Penulis : Rahadi
W. Pandoyo
Editor :
Itanov
Tebal : 291
halaman
Penerbit/cetakan : Mazola/Cetakan I, 2015
ISBN : 978-602-255-778-4
Harga :
Rp 44.000,00
Dokter. Presiden. Artis. Salah satu persamaan dari ketiganya:
mereka selalu dielu-elukan, tapi sekalinya gagal menjaga imej, mati pun
terlihat lebih indah daripada terus hidup dengan menyandang profesi mereka.
Dokter adalah profesi yang dipenuhi paradoks. Di satu
sisi, ia dipuja-puji para orang tua di seluruh penjuru negeri, yang memaksa
anaknya kuliah di jurusan Kedokteran. Apapun akan dilakukan. SNMPTN Undangan
tak lulus, maka SNMPTN Tulis jadi sasaran, atau segenap Ujian Masuk lainnya
yang diadakan secara mandiri oleh perguruan tinggi. Tak lolos semuanya (yah,
mau bagaimana lagi, passing grade jurusan
ini amat tinggi, dan otak anaknya pas-pasan), maka jalur belakang diusahakan,
meski itu harus menggadaikan sertifikat tanah dan rumah. Entah apa yang menjadi
pertimbangan para orang tua keranjingan gelar kedokteran itu. Apakah
sedemikian mulia dan fantastisnya pekerjaan dokter? Apakah semua dokter, begitu
berhasil menyelipkan gelar “dr.” di depan namanya, lantas jadi kaya dengan memeras
uang pasien yang memelas? Mungkin itulah yang selama ini ada di pikiran orang
awam mengenai profesi dokter. Maka tak heran, bahkan Anton Chekov pun bilang
bahwa dokter itu kerjaannya kalau nggak memeras, ya membunuh. Ouch, ini sungguh mengerikan.
Tapi, melalui novel ini, Rahadi W. Pandoyo menyingkapkan
tabir yang selama ini menyembunyikan sisi paradoksal dari profesi dokter.
Jelas, dokter tidak sama dengan sarjana hukum. Malah, bisa dibilang, sarjana
hukum adalah predator bagi para dokter.
Siapkah dirimu untuk masuk ke dalam gua amat gelap dalam sudut
batin seorang dokter?
***
“Hari sial memang tidak berwarna, tidak seperti hari libur yang berwarna merah.”
(hal. 130)
Adib, sang dokter muda yang baru beberapa bulan bekerja
sebagai dokter jaga di RS Kiara Medika, tidak tahu bahwa hari itu gigi-geligi
sang nasib akan mulai mencuili ujung lolipop manis kehidupannya. Sejauh ini,
hidupnya berkecukupan, dibanding dulu ketika masih kuliah di jurusan
kedokteran. Ia mampu menikahi Nirmala, yang sekarang sedang hamil muda,
mengontrak rumah, dan membeli sebuah motor butut. Hari itu, seorang pasien
wanita berambut cokelat yang datang ke UGD, akhirnya kehilangan nyawanya di
meja operasi. Tidak adanya informed
consent (surat persetujuan operasi) menghantarkan Adib keluar Kiara Medika
dengan menyandang status “dipecat”.
Menjadi dokter di klinik biasa tentunya tak dapat
memenuhi kebutuhan keuangannya, apalagi Nirmala sedang hamil. Menjadi tukang
parkir pun dilakoninya. Timbulnya alergi pada seorang pasien wanita berambut
cokelat membuatnya dipecat lagi,
hingga akhirnya ia membungkus rapi stetoskop ke dalam peti kenangan. Dengan
bantuan Mitha, dokter muda nan cantik jelita mantan adik tingkat Adib di
Universitas Brawijaya, Adib bisa mendapat pekerjaan menjadi staf gudang
supermarket milik pamannya. Melihat Mitha kembali, yang dulu pernah ia sukai
diam-diam, membuat hati Adib bergetar kembali. Lingkungan kerjanya kini cukup
ramah dan cocok dengannya, dibandingkan saat menjadi dokter di Kiara Medika.
