Melalui buku, Jorge Luis Borges menemukan kesenangan,
dengan jenis yang berbeda-beda untuk tiap buku yang berbeda. Kesenangan yang ia
dapatkan saat membaca Arabian Nights tentu berbeda dengan yang ia dapatkan dari
Moby Dick. Kesenangan itu seolah telah melebur dalam ingatannya dan tak lekang
oleh waktu, sampai saat ia menceritakan buku-buku paling penting dalam hidupnya
dalam ceramah bertajuk “Kredo Seorang Penyair” di Harvard University. Dalam kebutaan
yang ia alami kemudian (di tahun 1955), tali-tali kehidupan seolah mengikatnya tetap
erat dengan buku, yang terlihat jelas ketika ia diangkat menjadi direktur
Perpustakaan Nasional dan bertanggung jawab atas sembilan ratus ribu buku. Ironisnya,
ia hanya bisa membelai punggung-punggung buku itu tanpa bisa lagi membacanya.
“Tak seorang pun yang mesti membaca dengan mengasihani
atau mencemooh
terhadap pernyataan tentang kebesaran Tuhan ini;
yang dengan ironi yang berlebihan
menghadiahiku buku-buku dan kebutaan secara
bersamaan”
Poem of the Gifts--Jorge Luis Borges
(Menggali Sumur dengan Ujung Jarum, hlm. 96-7)
Dalam mencintai buku, saya merasa memiliki beberapa
kesamaan dengan penulis kenamaan Argentina tersebut. Saya juga sering “membayangkan
surga itu sebagai semacam perpustakaan” (Menggali Sumur dengan Ujung Jarum, hlm. 96), tempat saya bisa
berenang-renang di dalam tumpukan buku—seperti Paman Gober yang berenang dalam
lautan koin emasnya; menghirup bau kertas dan lem penjilidnya; mengecap tiap
kisah yang terukir dalam lembaran-lembarannya.
Inilah yang benar-benar terjadi: saya mengalami goosebumps ketika menemukan banyak
sekali novel berbahasa Inggris—dari yang klasik sampai pop—berderet-deret di
rak American Corner di Perpustakaan Pusat UGM. Sempat, saya ingin membaca
semuanya sebelum saya wisuda dan KTM saya disita, sehingga saya tidak bisa
pinjam buku lagi, tapi apalah daya, so
many books, so little time. Pada akhirnya, yang sempat saya pinjam dan
telah saya tamatkan hanyalah Safe Haven (Nicholas Sparks), Thousand Cranes
(Yasunari Kawabata), The Trial (Franz Kafka), sebuah kumpulan cerpen Anton Chekhov. Yang belum berhasil saya tamatkan banyak. Salah satu alasannya adalah
bahasa Inggrisnya yang saya rasa terlalu klasik sehingga saya tidak kuat
melahapnya sampai habis, misalnya To Kill A Mockingbird (Harper Lee) dan Lolita
(Vladimir Nabokov).
Perasaan thrilled
dan bergairah juga saya alami tiap masuk ke toko buku. Sebelum saya kuliah di
Yogyakarta, saya selalu kesulitan membeli buku. Di kota tempat lahir saya,
Juwana, tidak ada toko buku. Beruntung, saya pernah masuk ke toko alat tulis,
yang ternyata menjual sedikit novel lama (yang saya duga pihak toko itu
mendapatkannya dari obralan Gramedia entah di mana). Di toko itulah saya
menemukan dan membeli novel She’ll Take It (Mary Carter), yang konyolnya minta
ampun itu. Di Pati pun, kota tempat saya menambang ilmu di SMA, hanya ada satu
toko buku yang benar-benar isinya buku semua, di mana saya membeli beberapa buku, salah satunya The Bonesetter's Daughter (Amy Tan). Itupun, koleksi bukunya tidak up-to-date. Inilah mengapa, tiap kali
saya berkesempatan pergi ke Semarang atau kota besar lainnya, satu tempat yang
wajib saya kunjungi adalah toko buku Gramedia atau Gunung Agung (biasanya saya
temukan saat nge-mall).
