


Ya, saya memang tidak sedang meresensi The Winner Stands Alone, tapi quote di atas adalah salah satu yang saya suka dan juga relevan untuk membuka resensi ini. Quote itu menunjukkan suatu sisi pemikiran yang baru bagi saya. Di saat saya dan berjuta orang lainnya di dunia berlomba-lomba ingin menyelamatkan bumi, Paulo Coelho malah bilang kalau tindakan kita itu sombong. Bumi akan baik-baik saja, nggak usah sok-sokan ingin menyelamatkannya. Alih-alih “menyelamatkan bumi”, lebih tepat jika “berusaha agar bumi tidak menghancurkan kita”. Begitu mungkin kira-kira. Sebenarnya, tindakan konkretnya sama saja, hanya beda paradigma. Kita tidak membuang sampah di sungai bukan untuk menyelamatkan bumi, melainkan untuk mencegah agar tidak terjadi banjir; agar bumi tidak menghancurkan kita.
Yang sedang dilakukan Anna dalam novel Dunia Anna adalah berusaha agar bumi tidak menghancurkan anak-cucunya. Saat berumur 10 tahun, gadis Norwegia itu sudah menyadari ada yang tidak beres dengan alam sekitarnya. Rusa kutub mati, yang lainnya berkeliaran ke desa. Pertanda apakah itu?
Enam tahun kemudian, di tahun 2012, Anna sudah masuk ke SMU. Di ulang tahun ke-16-nya, ia mewarisi sebuah cincin rubi berusia lebih dari 100 tahun dari Tante Sunniva. Ia juga sudah punya pacar, kakak kelasnya, Jonas namanya. Anna memiliki suatu kelebihan (atau keanehan?): suka berfantasi yang terlihat sangat nyata, dan mimpinya juga selalu terasa nyata hingga ia bisa mengingat kejadian-kejadian dalam mimpi sangat detail ketika bangun tidur. Musim gugur tahun itu ia bertemu dengan Dokter Benjamin, seorang psikiater. Obrolan mereka berlangsung seru, hingga melebar ke topik lain.
“Ada sesuatu yang kamu khawatirkan, Anna?”
“Pemanasan global.” (hal. 20)
Setelah pertemuan dengan dokter itu, Anna menjelma jadi Nova dalam mimpinya. Anehnya, Nova ini adalah cicitnya di tahun 2082, dan dalam mimpinya juga ada dirinya sendiri—Anna dalam versi nenek-nenek. Di tahun itu, binatang-binatang yang sekarang masih ada hanya dapat dinikmati keelokannya lewat video-video. Tiba-tiba, karena rasa penasaran, Nova mengetikkan nama nenek buyutnya, Anna Nyrud, di mesin pencari. Terkejutlah ia, karena ia menemukan sebuah surat yang ditujukan untuknya, bertanggal 11 Desember 2012, sehari sebelum Anna berulang tahun ke-16. Bagaimana bisa Anna tahu akan punya cicit bernama Nova?
Dari hasil temuannya, Nova tahu bahwa generasi nenek buyutnyalah yang merusak bumi. Mendadak, dia merasa marah.
“Aku mau seluruh jutaan jenis flora dan fauna itu semua dikembalikan. Aku cuma bilang kalau aku mau dunia tempat hidupku ini seindah dunia yang Nenek nikmati waktu seumurku....” (hal. 50)
Dan neneknya menjawab dengan misterius, sambil mengelus cincin rubi di jarinya.
“Mungkin dunia ini bisa mendapat kesempatan baru...” (hal. 52)
Apakah cincin itu memiliki kekuatan ajaib? Apa benar, semuanya bisa dikembalikan? Pengalaman Anna lewat mimpi, apakah itu semacam petualangan lintas-dimensi?
***
Berbeda dengan Dunia Sophie yang berisi murni filsafat (sehingga saya tidak sanggup menyelesaikannya), Dunia Anna ini lebih mengedepankan isu-isu seputar kerusakan lingkungan dan pemanasan global, yang dimaknai secara filsafat. Jostein Gaarder gemar menggunakan remaja sebagai tokoh utamanya, sebagaimana ia lakukan dalam Dunia Sophie dan Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken.
Anna, adalah remaja cerdas dan tekun yang cara berpikirnya lebih dewasa ketimbang remaja seusianya. Oleh karena itu, ia senang ketika Dokter Benjamin memperlakukannya seperti orang dewasa. Gadis ini tertarik pada permasalahan lingkungan. Sementara itu, tokoh Jonas adalah sosok pacar yang kooperatif dan juga cerdas. Saya mengagumi kecemerlangan idenya dalam membantu menemukan solusi dari permasalahan Anna.
Sementara itu, tokoh Dokter Benjamin berperan sebagai pencetus ide agar Anna dan Jonas membentuk sebuah organisasi lingkungan hidup. Dan tokoh Ester, putri Dokter Benjamin, aktivis pecinta lingkungan, yang kala itu ditawan perompak Somalia, berperan dalam cerita secara tidak langsung. Esterlah yang mengajari ayahnya permasalahan seputar iklim dan lingkungan. Terakhir, tokoh Nova merupakan sosok gadis yang seperti Anna, punya rasa ingin tahu yang tinggi.
Plot yang dibangun Gaarder hanya berlangsung sekitar dua hari di dunia Anna, tapi terasa seolah dalam waktu yang lama. Terkadang, saya dibuat bingung oleh timeline kejadian. Anna bercerita bahwa hari ini adalah 10 Desember, lalu tiba-tiba ia menceritakan pengalamannya di bulan Oktober. Pembaca yang belum siap akan perpindahan waktu secara mendadak ini mungkin akan bingung. Tapi saya rasa, Gaarder memang sengaja tidak terlalu mementingkan plot agar pesan-pesan filsafat lingkungan lebih menonjol.
Novel ini dibagi menjadi 38 bab yang pendek-pendek (saya selalu suka bab pendek) sehingga tidak membosankan. Gaarder juga dapat mempertahankan rasa penasaran pembaca dengan teka-teki yang ia ajukan lewat pertanyaan-pertanyaan Anna dan juga Nova. 20 bab dengan sudut pandang Anna di masa kini, dan sisanya sudut pandang Anna sebagai Nova di tahun 2082. Perpindahan sudut pandang ditandai dengan perbedaan jenis huruf yang digunakan. Tiap perpindahan sudut pandang, Gaarder menggunakan benang penghubung lewat latar tempat. Misalnya,
- Nova sedang memandangi langit berbintang. Bab berikutnya, Anna juga melewati spot itu, lalu juga memandangi langit.
- Anna sedang terbangun dari tidurnya dan memandangi pom bensin di seberang jendelanya. Di tahun 2082, Nova juga sedang melakukan hal yang sama.