Namun, sang nasib masih ingin menggerogoti lolipopnya ternyata. Bayinya
meninggal di dalam kandungan. Nirmala diculik dari sang suami, dan disandera
oleh keluarganya sendiri, karena Adib dianggap suami yang tidak
bertanggungjawab.
Akankah datang masanya kabar baik datang kepada Adib? Akankah
datang masanya stetoskop itu kembali bergelayut di atas jas dokter putihnya?
***
Novel ini adalah #novelprofesi ketiga yang saya baca,
setelah The Violinist dan The Dancer. Dari ketiga novel ini, The Doctor adalah yang paling sukses
menyingkapkan kerja keras di balik sebuah profesi, dengan jujur dan apa adanya. Ketika melihat seorang dokter berjalan kaki di sepanjang jalan sekitar RS Sardjito, di mata saya, penampilan eksteriornya merefleksikan
gelombang prestise dan kemapanan. Namun, ternyata, selama ini saya berada di
dalam ruang interogasi dan berusaha memandang lewat cermin satu-arah ke luar,
ke arah para dokter yang mengamati saya dari luar. Saya tidak bisa melihat
mereka, tapi mereka melihat saya. Nah, melalui novel ini, Rahadi W. Pandoyo
seolah-olah mematikan lampu dalam ruang interogasi saya, sehingga sekarang
cermin satu-arah itu berubah jadi kaca jendela biasa. Pada akhirnya, saya mampu
melihat dengan jelas seperti apa sebenarnya kehidupan profesi dokter.
Dengan plotnya yang melaju lincah, dan terkadang tak
membiarkan saya untuk sekadar menepuk nyamuk yang menancap di paha, penulis
mampu membawa emosi saya mengikuti arus yang ia inginkan. Masalah demi masalah
mengguyur tokoh utama tanpa henti, dan perlakuan-perlakuan tidak adil yang ia
terima membuat saya mengertakkan gigi. Ingin sekali saya lempar buku ini lantas
saya injak-injak dengan gemas atau saya duduki dan saya kentuti. Perlakuan
keluarga pasien yang menuntutnya hanya karena ia terkena alergi pada kulit (padahal
Adib sudah memberinya obat dengan benar), dan juga pihak LSM siluman yang tanpa
basa-basi merampok berjuta-juta dengan dalih tuntutan ini-itu. Mereka mengira
semua dokter adalah orang kaya, yang hobinya memeras uang pasien. Padahal, saat
itu, gaji Adib lebih rendah dibanding penghasilan sebulan tukang parkir.
Sebagian masyarakat pelosok juga masih menganggap dokter bukan
manusia. Mereka maunya dilayani setiap saat, lalu kalau ada salah sedikit, dokter
yang disalahkan. Ini adalah cerita Adib ketika ia melaksanakan tugas pengabdian
di luar Jawa. Keistimewaan tokoh utama adalah ia jujur; berani berterus-terang
meski banyak orang menutupinya. Ia tidak menutup-nutupi bahwa ia lebih memilih
bekerja di rumah sakit terkenal, di mana ia akan digaji dengan pantas,
dibandingkan melakukan pengabdian di pelosok negeri, dan terancam membusuk di
sana karena tidak ada dokter pengganti. (Padahal mungkin dokter lain akan sok
pencitraan mengutamakan pengabdian). Alasannya, selain karirnya tak bisa
menanjak, para warga di sana tidak tahu terima kasih dan tidak menghargai
pengabdian seorang dokter.[1]
Di balik segala kerja keras, teguh pendirian, dan
idealisme seorang Adib, saya mendapati bahwa kepribadiannya juga paradoksal. (Yah, meski Adib berhasil tetap teguh dan menolak mentah-mentah tawaran sebagai
dokter aborsi yang penghasilannya menggiurkan.)
Pertama, saat masih kuliah, berasal dari keluarga miskin membuat
Adib hidup mandiri dan bahkan sering tidak makan agar bisa membeli buku kuliah.
Tapi, anehnya, ia mau mencari uang dengan cara mengerjakan tugas-tugas kuliah
teman-temannya. Saya rasa, seorang yang sedemikian idealisnya seperti Adib tak
akan melakukan hal itu.
