Judul Buku : The Dip: Saat Kita Ditantang untuk
Bertahan atau Berhenti
Penulis : Seth
Godin
Penerjemah : Irine Yovita
Tebal : vi
+ 102 halaman
Penerbit/cetakan : PT BPK Gunung Mulia/Cetakan I, Juli 2008
ISBN : 978-979-687-506-1
Harga : Nggak
tahu, pinjam, hehe
Menurut Kamus Inggris – Indonesia karangan
John M. Echols dan Hassan Shadily, “dip” sebagai kata benda berarti:
1.
Mandi,
masuk ke dalam air.
2.
Desinfeklesi.
3.
Lobang,
tempat yang menurun (di jalan).
4.
Food: keju untuk pesta.
Dari
sampul depan buku kecil ini (hanya 13x18x0.9 cm3), dapat kita
simpulkan bahwa “dip” yang dimaksud
di sini adalah definisi yang ketiga: lobang. Itu hanya definisi. Lalu, apa
makna di balik pemilihan judul ini oleh Pak Seth Godin?
Buku
ini sebenarnya ber-genre bisnis/manajemen, tapi saya rasa, secara keseluruhan,
ide ini bisa diterapkan untuk berbagai bidang dalam kehidupan (mengingat saya
juga bukan pelaku bisnis/manajemen). Buku ini terdiri dari dua bagian besar:
1.
Menjadi
yang Terbaik di Dunia Benar-benar Telah Diabaikan.
2.
Jika
Anda Tidak Akan Menjadi yang Terbaik, Lebih Baik Berhenti Sekarang.
Pada bagian pertama, Seth
Godin memaparkan mengapa kita harus menjadi yang terbaik di dunia. Kata-katanya
mengalir lugas dan memutarbalikkan keyakinan kita selama ini. Sejak awal, ia
telah menyuguhkan bahwa nasihat “orang yang berhenti tidak pernah menang.
Sebaliknya, para pemenang tidak pernah berhenti” adalah nasihat yang salah.
Pasalnya, kita harus “berhenti melakukan hal-hal yang salah; bertahan dengan
hal-hal yang benar; memiliki nyali untuk melakukan sesuatu.” Tampaknya, ide
tersebut terdengar sangat bisa diterima dan mudah dilakukan. Memang, bukan,
kita harus meninggalkan hal-hal yang salah? Jangan salah, para perokok pun
sudah tahu bahwa kecanduan merokok adalah hal yang salah bagi kesehatan mereka,
tapi mereka tetap melakukannya. Mereka tidak berhenti.
Kembali ke judul bagian
pertama (entahlah, saya tidak benar-benar menyebutnya sebagai judul, karena
lebih mirip dengan “quote”). Buku ini bisa diambil inti-intinya sebagai berikut
(saya memodelkannya sebagai daftar questions
and answers.
· Mengapa penting menjadi yang terbaik di dunia?
Karena semua orang mencari pilihan yang
terbaik. Seperti ketika Anda hendak membeli galon, dan tanpa berpikir dua kali,
Anda langsung memilih merk Aqua dari segala merk yang ada.
· Sebenarnya, mengapa penting menjadi yang terbaik?
Karena posisi nomor satu sangat berharga;
kelangkaan-lah yang menyebabkannya. Tidak banyak orang bisa membuat animasi. Itu
pekerjaan yang amat sulit. Butuh waktu berbulan-bulan untuk mengerjakan
beberapa belas detik adegan animasi dalam suatu film. Karena kemampuan langka
itulah, Rini Sugianto bisa menjadi animator terbaik di Indonesia sehingga dapat
berkarya dalam film-film Hollywood terkenal, seperti The Avengers, The Hobbit, Iron
Man 3, dan Tintin.
· Di dunia? Yang benar saja?
Beneran, suer, DI DUNIA. Karena “dunia” di sini
merujuk pada dunia tempat Anda berkarya/bekerja, bukan “dunia” sebagai arti
geografis. Semakin spesifik dunia yang Anda pilih, makin besar peluang untuk
menjadi yang terbaik. Misalnya, sebagai seorang penulis, saya akan berusaha
menjadi yang terbaik di dunia penulisan fiksi. Namun, akhir-akhir ini, banyak
sekali novel fiksi bagus di Indonesia, tapi masih jarang yang ber-genre
fantasi. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk berkiprah di dunia fiksi
fantasi.
· Bagaimana caranya menjadi yang terbaik?
Ini pertanyaan yang akan membutuhkan
jawaban yang panjang dan lebar dan tinggi. Jadi, saya hanya menulis sebagian
kecil jawaban dulu sebagai hidangan pembuka. Untuk menjadi yang terbaik,
pertama-tama Anda harus mengerti bahwa mampu melakukan berbagai hal adalah
rahasia meraih keberhasilan. Selain itu, nasihat “jangan berhenti” juga salah.
· Tunggu dulu, gila aja, kamu menyuruh saya berhenti berusaha?
No.
Absolutely NOT! Bukan begitu.
