Judul Buku : After Rain
Penulis : Anggun
Prameswari
Tebal : viii
+ 324 halaman
Penerbit/cetakan : GagasMedia/Cetakan I, 2013
ISBN : 979-780-659-6
Harga : Nggak
tahu, pinjam punya teman
Salah seorang teman saya yang adalah penggemar novel-novel Ika
Natassa, memesan paket buku Litbox, di mana buku di dalamnya merupakan kejutan.
Ternyata ia mendapat sebuah novel berbahasa Inggris dan satu novel lainnya
adalah After Rain ini. Ketika melihat
jajaran novel di rak buku dalam kamarnya, saya tertarik mengambil novel dengan
gambar sampul menarik ini.
Awal mula membaca judulnya, yang menyeruak dalam otak saya
adalah bahwa setelah turun hujan (terkadang) muncul pelangi. Tapi, masalahnya,
tidak ada pelangi di gambar sampulnya (apa sih). Yang ada adalah seorang gadis
membawa payung yang terlipat, hanya setengah tubuh ke bawah saja yang nampak.
Apakah ini cerita tentang hujan? Tentang seorang gadis yang suka main
hujan-hujanan kayak BCL di film Sunny?
Eh, ternyata bukan, meskipun gambar yang terdapat di halaman pergantian bab
adalah gambar tetes-tetes air hujan menimpa payung. Sama sekali bukan. Sama
sekali tidak ada peristiwa tentang hujan di dalamnya (beneran). Eh, ada satu,
ding, di bagian akhir buku, hehe.
Memasuki halaman prolog, saya disambut adegan tentang tokoh
“aku” yang sedang berdandan
dibantu sahabatnya, Kean. Serenade Senja atau Seren,
si tokoh “aku”, sedang bersiap-siap untuk merayakan hari jadi yang ke-10 dengan
pacarnya. Tapi ada yang aneh, kenapa ada rona miris yang mewarnai kebahagiaan
merayakan hari jadi yang ke-10? Ternyata tokoh “aku” pacaran selama 10 tahun
dengan pria beristri. Jika dibilang merebut suami orang, itu setengah benar.
Karena kenyataannya adalah, Seren dan Bara sudah pacaran selama tujuh tahun
sebelum pria itu menikah dengan Anggi, wanita yang dijodohkan orangtuanya. Lalu
mereka tetap melanjutkan hubungan gelap itu setelah Bara menikah. Sebuah
pertanyaan yang terlontar dari mulut cablak Kean mengusik keyakinan hati Seren,
apakah benar Bara adalah “the first and
definitely will be the last”.
“Pernah, nggak, sekali aja, lo minta dia memilih? Lo
atau istrinya?” (Kean, halaman 6).
Hati
Seren tertohok ketika melihat pemandangan itu: Bara menggendong anaknya, Lily,
dengan istrinya, Anggi, di sampingnya. Pemandangan itu semacam pertanda,
sebelum akhirnya Bara memberinya jawaban, bahwa ia tidak bisa memilih Seren.
Bukan karena Anggi, melainkan karena tidak mau menghancurkan masa depan
anaknya, Lily. Seren yang patah hati makin tersiksa lantaran ia harus melihat sosok
Bara setiap hari di kantor, tapi tak dapat menyentuhnya. Malah, pria itu seolah
menganggapnya tak ada. Akhirnya, Seren memilih untuk pergi, mengundurkan diri
dari kantornya, dan melamar kerja menjadi guru Bahasa Inggris di SMA Pelita
Nusantara, tempat Nola, keponakan Kean, bersekolah. Dia diterima bekerja selama
tiga bulan, menggantikan seorang guru yang sedang cuti melahirkan.
Di
sekolah itu, ia bertemu lagi dengan seorang pria bermata tajam seperti elang,
yang penampilannya acak-adul seperti seorang musisi. Sebelumnya, ia pernah
bertemu pria itu di acara ulang tahun Nola. Seren tak menyangka, ternyata nama
pria itu adalah Elang, dan ia guru musik di SMA yang sama. Gosip merebak.
Katanya, Elang pernah pacaran dengan Miss Ema, sang kepala sekolah, karena
wanita itu memilih untuk menikahi pria yang dijodohkan keluarganya.
Seren,
yang selalu menyimpan kesedihan, kegalauan, dan harapan sia-sia akan Bara,
penasaran kenapa Elang memilih untuk bertahan bekerja di tempat yang sama
dengan orang yang pernah meninggalkannya. Sedangkan, Seren memilih untuk lari,
keluar dari kantornya, lantaran tak tahan melihat Bara ada di dekatnya namun
tak tersentuh. Berbagi pengalaman sakit hati yang pernah dialami, hubungan
mereka menjadi semakin dekat. Saat itulah, Bara tiba-tiba muncul kembali dan
berkata akan menceraikan Anggi. Sebagai sesama wanita, Seren tak bisa
membiarkan Bara melakukan hal itu, karena ia tahu Anggi sedang hamil lagi, dan
sampai berniat menggugurkan kandungannya karena ia tahu ada wanita lain yang dicintai
suaminya. Perlahan, Seren merasakan keanehan, di mana ia tidak lagi berharap
akan Bara. Apakah itu karena istrinya hamil lagi, atau karena Seren telah
membuka hati untuk Elang?
“Lo pernah dengar hukum kekekalan energi? Cinta itu
energi, Seren. Lo nggak bisa menciptakan cinta dalam hati lo, sama seperti lo
nggak bisa menghancurkannya. Energi itu berubah bentuk. Dikonversi. Perasaan
itu dikonversi, dong.” (Kean, halaman 194-195).