Teknik ini berhasil menjalin benang merah tak terputus sepanjang kisah. Meski begitu, ada beberapa hal yang menurut saya agak aneh, seperti berikut. Tertulis di halaman 98 bahwa di tahun 2082 Nova menggunakan Android. Menurut saya, apakah mungkin 70 tahun kemudian (dihitung dari zaman Anna, yaitu tahun 2012) Android masih eksis? Bukankah perkembangan dunia teknologi sangat cepat? Sekitar tujuh tahun saja yang dibutuhkan Android untuk berkembang mulai dari awal peluncuran hingga menguasai pangsa pasar sistem operasi smartphone. Kalau 70 tahun? Saya yakin, Android sudah digantikan sistem operasi lain yang jauh lebih maju.
Saya mengapresiasi ide Gaarder untuk memunculkan beragam aplikasi dan teknologi yang mendukung usaha penyelamatan lingkungan. Saya juga menyukai gaya berpacaran Anna-Jonas yang sangat cerdas. Seharusnya memang tujuan pacaran adalah saling mengembangkan kedua individu ke arah yang lebih baik. Dan Anna-Jonas melakukannya dengan bersama-sama aktif dalam memecahkan masalah kerusakan lingkungan. Keren sekali! Gaya berpacaran mereka juga unik, contohnya ide Anna untuk membaca buku yang sama berbarengan (hal. 229). Hei, ada berapa pasangan remaja di Indonesia, sih, yang kerjaannya baca buku bareng? Hehehe.
Bicara tentang cincin rubi kuno warisan dari Tante Sunniva itu, menurut saya itu kurang relevan dimasukkan dalam cerita. Mungkin Gaarder sengaja melakukannya untuk menimbulkan efek dramatis atau konotatif dari terwujudnya solusi permasalahan bumi secara ajaib. Padahal, solusi itu muncul berkat ide yang sangat logis.
Membaca buku ini, seperti membaca karya Gaarder yang lain, akan menyuntikkan paradigma baru pada otak pembacanya, khususnya tentang masalah kerusakan lingkungan yang paling parah dilakukan oleh generasi kita saat ini. Apa yang dapat saya lakukan? Mulai saat ini, mulai dari diri saya sendiri, saya harus berusaha memberikan bumi dalam kondisi baik bagi anak-cucu saya (kecuali bagi yang memutuskan tidak akan beranak-cucu), hehehe.
 





