Judul
Buku : Antologi
Rasa
Penulis : Ika
Natassa
Tebal : 344
halaman
Penerbit/cetakan : Gramedia Pustaka Utama/Cetakan
kedelapan, Februari 2013
ISBN :
978-979-22-8809-4
Harga
buku : (Nggak
tau, minjem temen, hehehe)
Kenapa manusia berbeda dengan makhluk hidup
lainnya? Sebenarnya apa yang jadi inti ciri kekhasan manusia itu? I can tell you one word. Just one word makes
a difference: EMOTION. Setuju, nggak, kalau saya bilang manusia itu makhluk
yang lebih condong ke “emosional” daripada “rasional”? Contohnya saja, ketika
sangat marah, saya pernah banting ponsel saya hingga casing-nya pecah. Saat itu, akal sehat saya sedang terpinggirkan
jauh ke dalam batok kepala, terhalau oleh emosi. Kalau saya memakai logika,
saya nggak akan banting ponsel. Ngapain, kan, merusak barang sendiri?
Emosi yang bercampur aduk itu membentuk sebuah “antologi rasa” yang mewarnai kehidupan. Kenapa
cerita tentang tiga sahabat yang bekerja di sebuah bank—Keara, Harris,
Ruly—jadi menarik? Karena hubungan persahabatan mereka penuh emosi. That’s all. Keara, cewek menyenangkan
yang bisa mengakrabkan diri dengan siapa saja dan hobi fotografi. Tapi,
sesungguhnya cewek penggemar John Mayer ini tak selalu seceria kelihatannya.
Apalagi kalau bukan karena masalah cintanya yang bertepuk sebelah tangan? Ia
sudah tiga tahun cinta mati pada Ruly, tapi takut merusak persahabatan mereka, so she wasted her life loving him.
“The sun rises and sets, the day
passes, and you follow the bent of your inclination to a certain extent, you
have no conception of the quantity of miserable feeling that you pass through
me in a day.” (Keara, halaman 199).
Secara kasat mata, gaya hidup Keara dan Ruly berbeda, tapi
itu malah membuat Keara menyukai Ruly.
“How
can we be so different and feel so much alike, Rul?” (Keara, halaman 40).
Sementara Ruly, sosok pria dewasa matang dan tenang, meskipun
“nggak gaul”, malah cinta mati pada Denise, teman kantor, yang sudah bersuami,
tapi pernikahan yang tidak bahagia.
Lain lagi dengan Harris, si playboy yang hobi senang-senang. Tapi, ada satu yang paling ia
senangi.
“Senang definisi gue: elo (red.: Keara)
tertawa lepas.” (Harris, halaman 33).
Nonton balapan F1 adalah hobi terbesarnya, selain mainan
cewek. Bener banget, quote yang
menyatakan bahwa cowok bisa bermain-main dengan banyak cewek, tapi yang
benar-benar mereka pikirkan hanyalah satu cewek. Itulah Harris. Semua cewek
yang dipacarinya itu semata-mata untuk mengalihkan kepedihan hatinya karena
cintanya pada Keara bertepuk sebelah tangan.
“Gue mencintai lo seperti itu, Key.
The more you make me suffer, the more I find I love you.” (Harris, halaman
333).
Parahnya, Keara memutuskan persahabatan setelah sebuah
insiden yang terjadi di kamar hotel waktu mereka nonton F1 di Singapura.
Kehidupan berlanjut. Hubungan Keara dengan Ruly menjadi lebih
dekat setelah Keara memutuskan persahabatan dengan Harris. Di samping itu,
Dinda, sahabat Keara, juga selalu setia mendengarkan curahan hatinya dan
memberi saran-saran. Apalagi ketika Keara jadian dengan Panji, adik ipar Dinda,
dan Keara hanya berniat main-main saja dengannya. Ketika akhirnya Keara jadian
dengan Ruly—satu pertanyaan muncul: apakah mereka benar-benar bahagia? Let me ask Keara, is that love or obsession? What if in the person that
you love, you find a best friend instead of a lover? Lalu, bagaimana dengan Harris? Karena
Keara juga nggak mungkin menghindari Harris terus-menerus. Di saat hatinya
galau karena Ruly, Harris biasanya adalah sosok yang bisa membuatnya tertawa
dan merasa nyaman.
Saya suka tokoh Dinda. Seorang wanita sekaligus ibu yang
“gaul” dengan kepribadian bebas, tapi selalu jujur, realistis, dan mengatakan kebenaran tanpa
ampun, melalui saran-sarannya pada Keara. Kebenaran itu harus diungkapkan meski
menyakitkan. Beberapa quote menohok
di novel ini adalah perkataan Dinda.
“Keara, do you even know what you want?” (halaman 212).
“You know, Key, in the end, you just gotta pick your happiness.” (halaman
221).
Lihatlah cover
putih simple novel Ika Natassa ini,
yang kebetulan dirancangnya sendiri, dengan sebuah gambar jantung penuh tulisan
berbagai jenis “rasa” atau “emosi”. Luse.
Trust. Affection. Misery. Angry. Happy. Fear. Longing. Tepat seperti inilah yang namanya “antologi
rasa”, yang diceritakan secara dinamis dan menarik oleh Ika, dengan sudut
penceritaan masing-masing tokoh sentral. Saya suka bagaimana dia menjelma
menjadi tiap tokoh dengan begitu piawainya, juga gaya berceritanya yang sering
menyelipkan perumpamaan-perumpamaan, juga cerita dari buku atau film yang
pernah dibaca si tokoh. Saya paling suka cerita “This is Water” (jadi pengen
cari buku David Wallace itu :D).
Yang saya kagumi
dari Ika adalah bagaimana dia bisa menceritakan kisah metropop tentang cinta
segitiga, cinta bertepuk sebelah tangan, yang tampaknya biasa-biasa saja itu
bisa jadi cerita yang asyik dibaca dan nggak membosankan sama sekali. Diperkaya
dengan quotes yang menendang dengan
telak untuk siapa saja yang merasa (hehehe). Bahkan bisa disebut novel ini
adalah buku kumpulan quotes dan
istilah-istilah gaul khas metropolitan. Hahaha. Dan juga, buku ini anti typo, great!
Satu yang
disayangkan, terlalu banyak bahasa asing yang digunakan Ika. Untuk pembaca
dengan level inteligensi cukup tinggi, novel ini sangat seru. Tapi, bagi segmen
pembaca tertentu, mungkin ini menjadi suatu kendala.
But overall, sekali baca novel ini, bakal kecanduan pengen baca
ulang! Pengen melabelin tiap quote
yang disuka! Pengen baca novel Ika lainnya! Pengen kepoin twitter para tokohnya! Jadi, hati-hati dan sebaiknya baca dulu
“general warning” yang ditulis Ika di cover-nya.
0 komentar:
Post a Comment
Your comment is so valuable for this blog ^^