Topik
filosofi dan sains cinta yang diangkat Kean itu membuat Seren berpikir, mungkin
ia harus mengubah energi patah hatinya dengan mulai mencintai orang lain. Tapi,
siapa? Siapa orang itu? Elangkah? Seren sampai di satu titik, di mana ia harus
memutuskan, haruskah ia menerima Elang yang mengulurkan payung padanya di
tengah derasnya hujan kesedihan akibat hati yang tersakiti, atau kembali ke
tengah hujan—kembali pada Bara dan mengulang kesalahan yang sama.
Cerita
ini cerita biasa. Tentang hati terluka berdarah-darah, belum kering dan harus
terluka lagi hingga susah move-on.
Apapun yang terjadi di sekelilingnya mengingatkan akan sang mantan kekasih. Di
luar, senyum dan keceriaan terpasang menjulang untuk menyembunyikan kesedihan
yang begitu menyesakkan di dalam. Saya pernah mengalaminya, baru saja malah
(malah curhat). Saya setuju sekali dengan konsep
analogi es krim yang dianut Elang sehingga ia bisa bertahan dan melanjutkan
hidup.
“Nah, aku tetap menjaga keinginan hati, tapi juga masih
pakai logika. Harus tunggu sembuh dulu, baru bisa makan es krim. Ketika sudah
sembuh, niscaya nggak ingin es krim lagi.” (Elang, halaman 306).
Cerita
ini jadi tidak biasa karena Mbak Anggun menyelipkan tips supaya bisa cepat move-on dari cinta lama: seimbangkan
hati dan logika. Eh, bukan, maaf. Cerita ini jadi tidak biasa karena Mbak
Anggun bercerita, bukan memberitahu. Dengan sukses Mbak Anggun menggunakan
teknik “show, don’t tell”. Mungkin
kalian pernah dengar, cos itu salah satu pelajaran menulis populer yang
diangkat oleh A. S. Laksana (kalau nggak salah, semoga benar). Misalnya kayak
begini:
1. Daripada
menulis “Kupakai sepatuku.”, Mbak Anggun lebih memilih menulis “Kupakai stilleto beledu hitam bertali pengait,
bertabur kristal bening melingkari pergelangan kaki.” (halaman 3)
2. Atau
ketika Mbak Anggun mendeskripsikan sosok Bara ketika Seren pertama kali
melihatnya. “Dari sedan Baleno biru, keluar sesosok tinggi kurus dengan rambut
cepak. Kacamata hitam menaungi sepasang matanya. Sejenak aku menahan napas.
Dari penampilannya dengan kaus hitam polos dan jeans belel serta sepatu keds,
aku menebak-nebak berapa usianya.” (halaman 11-12)
3.
Juga saat Mbak Anggun menggambarkan perasaan
tersipu malu. “Aku dan dia ada di sana. Di sebuah balkon sepi di rumahnya.
Masing-masing menggenggam kaleng Coca Cola dingin. Bekunya sungguh
menusuk-nusuk tangan, tapi tak sanggup meredakan hangat di pipiku. Hangat oleh
pantulan matahari yang sebentar lagi pulang, atau hangat oleh sipu malu,
entahlah aku tak tahu.” (halaman 30)
Selain
itu, nama tokoh yang unik juga selalu menarik hati pembaca, seperti Serenade
Senja—“gadis cantik yang lahir saat senja dan suara tangisnya merdu seperti
alunan serenade” (halaman 31). Nama Elang pun unik, seolah menegaskan tatapan
mata tajamnya, Elang Mahardhika—“burung elang yang terbang bebas” (halaman
261). Bicara tentang tokoh, bagi saya, tokoh Kean ini sangat menarik. Dengan
gaya bicara blak-blakannya, tapi penuh kasih sayang, ia mampu menyadarkan Seren
akan kesalahan-kesalahan yang dibuatnya. Saya selalu suka dengan tokoh seperti
ini, sebut saja tokoh Dinda dalam “Antologi Rasa” karya Ika Natassa.
Namun,
cerita ini belum bisa lepas dari adegan kebetulan, seperti ketika Seren secara
kebetulan bertemu dengan Bara dan keluarganya di sebuah toko pakaian. Juga
ketika Seren tak sengaja bertemu dengan Anggi di rumah sakit. Tapi, yang untuk
membangun plot cerita, terkadang memang adegan kebetulan itu sangat membantu.
Mbak
Anggun berhasil menyajikan olahan cerita yang ringan, tapi tidak terlalu ringan
hingga diabaikan. Malahan, ia menaburkan pesan-pesan sederhana lewat analogi
dan perumpamaan, tentang patah hati dan memulai hubungan yang baru. Saya kagum
akan kemampuan Mbak Anggun menceritakan pengalaman patah hati Seren dengan
begitu nyata, membumi, akurat; tanpa lebay dan dibuat-buat. Halaman demi
halamannya mampu membuat saya berhenti sejenak dan merenung, lalu mengangguk
dan berujar, “Bener banget. Aku juga pernah mengalaminya.” Btw, saya juga suka mendengarkan lagu-lagu Secondhand Serenade yang kebanyakan gombal tapi romantis. Dan saya
juga suka lagu yang diciptakan Elang untuk Seren. Sederhana, tapi indah dan
menghanyutkan, seperti kisah bikinan Mbak Anggun ini.
“Serenade Senja”
Aku menemukanmu di sana/Tersenyum
dan berbinar
Seakan seisi dunia percaya/Kau
gembira, kau bahagia
Matamu mata kesedihan/Mataku
pun dulu begitu
Jadi, siapa yang mau kau tipu
Di senja ini, duduklah di sini/Rebahkan
kepala, dan isi hati
Matahari berjanji kembali/Jadi,
cukup, jangan tangisi
Ada aku di sini, menemani. (halaman 323)
0 komentar:
Post a Comment
Your comment is so valuable for this blog ^^