Jadi, paham, kan, betapa bahagianya saya saat toko
buku Gramedia dan Togamas begitu mudah saya temukan di Yogyakarta? Pun di kota
istimewa ini, sering sekali diadakan event pesta buku, bazaar buku, bahkan sale
gudang Gramedia yang penuh buku dan debu—yang sepertinya sulit ditemukan di
kota besar lain. Bahkan, ada juga diskon buku terjadwal, seperti di Togamas
(dulu semua novel diskon 25% tiap Jumat di Togamas Galeria, lalu belakangan
saya selalu memburunya tiap Selasa di Togamas Affandi). Selain itu, acara-acara
lain tentang buku juga sering ditemukan di Yogyakarta.
Oleh karena itu, bukan sepenuhnya salah saya jika
semasa kuliah sampai sekarang saya aktif berprofesi sebagai penimbun buku. Keisengan
mendatangi acara pesta buku atau sekadar main ke toko buku selepas suntuk
kuliah Mekanika Fluida hari Jumat sore biasanya berujung pada buku baru yang
diboyong ke kamar kos. Setelah saya jadi book
reviewer DIVA Press—yang mendapat 3 buku baru gratis tiap bulan untuk
diresensi—dan menjadi giveaway hunter,
rak buku saya tidak muat lagi. Akhirnya, kolong meja dan lemari saya pun jadi
penuh buku. Belum baca buku yang baru dibeli kemarin, besoknya sudah dapat buku
baru lagi. Begitu seterusnya. So many books, so little time. So many books, so little space.
Saya menemukan “kehidupan yang lain” di dalam setiap
buku yang saya baca, baik itu fiksi maupun nonfiksi. Dalam buku fiksi, saya
selalu bisa menemukan fakta dalam imajinasi. Sementara itu, dalam buku
nonfiksi, saya menikmati cerita tentang fakta. Hal lain yang saya kagumi dari buku adalah, betapa ia bisa berbicara menembus batas-batas
dimensi ruang dan waktu. Ketika dunia empat dimensi masih rumit dan sulit
dijelaskan secara ilmiah, ternyata sejak awal mula lahirnya, buku telah
berhasil mewujudkan dunia empat dimensi ini. Begini, ketika membaca Bumi Manusia
karya Pram, maka saya akan tersedot dalam masa penjajahan dengan setting daerah
Surabaya. Ketika membaca Lukisan Dorian Gray (Oscar Wilde), saya akan menemukan diri saya
berada di Inggris, di era Victoria. Saya menemukan diri saya tegang di dalam
suasana serangan Jepang atas Cina dalam novel The Devil of Nanking karya Mo Hayder.
Dalam seri In Death (J.D. Robb), Letnan Eve Dallas mengajak saya bertualang memecahkan
misteri-misteri pembunuhan di masa depan, lengkap dengan segala peralatan
teknologi super canggih. Lain lagi dengan buku-buku dystopia, yang menyeret
saya untuk menyaksikan kehancuran bumi di masa depan.
Jauh sebelum saya menyelami dunia kepenulisan, saya
lebih dulu membaca. Saya sudah membaca buku sejak awal saya belajar membaca. Ketika
masih TK dulu (atau bahkan sebelum masuk TK), ibu saya meminjam banyak buku
cerita bergambar dari seorang teman gereja, untuk kemudian menyodorkannya pada
saya. Di rumah, di tengah hamparan buku-buku cerita bergambar yang terbuka,
saya menemukan kebahagiaan. Hansel dan Gretel, Gadis Berkerudung Merah, Gadis
Korek Api, dan entah apa lagi, saya lupa. Saya juga punya buku cerita Putri
Aurora yang ditulis menggunakan sistem “go to”, yang sangat menarik karena
mengajak saya memilih sendiri kelanjutan cerita. Kemudian tibalah suatu masa di
mana sepupu saya yang sudah beranjak dewasa membawa semua koleksi majalah komik
Donal Bebek dan Doraemon-nya ke rumah saya. Tiada momen saya lewati tanpa
membacanya. Jarang sekali saya buang air besar tanpa baca buku. Makan adalah
momen yang nyaris selalu saya lewati sambil baca buku.
