Penulis : Lindaisy
Editor :
Diara Oso
Tebal : 356
halaman
Penerbit/cetakan : Divapress/Cetakan I, November
2014
ISBN : 978-602-296-050-8
Harga : Rp 44.000,00Rating :
Dalam
bahasa Korea, geum janhwa berarti
bunga marigold. Dalam novel ini, Geum Janhwa adalah seorang gadis muda yang
harus berjuang menghidupi dirinya sendiri dan juga adiknya, yang sudah setahun
dirawat di rumah sakit. Sejak kematian kedua orangtuanya, ia menjadi gadis yang
serius—terlalu serius—menjalani tiap aktivitasnya. Mengelola kedai ramyun
peninggalan ayahnya. Kuliah di jurusan Kimia di Universitas Pohang, yang
berjarak sekitar 3 jam dari rumahnya. Merawat adiknya di rumah sakit. Dan
tentunya, masalah finansial membuatnya pusing. Kau tahu, biaya rumah sakit
sangat mahal, dan belum tentu adiknya bisa sembuh…. Apakah adiknya akan sembuh?
Hampir
saja, Janhwa menjual kedainya, tapi ia urungkan niatnya. Dan ternyata keputusannya
itu berbuah pencurian sebuah dokumen penting miliknya, dan Jangwoo menjadi
tertuduh.
Jangwoo
juga kehilangan kedua orangtuanya saat ia masih remaja, dan kematian mereka ada
hubungannya dengan orangtua Sunho, si bocah gemuk, kaya, dan sombong. Suatu
kejadian mempertemukan Jangwoo dengan Kakek Bae, yang kemudian merawatnya
seperti cucu sendiri. Untuk menghidupi dirinya, Jangwoo dewasa bekerja sebagai
penyanyi kafe, berbekal gitar legendaris miliknya. Tampaknya ia tak akan
merelakan gitarnya demi apapun, begitu juga dengan rambut gondrong
kebanggaannya. Sepertinya ia juga tak akan memotongnya demi apapun. Namun,
sebuah kedai ramyun mengubah hidupnya. Bryan, sang koki kedai itu, akan
mengundurkan diri, dan bosnya menyuruhnya mencari pengganti dalam waktu satu
minggu. Bryan, yang beberapa kali melayani Jangwoo yang makan di kedai itu, menaruh minat
padanya. Ia meminta Jangwoo menggantikannya, tapi ternyata si pemilik
memintanya memotong rambut sebagai syarat. Apakah Jangwoo menyanggupinya? Apakah
ia akan melepaskan pekerjaannya sebagai penyanyi hanya untuk bekerja di kedai
ramyun? Yah, meskipun si pemilik adalah gadis yang cukup menarik dan misterius…
Janhwa
si melankolis dan Jangwoo si sanguinis, tanpa saling tahu, di masa yang lalu menjadikan
satu sama lain alasan untuk berubah. Tapi, saat beranjak dewasa, Janhwa
menemukan seseorang yang ia sukai, Woohyun. Ketika akhirnya mereka
dipertemukan, siapa yang akan Janhwa pilih?
***
Mungkin
ini terdengar lebay, tapi saya merasa cemas ketika diharuskan membaca novel
ke-”Korea-korea”-an macam begini. Saya khawatir harus menghadapi kisah romansa yang
membosankan (saya pernah membeli sebuah novel macam begitu dan kecewa setelah
membacanya). Ya, memang kisah romansa menyesaki novel Hujanlah Lain Hari, tapi saya tidak kecewa, karena ada pesan mendalam
yang berusaha disampaikan penulis melalui kisah romansa itu.
Ada
yang pernah menonton serial melodrama Korea berjudul I Miss You, yang dibintangi Yoochun JYJ dan Yoon Eunhye? Bagian
awal novel ini sedikit mengingatkan saya akan episode-episode awal serial
tersebut. Tentang hujan dan payung, juga teman masa kecil yang akhirnya bertemu
kembali. Di serial itu, Jung-woo (Yoo-chun) menyimpan payung kuning milik Soo-yeon
(Yoon Eun-hye). Kalau di novel ini, Jangwoo meminjam payung Janhwa yang bertuliskan
inisial GJH. Inisial ini pula yang nantinya mengingatkannya akan seorang gadis
menyebalkan di masa lalu.
