Penulis : Yoana
Dianika
Tebal : iv
+ 294 halaman
Penerbit/cetakan : GagasMedia/Cetakan ketiga, 2011
ISBN : 979-780-22-500-x
Harga buku : Rp 40.000,00
Harga buku : Rp 40.000,00
Tahun 2011, waktu itu saya masih duduk
(berdiri juga boleh, deh J)
di kelas tiga SMA, ketika saya mengikuti suatu lomba novel. Diadakan oleh
GagasMedia, bertajuk 100% Roman Asli
Indonesia. Waktu itu, kemampuan menulis saya belum seberapa (sekarang pun,
juga belum seberapa hehe), naskah yang saya kirim memang belum merupakan wujud
usaha terbaik saya. Nama saya tidak ada di daftar nama pemenang lomba itu. Saya
tahu, itu akan terjadi. Rasa kecewa tak terlalu menenggelamkan saya. Yang
penting, saya pernah mengajukan naskah novel saya ke sebuah lomba (nggak banyak
orang bisa begitu, kan). Beberapa waktu kemudian, terbitlah karya-karya
pemenang. Ada Hujan dan Teduh, juara pertama; Kau, juara kedua; Till We
Meet Again, juara ketiga. Kenapa saya memilih membeli yang juara ketiga?
Alasannya sesimpel ini: cover-nya
bergambar biola yang menarik hati saya, dan tagline
yang menjanjikan kisah ber-setting
Austria, “menjemput cinta di Austria”. Saya memang sedang menyukai novel
Indonesia berlatar luar negeri.
Menghampiri
halaman pertama novel, saya disambut dengan judul bab yang terdengar aneh:
“Esther Nikölaidi”, yang ternyata adalah nama mendiang ibu si tokoh utama,
Elena Sebastian Atmadja. Dari namanya, dapat diketahui bahwa gadis berusia 17
tahun ini adalah blasteran Indonesia—dengan Austria, tentunya. Awal kisah
berlatar kota Bandung, tempat di mana Elena dan ayahnya, Sebastien tinggal,
setelah ibunya meninggal karena kecelakaan pesawat delapan tahun lalu.
Delapan
tahun lalu, ada peristiwa lain yang begitu terekam dalam memori Elena.
Pertemuannya dengan seorang anak laki-laki sebayanya di Schloß Schönbrunn ketika ia sedang kalut karena kalung berliontin
biola warisan ibunya hilang. Anak laki-laki bermata kelabu itu lalu
menghiburnya dan memberinya kaiserschmann,
panekuk buatannya sendiri, lengkap dengan saus cranberry. Lalu, Sebastien datang, dan Elena harus pergi ke
Indonesia, tanpa mengetahui siapa nama anak laki-laki yang baru dikenalnya itu.
Sekilas, penggalan cerita masa lalu ini mengingatkan saya akan kisah serupa
pada novel Winter in Tokyo karya
Ilana Tan. Di sana, si gadis tokoh utama, Keiko, juga memiliki masa lalu
serupa, di mana ia kehilangan kalungnya, lalu bertemu dengan seorang anak
laki-laki yang membantu mencarinya.
Schloß Schönbrunn |
Sudah
waktunya Elena melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Sebastien, yang
sebelumnya tidak mengizinkan putrinya bersekolah musik ke Wina, akhirnya
mengabulkan keinginannya. Elena akan mengambil jurusan Seni Teater di
Universitas Wina dan mengikuti kursus biola di Sekolah Tinggi Seni Musik dan
Drama. Ia mewarisi gen seni yang kental dari ibunya, yang adalah seorang
maestro pemain biola. Ia ingin mewujudkan mimpi ibunya untuk dapat tampil di Wiener Staatsoper, gedung opera termegah
di dunia. Di Wina, ia tinggal se-apartemen dengan Kimiko, gadis Jepang yang
cerewet dan childish, dan Dupont,
gadis Perancis yang dewasa dan fashionista.
Wiener Staatsoper |
Awal
kedatangannya di apartemen, Elena dibuat penasaran oleh seorang laki-laki
bermata kelabu yang mirip dengan anak laki-laki dari masa lalunya. Rasa ingin
tahunya membawanya melakukan tindakan bodoh, mengintip di celah pintu apartemen
seberang miliknya, tempat laki-laki itu tinggal. Sial, seorang laki-laki lain
membuka pintu itu, menyebabkan Elena jatuh dan harus menahan rasa malu.