11 comments:

  1. "Alih-alih “menyelamatkan bumi”, lebih tepat jika “berusaha agar bumi tidak menghancurkan kita”." << kalau menurutku justru Coelho lah yang arogan (eh beneran dia bilang gini ya?), karena Tuhan kan mempercayakan bumi yang diciptakan dgn baik ini untuk dikelola manusia? Manusia berkewajiban merawatnya. Pemikiran 'agar bumi tidak menghancurkan kita' kesannya kita ini mau cari selamat sendiri. Dan kalau kita merawat/menyelamatkan bumi, pada akhirnya toh kita juga akan selamat. Hehe....komentar kok mbulet yak :P

    Aku lagi baca Dunia Anna juga, tapi belum tamat. Kamu suka Jostein Gaarder yang lainnya juga ya, Frida?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, terbersit juga pemikiran kalau Coelho ini kedengeran arogan... Tapi, mungkin hanya perbedaan persepsi aja yg membuat jadi terasa gitu, hahaha.
      Nggak bisa dibilang 'suka' juga sih, soalnya ak baru baca 3 bukunya... Bibbi Bokken itu aku suka <3

      Delete
  2. Terima kasih Mba buat resensinya.. Saya baru nengok buku ini langsung kepincut. Salam kenal :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Salam kenal, Rizal! Terima kasih sudah mampir :)
      Sudah baca Dunia Anna?

      Delete
  3. Makasih mba frida, buat resensinya:)saya udah baca buku ini emang isinya keren, dan aku juga sama ngga beres membaca dunia shopie, karena emang seperti yg mba frida bilang. Hhe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama-sama, terima kasih udah berkunjung :D

      Delete
  4. Makasih mba frida, buat resensinya:)saya udah baca buku ini emang isinya keren, dan aku juga sama ngga beres membaca dunia shopie, karena emang seperti yg mba frida bilang. Hhe

    ReplyDelete
  5. Berkesan dan menarik ceritanya
    Anyway thanks yah buat resensinya

    ReplyDelete
  6. Mbak Frid, gara - gara "Dunia Anna", aku jadi suka buang sampah pada tempatnya. Emang, sih, aku merasa konyol karena kesadaranku akan bumi yang semakin tua ini sangatlah baru - baru ini. ): Tapi, semenjak selesai "mberesi" buku ini, aku semakin tergerak untuk menjaga bumi.

    Dan lagi, pernah suatu hari, aku "nongki" bareng "kengkawan" -- salah satu diantara mereka adalah perempuan. Ketika mereka sibuk membahas suatu hal, aku iseng "ngumpulin" sampah - sampah yang ada di sekitar meja. Lalu, perempuan itu bilang bahwa dia suka orang yang suka "ngumpulin" sampah. Terus, akunya "baper" sendiri, masa.

    Eh, kok jadi kemana - mana, ya ? Intinya, aku adalah bagian dari bumi. Dan resiprositas vertikal dan horizontal itu penting. "Perlakukanlah orang lain sebagaimana kamu ingin diperlakukannya." Lagi, semoga, bukan aku saja yang berpikir seperti ini.

    Selamat malam. Eh, sebentar. Mbak Frid sudah baca "Dunia Sophie" sampai habis ? Bagaimana ? Kalau aku, selesai baca novel itu, teman - temanku selalu bertanya ,"Gimana ? Masih lurus ?", wkwkwk.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aku selalu senang mendengar cerita orang-orang yang melakukan perubahan dalam hidupnya setelah membaca buku. Yang kamu lakukan itu bagus sekali. Tidak ada kata terlambat untuk usaha "menjaga" bumi. Dan tidak ada usaha yang terlalu "kecil" untuk itu. Semua usaha akan berdampak :D

      Wajar, sih, karena begitu melihat orang lain yang punya prinsip serupa dengan kita, kita bakal lebih mudah merasa terkoneksi... Dan mungkin jadi baper haha.

      Akhir tahun 2016 kemarin aku udah selesai baca Dunia Sophie. Masih lurus? Dari awal aku emang nggak lurus, sih. Sekarang makin "mbulet". Haha. Tapi kalau semuanya "lurus", apakah hidup ini akan menyenangkan?

      Delete

Your comment is so valuable for this blog ^^

bloggerwidgets