Judul
Buku : 12
Menit
Penulis : Oka
Aurora
Tebal : xiv
+ 348 halaman
Penerbit/cetakan : Noura Books/Cetakan pertama, Mei 2013
ISBN : 979-602-7816-33-6
Harga : Rp 54.000,00 43.200,00
“Perjuangan terberat dalam hidup manusia adalah perjuangan mengalahkan diri sendiri. Buku ini adalah bagi semua yang memenangkannya.” (halaman vii)
Saya pernah
membaca buku Outliers karya Malcolm
Gladwell, yang memaparkan dengan bukti-bukti, bahwa kita butuh latihan dan
kerja keras selama 10 ribu jam sebelum kita benar-benar mencapai sukses. Contohnya
adalah Bill Gates yang mencapai kesuksesan setelah dia mulai membuat program
ketika duduk di kelas 8 pada tahun 1968. Delapan jam per hari dia berlatih
membuat program, selama 7 tahun. Jika dihitung, jam berlatihnya ini sudah lebih
dari 10 ribu jam!
Mungkin itulah
yang juga dibuktikan oleh Tim Marching
Band Pupuk Bontang Kaltim (PKT), dengan latihan rutinnya selama setahun
penuh (mungkin kalau dihitung memang belum mencapai 10 ribu jam), hingga mereka
benar-benar mencapai permainan yang sempurna.
Sang pelatih tim marching band PKT yang baru, Rene,
adalah seorang wanita keras kepala lulusan Music
and Human Education di sebuah universitas di Amerika. Curriculum Vitae-nya tak diragukan lagi. Baginya, membawa sebuah
tim menyabet juara di ajang GPMB (Grand
Prix Marching Band), sebuah ajang kompetisi tingkat nasional, bukanlah
perkara sulit. Tak disangka,
melatih anak-anak Bontang tak semudah mengajar anak-anak Jakarta. Mereka
sama-sama memiliki bakat dan potensi. Hanya satu yang tak dimiliki anak-anak
Bontang: mental juara. Butuh usaha ekstra keras baginya untuk meyakinkan
anak-anak polos ini bahwa mereka bisa jadi pemenang.
Semakin lama
berinteraksi dengan para anggotanya, membuat Rene mengenal masing-masing dari
mereka. Tak jarang ia perlu memborbardir mereka dengan kata-katanya yang
sepedas bhut jolokia (cabe terpedas
di dunia) untuk menyadarkan mereka.
“Kamu tahu siapa yang paling kecewa kalau kamu menyerah? Bukan opa dan oma kamu. Bukan ibu kamu, yang lagi susah-susah kuliah di luar negeri demi kamu. Dan, bukan saya. Tapi, kamu!” (halaman 140)
Kalimat yang
dituturkan Rene itu tetap tak dapat meyakinkan Tara. Gadis pemain snare drum berbakat itu telah terpilih
menjadi anggota tim inti. Tapi, di tengah perjuangannya, ia meragu dan memilih
untuk keluar dari tim.
Meninggalkan lingkungan yang ia rasa tak mampu memahaminya. Rene menuntutnya
terlalu lebih. Padahal Tara yang memiliki gangguan pendengaran ini sudah
berusaha semaksimal mungkin, lantaran ia sering tak dapat mendengar aba-aba field commander. Bukan hanya itu.
Kenangan masa lalunya tentang kecelakaan yang menewaskan ayahnya dan merusak
pendengarannya itu terus menghantuinya dengan rasa bersalah. Tidak mudah untuk
memilih tetap bertahan, atau
mengundurkan diri saja dari tim itu. Hingga akhirnya, sebuah filosofi baru yang
diberikan opanya memberinya pertimbangan: “dorong atau lepas”.
“Kadang-kadang, hidup itu, ya, kayak gitu, Dek. Kayak dorong mobil di tanjakan,” jelas Opa, “susah. Berat. Capek. Tapi, kalau terus didorong, dan terus didoain, insya Allah akan sampai.” (halaman 160)
Lain lagi masalah
yang dimiliki oleh Elaine, seorang gadis blasteran Jepang, pindahan asal
Jakarta. Bakat musiknya tak diragukan lagi. Kepiawaiannya memainkan biola, marimba, dan quarto, membuat Rene tak ragu memasukkannya ke
tim inti, meskipun Elaine sebenarnya ingin menjadi field commander. Keinginannya itu terkabul ketika ia diminta
menggantikan Ronny—sang field commander—yang
kakinya patah akibat kecelakaan. Ketika GPMB sudah dekat, tiba-tiba Elaine
mendapat pemberitahuan bahwa ia terpilih mewakili sekolahnya dalam ajang
olimpiade Fisika. Ia tak perlu cemas seandainya pelaksanaan lomba itu tak
bertabrakan dengan lomba GPMB. Ia harus memilih di antara keduanya. Jika
olimpiade Fisika yang ia pilih, berarti ia menyenangkan papanya, Josuke
Higoshi, yang menginginkannya jadi ilmuwan. Namun kata hatinya berkata lain. Musik-lah
kecintaannya, dan itulah masa depan yang ia pilih. Akankah papanya
mengerti?