Jangwoo
mengidap ombrophobia, suatu fobia
unik di mana penderitanya takut akan hujan. Tiap turun hujan, meski tidak
kehujanan, Jangwoo selalu merasa pusing. Ini disebabkan kenangan tentang
peristiwa pembunuhan orangtuanya yang terjadi saat hujan. Melalui tokoh
Jangwoo, penulis hendak menyampaikan pesan “punya segalanya bukan jaminan kebahagiaan”.
Meski hidup miskin, keluarga Jangwoo selalu mengutamakan kejujuran dan harga
diri. Inilah yang membuat Jangwoo membenci orang kaya yang sombong. Mungkin
juga, penulis ingin menyindir kelakuan para orang kaya yang sebenarnya
koruptor, yang diwakili oleh keluarga Sunho.
Penulis
juga menunjukkan bahwa metamorfosis kepribadian seseorang dapat terjadi karena
sesuatu terjadi hingga ia tak bisa bertahan hidup jika tidak berubah. Mungkin
juga karena seseorang. Inilah yang terjadi pada Janhwa.
Plot
yang dibangun sebenarnya cukup rapi, diceritakan mulai dari Jangwoo dan Janhwa saat masih kecil, hingga mereka dewasa dan bertemu di kedai ramyun. Sayangnya, penulis
mengeksekusi adegan kilas balik secara mendadak, hingga merusak tatanan plot.
Tiba-tiba diceritakan Jangwoo sedang di bandara, lalu mendengar pembicaraan
Janhwa dengan Woohyun. Saya tidak mengantisipasi sehingga bingung. Ini kok tiba-tiba Jangwoo di bandara? Lain
halnya jika penulis menambahkan keterangan “Jangwoo remaja”, misalnya, atau
keterangan waktu. Untungnya, di adegan kilas balik selanjutnya, penulis cukup
berbaik hati menyediakan keterangan semacam itu.
Gaya
bahasa yang digunakan penulis ringan, dan tidak menggunakan bahasa Korea berlebihan
dalam percakapan. Penulis hanya menggunakan bahasa Korea untuk istilah-istilah
yang sulit diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Seperti dialek “ya!” (hei!) atau
penyebutan “oppa” (cara perempuan memanggil kakak laki-laki). Sayangnya,
penulis tidak pernah memberikan catatan kaki untuk menjelaskan arti istilah
asing yang ia gunakan. Jika pembacanya familiar dengan dunia per-Korea-an, maka
itu tak masalah. Selain itu juga ada
beberapa kesalahan penulisan istilah asing dan penggunaan kata yang kurang
tepat.[1]
Meski
begitu, saya mengapresiasi karena banyak penulis lain tak sanggup menahan
kecenderungan untuk pamer kemampuan bahasa yang ia kuasai, sehingga banyak
sekali dialog berbahasa asing[2]. Well, tolong diingat, ini novel
berbahasa Indonesia, kecuali jika memang ingin menerbitkannya dalam bahasa
asing. Hehehe. Perlu diingat juga, biasanya ketika membaca fiksi berlatarkan
luar negeri, secara otomatis, pikiran pembaca akan tersetel bahwa dialog-dialog
berbahasa Indonesia di dalamnya itu berarti dilakukan dalam bahasa asing.[3]
Sepanjang
cerita, penulis menggunakan sudut pandang orang ketiga serba-tahu [4], tapi
anehnya, penulis sering ikut campur bicara dalam cerita. Saya tidak tahu, ini
memang gaya yang selalu dipakai penulis secara sengaja, atau ia tak sadar
menggunakannya. Kebawelan penulis ini cukup mengganggu. Misalnya, ketika
penulis tiba-tiba nimbrung bicara pada pembaca saat mendeskripsikan penampilan
Kakek Bae (hal. 130).