Bukan berhenti berusaha, melainkan berhenti melakukan hal-hal di mana Anda
tidak akan menjadi yang terbaik. Berhentilah melakukan diversifikasi (Seth Godin menjelaskan topik ini dengan suatu
perumpamaan bagus tentang perilaku burung pelatuk—halaman 32-33), banyak hal
tapi tidak ada yang “terbaik”; semuanya hanya “rata-rata”. Seperti saat ini,
saat saya kuliah di Jurusan Teknik Fisika yang adalah teknik yang terlalu luas
bidang ilmunya. Saya harus berhenti menekuni semua keahlian yang (bisa) saya pelajari—ada
banyak sekali: saya bisa belajar pemrograman komputer, fisika bangunan, energi,
instrumentasi, nanoteknologi—dan saya harus memilih salah satu yang akan
menjadi fokus saya, yang paling saya minati, di mana saya akan benar-benar bisa
menguasainya; yang akan saya jadikan topik tugas akhir; yang akan saya pilih
sebagai bidang kerja saya nanti. Tidak akan bisa menguasai semuanya dan menjadi
yang terbaik dalam segalanya.
· Saya masih tidak bisa terima. Bagaimana caranya saya bisa berhenti?
Ketahuilah bahwa berhenti tidak sama
dengan kegagalan jika Anda berhenti secara cerdas (pada bagian kedua Seth Godin
memberikan ilustrasi yang mudah dipahami bagaimana “berhenti dengan cerdas”
itu). Cara yang bisa dilakukan untuk berhenti adalah dengan “sejak awal
memutuskan kapan saatnya untuk berhenti”. Ajukan tiga pertanyaan ini sebelum
berhenti: apakah saya sedang panik?; siapakah yang sedang saya berusaha saya
pengaruhi?; kemajuan teratur seperti apa yang sedang saya buat?.
· Oke, tapi sekarang, apa itu “dip”?
Itu, kan, judulnya—tapi sedari tadi kau belum menjelaskannya sama sekali.
Ada tiga kurva yang menjelaskan hampir semua jenis
keadaan yang Anda hadapi ketika berusaha melakukan sesuatu. Salah satunya
adalah “dip” atau “cekungan”, yang bisa
digambarkan sebagai sebuah kurva sebagai berikut.
Misalnya, ketika Anda mencoba melakukan OCD (Obsessive Corbuzier’s Diet). Ketika Anda
memulai jendela makan selama 8 jam sehari, itu cukup mudah. Kemudian, minggu
berikutnya, Anda mencoba beralih ke jendela makan 6 jam, lalu empat jam. Segalanya
terasa sulit. Berpuasa 20 jam bukanlah hal yang mudah, apalagi jika ada banyak
makanan mengelilingi Anda! Inilah “dip”!
Anda harus memutuskan. Berhenti—karena Anda merasa tidak kuat lagi, dan tidak
masalah untuk tidak mendapatkan berat badan ideal. Atau lanjut—karena Anda
ingin dan harus memiliki berat badan ideal, dan bukankah itu komitmen Anda
sejak awal? Tapi jangan BERHENTI DI DALAM DIP. Ini akan membuat perjuangan Anda
sia-sia. Jika berhasil melewati “dip”,
maka kesuksesan akan Anda raih.
Sementara itu, kurva lainnya adalah “kuldesak”
atau “jalan buntu”, dan “bukit terjal”. Keduanya akan membawa Anda menuju
kegagalan. Jangan mencoba melewati “bukit terjal” dan berhentilah ketika Anda
menemui “kuldesak”.
Ketika Anda sudah
berada di zona nyaman, “berhenti” akan menjadi hal yang menakutkan dan sangat
sulit dilakukan. Tapi, jika Anda yakin bahwa tidak akan sukses jika terus
mempertahankan keadaan “biasa-biasa saja” itu, maka sebaiknya Anda berhenti. Berhenti
akan menjadi lebih mudah sejak awal Anda sudah memutuskan kondisi-kondisi apa
yang akan membuat Anda berhenti.
“Tulislah dalam situasi seperti apa Anda bersedia untuk berhenti. Kapan. Kemudian
jalanilah.” (halaman 82)
Seth Godin
membuat buku ini ringkas dan padat. Tanpa bertele-tele, ia menghadirkan
ilustrasi-ilustrasi untuk menjelaskan idenya, lengkap dengan gambar-gambar. Selain
itu, ia juga menggunakan pertanyaan-pertanyaan untuk memancing rasa
ketertarikan pembaca. Meskipun kadang ilustrasinya agak susah dimengerti dan
kebanyakan berbau bisnis, tetapi tidak mengurangi pengetahuan yang dapat kita
serap.
Terakhir, memilih
pasar yang lebih kecil dan spesifik akan membuat peluang Anda untuk berhasil
semakin besar. Tinjaulah apa yang sedang Anda kerjakan saat ini. Apakah terlalu
banyak bidang yang Anda kerjakan, dan membuat Anda kelelahan tanpa menjadi yang
terbaik? Maka berhentilah melakukan bidang yang lain—berhentilah dengan cerdas,
karena berhenti di saat yang salah akan menggagalkan usaha Anda. Pilihlah satu bidang
yang benar-benar Anda yakini akan membuat Anda sukses; FOKUSLAH. Jangan melebar
tapi dangkal; menyempitlah dan dalam. Persempitlah pasar dan “dunia” Anda, dan
jadilah yang TERBAIK!
0 komentar:
Post a Comment
Your comment is so valuable for this blog ^^