Saat SD, saya sering membaca buku yang dipinjam
kakak saya dari perpustakaan SMA-nya (yang kemudian jadi SMA saya juga). Yang
paling sering adalah buku kumpulan cerita rakyat dari berbagai kota di
Nusantara. Saat SMP, saya menjadi satu-satunya penghuni perpustakaan sempit di
sekolah saya. Saya gemar meminjam novel-novel detektif cilik. Yang paling saya
ingat, karena setelah lulus SMP saya tak menjumpai lagi buku serupa, adalah
serial Kalle Blomkvist karya Astrid Lindgren. Di masa itu juga pertama kalinya
saya membaca Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh-nya Dee. (Bagi otak polos saya
waktu itu, istilah solarplexus yang
saya temukan di KPBJ menjadi semacam kata keramat bagi saya.) Buku Harry Potter
pertama kali menginvasi saya juga di masa itu. Saya ingat sekali, bagaimana
dunia fantasi ciptaan Rowling itu berhasil menelan saya, hingga kewajiban saya
menyapu rumah tiap sore sering terbengkalai begitu saya duduk halaman belakang
rumah, menunduk di atas buku Harry Potter di pangkuan.
Perpustakaan SMA adalah antitesis dari perpustakaan
SMP saya. Banyak sekali novel bersemayam di sana, bahkan sering berdatangan
novel-novel baru. Selain itu, banyak teman perempuan saya yang suka baca,
sehingga kami sering rebutan antrian meminjam novel-novel terbaru. Saking
larisnya, banyak novel yang penjilidnya telah lepas padahal baru saja beberapa bulan
menjadi penghuni perpustakaan. Barangkali yang paling lekat di ingatan saya adalah
novel-novel detektif (Trio Detektif, Lima Sekawan, Pasukan Mau Tahu, Hercule
Poirot, seri In Death); novel thriller (Summer in Hell alias The Ruins dan Birdman, yang sering bikin saya ngilu waktu membayangkan adegan
sayat-menyayat, iris-mengiris, atau operasi tanpa bius). Saat SMA, genre favorit saya adalah thriller dan slasher (baik novel maupun film), hingga saya cemas kalau nanti
saya ikut-ikutan jadi psikopat. Film Saw adalah salah satu film favorit saya
waktu itu, btw.
Namun, di masa itu, saya juga telah tercemar novel-novel
Metropop, dan merasa bahwa novel teenlit
"nggak banget". Kalau sebelumnya saya suka baca teenlit Gramedia, menginjak kelas XI saya menyukai romance Gagasmedia yang lebih dewasa, selain Metropop. Salah satu favorit saya adalah Winter in Tokyo karya Ilana Tan
Ternyata, sejak dulu, kemampuan dan preferensi bacaan
saya senantiasa mengalami perubahan. Belakangan ini saya gemar melahap cerpen dan novel sastra (yang klasik maupun bukan), domestik maupun luar negeri. Baru-baru ini, saya
menamakan diri extrovert reader. Istilah
ini bisa dimaknai sebagai pembaca yang suka bertualang lintas genre. Meski begitu,
saya tetaplah seorang gadis introver. Kalau tidak introver, mungkin saya tak
akan segemar itu membaca buku.
“Introverts feel ‘just right’ with less stimulation, as when they sip wine with a close friend, solve a crossword puzzle, or read a book. […] [Although] We can’t say that every introvert is a bookworm or every extrovert wears lampshades at parties…” (Susan Cain in Quiet)
Jika dulu saya selalu bergairah tiap ke toko buku, dan
terbilang sering main ke sana, belakangan ini tidak lagi. Pasalnya, saya sering
mendapat buntelan buku gratis, pun dilimpahi setumpuk buku pinjaman dari teman,
serta e-book berjubelan dalam kartu memori tablet. Oleh karena itu, saya merasa
tak butuh lagi membeli buku, kecuali memang ada buku yang saya rasa wajib
memilikinya sendiri (seperti Tetralogi Buru dan Inteligensi Embun Pagi). Atau jika
ada buku terjemahan yang ingin sekali saya baca, tapi saya tak bisa menemukan
e-book versi aslinya, maka saya akan membelinya. Atau kalau ada lomba menulis
resensi buku dan saya diwajibkan membeli bukunya. Kalau bisa gratis, kenapa harus beli, begitulah prinsip saya :-h.