“Ia sengaja membuat jambulnya berdiri seperti anak punk. Bisa dibayangkan? Kau pasti bingung. Sama!”
Nah!
Mending sekalian dibikin sudut pandang orang pertama saja, hehehe.
Tindak
pencurian dokumen milik Janhwa yang dilakukan oleh Sunho membuat saya bingung.
Saya bertanya-tanya, mungkinkah ada kaitannya dengan pria yang sebelumnya
hendak membeli kedai+rumah Janhwa, tapi dibatalkan secara sepihak oleh Janhwa
itu? Awalnya, saya kira malah yang mencuri itu anak buah si pria, untuk
membalaskan rasa malunya akibat transaksi yang dibatalkan Janhwa. Tapi ternyata
malah si Sunho. Barang bukti berupa pisau lipat yang katanya dapat memberatkan
posisi Jangwoo juga kurang jelas.
Polisi menemukan pisau lipat yang sama dengan yang digunakan pelaku untuk menusuk Janhwa (hal. 230).
Pada
waktu kejadian, salah satu dari dua orang pencuri tanpa sengaja menusuk bahu
Janhwa dengan pisau lipat. Karena buru-buru, pencuri itu meninggalkan TKP dan
juga pisau yang masih tertancap di bahu Janhwa. Kemudian Jangwoo mencabut dan
melemparnya. Jadi, pisau lipat itu seharusnya masih berada di TKP. Jika polisi
menemukan pisau itu, mungkin mereka akan menuduh Jangwoo karena ada sidik
jarinya di gagang pisau. Tapi tidak dituliskan, apakah si penjahat menggunakan
sarung tangan atau tidak. Jika tidak, berarti sidik jari penjahat juga ada di
gagang pisau. Apakah hanya dengan berbekal tuduhan dari Sunho (bahwa Jangwoo
bekerja sama dengannya) dan sidik jari di pisau itu lantas polisi memberatkan
posisi Jangwoo? Jangwoo kan punya hak untuk menjelaskan bahwa ia memegang pisau
itu karena berusaha mencabutnya…. Entahlah, sejak awal penulis memang
memaksudkan ini novel romansa, bukan novel detektif. Saya hanya ingin berbagi
kebingungan saya. Hehehe.
Secara
keseluruhan, penulis berhasil menyampaikan pesan-pesan moral (yang sudah saya
tuliskan sebelumnya) dengan baik. Bisa dibilang, ini salah satu jenis kisah
yang cocok untuk pembaca yang ingin hiburan; tidak terlampau ringan, tapi juga
tidak berat.
[1] Misalnya, "mendengus aroma" (hal. 98), yang lebih cocok jika
diganti dengan "mengendus aroma".
[2] Ini
kecenderungan yang tampaknya diderita Dee baru-baru ini, dalam seri Supernova terbaru, Gelombang. Saya capek baca percakapan dengan bahasa yang
gonta-ganti.
[3]
Misalnya, nih, saya sedang baca Blind
Willow, Sleeping Woman-nya Haruki Murakami versi terjemahan bahasa Inggris.
Tentu saja, dialognya semua berbahasa Inggris, tapi dalam otak saya ada
kesadaran dan pengertian bahwa sesungguhnya dialog itu diucapkan dalam bahasa
Jepang.
Wah baru tau ada namanya ombrophobia. Saya juga sebel pada penulis yang suka pamer kemampuan bahasa dengan menaburkan berbagai dialog asing mentang2 settingnya di luar negeri. Apalagi nggak ada keterangan terjemahannya. Dikira semua pembacanya jago apa ya -__-
ReplyDeleteAnyway, salam kenal ya :D
Iya, saya juga baru tahu waktu bikin resensi ini, hehehehe... Sama, penulis seperti itu terkesan seperti "anak alay" menurut saya. Wkwkwk
DeleteSalam kenal juga :D