Kedua,
ketika bertemu Mitha kembali, seorang yang sedemikian dewasa dan
teguh-pendirian seperti Adib terguncang pikiran dan perasaannya. Untungnya, ia
ingat akan istri dan calon anaknya.
Ketiga, Adib sempat galau parah akan keyakinan-dirinya. Saat
jatuh, ia merasa pekerjaan dokter memang tidak cocok untuknya, yang hanya anak
seorang buruh pabrik tahu miskin. (Haloooo,
Adib, Adib, masih sadar (sambil menampar-nampar pipi Adib)? Di mana keteguhan
hatimu (plak!)? Tidakkah kauingat perjuanganmu selama kuliah kedokteran (plak!)?)
Untunglah, akhirnya Adib sadar kembali bahwa ia memang dilahirkan untuk menjadi
seorang dokter. Dari sini, saya bisa melihat bahwa penulis berhasil
menggambarkan keresahan dan perang batin dalam pribadi tokoh utama dengan baik.
Yang bikin saya muak adalah perlakuan keluarga Nirmala
terhadap Adib, yang sangat mempersalahkan Adib, seolah-olah ia bukan
siapa-siapa. Memang keluarga Nirmala keluarga kerajaan Inggris, apa? Sok
banget, aha!. Dan menurut saya, mereka bersikap lebay. Untunglah, akhirnya
penulis berhasil menyadarkan Nirmala untuk minggat dari sanderaan keluarganya
dan kembali pada suaminya.
“Berikan aku anak lagi, Bang. Aku tidak bisa mendapatkannya dari orang lain, bukan?” (hal. 286)[2]
Melalui The Doctor,
penulis tidak hanya mengorek pahitnya kehidupan seorang dokter, tapi juga
mengangkat isu-isu penuh ironi di negeri ini.
“Pemerintah megap-megap membayar 8,29 triliun untuk pengobatan gratis rakyat miskin, tapi orang-orang ini malah menghabiskan 151 triliun untuk merokok.” (hal. 60)
Adib adalah tokoh yang kuat, menjadi makin kuat berkat
masalah-masalah yang tak henti menimpanya. Tapi, pada akhirnya selalu terbentuk sixpack berkat latihan keras dan
disiplin. Pesan moral yang hendak disampaikan melalui tokoh Adib mungkin dapat
diwakili oleh pesan dari Ben Carson, seorang ahli bedah saraf terkemuka, yang
berhasil menaklukkan tantangan-tantangan dalam hidupnya.
Dan, ingat bahwa:
“Di dunia ini banyak orang menyebalkan, seolah-olah misinya hidup di dunia hanya untuk menyusahkan kita. Tapi, percayalah, orang-orang baik juga ada dan banyak. Hanya saja Tuhan belum mempertemukan kita dengan mereka hingga waktunya tiba. Barangkali, begitulah cara Tuhan mengajarkan pada kita apa yang disebut dengan kesabaran.” – Irham (hal. 264)
The last, ini adalah salah satu novel yang mampu menghibur sekaligus memberikan pembelajaran bagi pembacanya. Oya, kaver depannya menarik, dan mengesankan bahwa ini novel misteri-thriller...., padahal ini novel drama. Hehehe.
[1]
Saya yakin, tidak semua
warga daerah bersikap seperti itu. Tapi, saya juga pernah merasakan sedikit
seperti yang dialami Adib, ketika saya Kuliah Kerja Nyata di Kalimantan Barat.
Seringkali, niat baik kami untuk membangun desa itu kurang dihargai, padahal
semua yang kami lakukan, kan, demi pembangunan desa itu sendiri.
Jadi Nirmala masih bisa punya anak lagi ya? Alhamdulillah kalau begitu.. X)
ReplyDeletesepertinya iya, hahahaha
ReplyDeleteMaaf mau tanya, novel ini termasuk novel fiksi/nknfiksi ya? Terimakasih sebelumnya.
ReplyDeleteReview yang cantik sekali. Saya juga baru baca buku ini, dan setuju dengan apa yg disebutkan dlm review. Tokoh Adib adalah org kuat.
ReplyDeleteAku suka novel ini hehe😂
ReplyDeleteAku suka novel ini hehe😂
ReplyDelete