Meski sejak memiliki tablet di tahun 2014 saya cukup
sering membaca e-book, buku fisik tetap jadi favorit. Namun, saya sadar,
di masa depan sangat mungkin semua buku baru akan tidak memiliki wujud fisik. Jika
saat itu tiba, saya ingin jadi salah satu manusia yang masih punya koleksi berderet-deret buku di rumahnya.
Sejak tahun 2013, saya gemar menulis resensi buku.
Buku pertama yang saya resensi adalah Notasi karya Morra Quatro. Semenjak itu,
ratusan resensi (seratus lebih bisa disebut “ratusan”, nggak? :)]) telah saya
terbitkan di blog saya. Tahun berikutnya, saya menjadi book reviewer DIVA
Press, yang bertugas meresensi buku-buku terbitan barunya tiap bulan. Di tahun
2014 itu pula saya bergabung dengan komunitas Blogger Buku Indonesia, dan
sampai sekarang, bisa dibilang, saya masih berapi-api menjadi book blogger.
Dari buku-buku yang saya baca, saya belajar banyak.
Sejak jadi book reviewer, otak saya makin terlatih dalam menganalisis buku. Saya
suka mengupas lapis demi lapis elemen sastra yang sering tersembunyi di balik
simbol dan alegori. Salah satu karya sastra yang membuat saya paling bergairah
saat mengupasnya adalah Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan.
Sepanjang saya
menulis, saya tak akan berhenti membaca buku. Begitu pula sebaliknya. Suatu
saat nanti, saya berharap berhasil menuliskan “sastra sejati”.
“Titik mula sastra sejati adalah orang yang mengurung dirinya di kamar bersama buku-bukunya.” -- Orhan Pamuk (Menggali Sumur dengan Ujung Jarum, hlm. 151)
Membaca telah menjadi lebih daripada hobi bagi saya. Ia sudah menjelma semacam cinta sejati saya, yang jika berpisah sebentar saja,
saya akan merasa ada yang hilang. Maka dari itu, jiwa saya tak utuh lagi jika
saya berhenti membaca. Akhirnya, mengingat “so many books, so little time”,
saya memutuskan untuk membaca sebanyak mungkin buku selagi saya bisa.
*Judul tulisan ini saya pinjam dari sebuah petikan
milik Franz Zappa.
Benar-benar ditakdirkan untuk buku.
ReplyDeleteNgoahaha, indeed :D
DeletePerpus smp saya koleksinya ga ada detektif cilikT︵T
ReplyDeleteWew, usulin ke pustakawannya, Tiara! Haha
Deletesaya suka banget membaca buku di gramedia
ReplyDeleteSaya juga suka (dulu) baca gratis di toko buku :)]
DeleteWell, nggak bisa komentar pokoknya.
ReplyDeleteSukses terus mbak Frida :)
Sukses terus juga, Kang Steven! :D
DeleteManteb memang Frida. Andai saja dulu saya pas kuliah sering ada obralan buku seperti saat ini. Percayalah, kuliah di Jogja sebelum tahun 2008 itu yang namanya obral buku masih sangat jarang. Buku seharga Rp20.000 aja udah dianggap murah, itu pun kebanyakan buku nonfiksi. Novel-novel populer Gramedia dan Mizan mana pernah hiks. Semangat menimbun eh membaca ya.
ReplyDeleteWah, saya baru tahu kalau dulu jarang ada obral buku...
DeleteMas juga semangat menimbun, ya! :D
Dari pada beli baju, mending beli buku, walaupun buku yg kmren blum d buka sampulnya, tapi kalau lagi ada di toko buku rasanya pengin borong semua buku yang bagus2, karena dengan buku niscaya kehidupan akan menjadi lebih baik
ReplyDeleteHihi bener, kalo lg di tokbuk (apalagi pas ada diskonan/obralan) rasanya pengin borong semua. Tapi sedih juga, kalau pada akhirnya buku2 itu nggak kebaca :)]
Delete