Kejadian itu malah menjadi pintu perkenalannya
dengan Christopher von Schwind. Ternyata laki-laki bermata kelabu yang
dikuntitnya itu, Hans Stefannö, adalah teman seapartemen Chris. Sebentar,
insiden perkenalan Elena dengan Chris mengingatkan saya lagi akan satu scene yang mirip pada novel Winter in Tokyo. What’s happening here? Saya menduga, si penulis adalah salah satu
penggemar Ilana Tan.
Universitat Wien |
Kisah
di apartemen dan sekolah musik terus berlanjut, begitu juga dengan usaha Elena
untuk meraih mimpinya tampil memainkan biola di atas panggung Wiener
Staatsoper. Apakah ia akan berhasil? Tentang anak laki-laki bermata kelabu itu,
apakah benar Hans adalah orangnya?
Selesai
membaca novel ini, satu yang membuat saya puas adalah ternyata endorsement Icha Rahmanti, salah satu
juri lomba 100% Roman Asli Indonesia,
adalah benar. Ia berkata, “Salut untuk riset yang dilakukan penulis sehingga
naskah ber-setting di Wina ini
menjadi believable, seolah penulis
pernah tinggal dan mengambil sekolah musik di sana.” I do agree! Yoana Dianika berhasil mengeksplor detail setting novelnya dengan apik,
menceritakan tempat-tempat wisata dan menarik di Wina seolah dia memang pernah
tinggal di sana. Juga tentang seluk beluk orkestra, permainan biola, yang cukup
dia kuasai juga.
Saya
juga familier dengan sudut pandang orang ketiga terbatas yang digunakan Yoana.
Hal ini meyakinkan dugaan saya bahwa ia penggemar Ilana Tan, dan terinspirasi
oleh novelnya, Winter in Tokyo. Perlu
diingat, Ilana Tan suka memakai sudut pandang orang ketiga terbatas seperti
itu. Ia menceritakan sudut pandang cerita secara bergantian antara tokoh utama
laki-laki dan tokoh utama perempuan. Namun, sayang sekali, Yoana agak gagal
menerapkan sudut pandang ini, sehingga menjadi rancu antara terbatas atau
tidak. Hal ini tampak pada halaman 175-178, di mana seharusnya sudut pandang
orang ketiga terbatas milik Elena, tapi anehnya, di halaman 178 terselip
pemikiran Chris.
Yang
patut diacungi jempol adalah keahlian Yoana dalam hal deskripsi manusia. Dengan
detail dan tak membosankan, ia menggambarkan paras orang, dan penampakan fisik
lainnya. Tapi kadang, deskripsi ini terasa terlalu detail. Dan anehnya, mengapa
Elena suka sekali memerhatikan bentuk daun telinga orang—sampai-sampai ia bisa
mendeskripsikan bentuk daun telinga Hans dan Chris?
Akhirnya,
saya berkesimpulan bahwa naskah ini memang layak menjadi juara ketiga (abaikan
bahwa saya belum membaca novel juara pertama dan kedua, hehe), terlepas dari
pandangan subjektif saya pada awal membaca kisah ini. Awalnya, saya agak
terganggu karena ada beberapa bagian inti cerita yang mirip dengan Winter in Tokyo, tapi sekarang saya
menerimanya. Bolehlah menggunakan karya orang sebagai sumber inspirasi.
Yoana
juga menyelipkan beberapa moral values
secara implisit, seperti “jangan pacaran dengan orang yang belum kita kenal
sepenuhnya.” Selain itu, juga ada pelajaran menarik yang disampaikan secara
eksplisit, seperti berikut ini (sebut saja ini daftar quotes favorit saya J).
“Stop being
afraid of what could go wrong and think of what could go right.” (hal. 258)
“If you
loves someone, let it go. If it comes back to you, it’s yours forever. If it
doesn’t, then it was never meant to be yours.” (hal. 266)
“Guys may be
flirting all day. But before they go to sleep, they always think about the girl
they truly care about.” (hal. 202)
“Don’t ever
lose your heart to someone who doesn’t deserve it.” (hal. 201)
Juga
teori-teori lainnya, tentang cinta, yang disampaikan oleh Dupont. I
love them all.
Aufwiedersehen :) (sampai jumpa)
Till we meet again.. sebuah novel romantis yang membuat saya sedikitnya mengenal tentang Wina..
ReplyDeleteJalan ceritanya sederhana tapi kata-kata nya membuat kita terhanyut dalam cerita tersebut.. sebuah pertemuan di masa lalu ternyata di pertemuakan kembali oleh takdir memang benar jodoh tidak akan kemana..
Numpang promo ya jangan lupa juga buat berkunjung ke blog saya:
obat kista tradisional.
obat pelangsing herbal
terimakasih sebelumnya