“Yang bertanggung jawab sama masa depan Elaine itu Elaine sendiri, Pa,” sergah Elaine, “bukan siapa-siapa.” (halaman 235)
Departemen color guards juga tak kalah penting
dalam sebuah tim marching band.
Lahang, adalah salah satu anggota color
guards, dan dia didaulat untuk menampilkan solo fouettes. Untuk berhasil mencapai 20 putaran, ia harus latihan
ekstra. Tapi, kondisi kesehatan ayahnya yang makin menurun, membuat pemuda
Dayak itu lebih memilih merawat ayahnya di rumah. Padahal, selama ini, Lahang selalu
rajin berangkat latihan. Meski untuk mencapai tempat latihan, ia harus berjalan
berkilo-kilometer, melewati jembatan berbahaya dengan rawa berisi buaya di
bawahnya. Dilema menerjangnya, ketika tahu bahwa penyakit ayahnya tak bisa
disembuhkan lagi. Ia harus memilih untuk menepati cita-cita almarhumah ibunya
untuk melihat Monas, atau menyerah. Kecemasan melandanya, bagaimana jika
ayahnya akan pergi untuk selamanya sebelum ia kembali dari Jakarta? Janji
ayahnya untuk menunggu belum bisa meyakinkan Lahang, hingga Rene pun harus
turut meyakinkannya.
“Bapakmu masih hidup, Lahang. Kenapa nggak buat beliau bangga padamu? Berapa pun sisa usianya.” (halaman 258)
Dengan piawai, Kak Oka
mampu mengeksplor konflik yang dialami masing-masing tokoh sentralnya. Hingga
rasanya tiap kisah itu bisa dibangun menjadi satu novel tersendiri, saking
kuatnya ide si penulis. Tanpa terkesan menggurui, penulis mampu mentransferkan
ide-idenya yang menginspirasi melalu kalimat-kalimat yang diucapkan para tokoh,
dan juga melalui narasinya. Lima puluh bab merajut novel ini dari awal hingga lembar
terakhir. Konflik yang terbangun secara konstan, tak melepaskan mata saya untuk
terus menelanjangi novel ini hingga akhir. Judul bab yang menarik dan tak
terdiri dari jumlah halaman yang panjang, apalagi anti typo, berhasil menjauhkan saya dari rasa bosan. Berikut ini adalah
gambaran emosi saya selama membaca. Naik-turun, memang, tapi tak pernah terlalu
turun.
Kisah tentang
perjuangan tim marching band Bontang
ini terasa sungguh nyata, disajikan oleh penulis lengkap dengan emosi yang
kadang membuat saya trenyuh, menangis, hingga tertawa. Ditambah dengan
istilah-istilah dan narasi yang sangat padat tentang marching band, berhasil menambah pengetahuan saya tentang seluk
beluk seni musik tersebut.
Sayangnya,
banyaknya istilah-istilah teknis di bidang marching
band tersebut tak ayal membingungkan saya, yang adalah pembaca awam.
Dicantumkannya definisi beberapa kata tersebut pada glosarium di bagian
belakang, agak membantu saya, meskipun malah memecah konsentrasi membaca. Akan
lebih baik jika penjelasan tentang istilah teknis tersebut diletakkan di footnote.
Walaupun penulis
berhasil merangkai kisahnya dengan alur bolak-balik secara lihai, tetap saja,
saya merasa bingung ketika membaca bagian awal bab 18, Konser di Atas Perahu. Butuh saya baca kembali, hingga saya ngeh, bahwa bab 18 itu flashback. Bisa jadi, ini hanya
gara-gara saya kurang konsentrasi.
Satu lagi yang
terasa aneh adalah penulis menyajikan dua bab khusus untuk tokoh Rob, yaitu bab
5, The Blue Devils dan bab 13, Kopi Instan. Memang, Rob adalah salah
satu anggota tim inti, tapi ia bukanlah tokoh sentral, seperti Tara, Elaine,
Lahang, dan Rene. Bahkan setelah bab itu, namanya hanya disebut satu-dua kali
saja (kalau tidak salah). Kurang sepantasnya tokoh Rob itu mendapat porsi dua
bab, karena kisahnya terasa mengambang.
Terlepas dari itu
semua, penulis mampu menginspirasi saya, membuat saya makin teguh dalam menggenggam
impian. Terima kasih untuk Kak Oka, yang telah membuat saya sadar kembali bahwa
dreaming is believing. Bahwa “Untuk melawan arus, kalian bukan hanya butuh tubuh yang kuat.
Kalian juga butuh mental yang kuat. Dan, mental yang kuat datang dari komitmen
yang kuat.... Untuk terus berenang seberapa kuat pun arus yang harus dilawan.
Dan... untuk terus menancapkan pandangan pada tujuan.” (halaman 134-134)
VINCEROOOO!!!
0 komentar:
Post a Comment
Your comment is so valuable for this blog ^^