1 February 2015

(Resensi "Hujanlah Lain Hari") Hujan yang Bikin Fobia, Hujan yang Bikin Jatuh Cinta

Judul Buku                     : Hujanlah Lain Hari
Penulis                           : Lindaisy
Editor                             : Diara Oso
Tebal                              : 356 halaman
Penerbit/cetakan           : Divapress/Cetakan I, November 2014
ISBN                              : 978-602-296-050-8
Harga                            : Rp 44.000,00
Rating                           :




Dalam bahasa Korea, geum janhwa berarti bunga marigold. Dalam novel ini, Geum Janhwa adalah seorang gadis muda yang harus berjuang menghidupi dirinya sendiri dan juga adiknya, yang sudah setahun dirawat di rumah sakit. Sejak kematian kedua orangtuanya, ia menjadi gadis yang serius—terlalu serius—menjalani tiap aktivitasnya. Mengelola kedai ramyun peninggalan ayahnya. Kuliah di jurusan Kimia di Universitas Pohang, yang berjarak sekitar 3 jam dari rumahnya. Merawat adiknya di rumah sakit. Dan tentunya, masalah finansial membuatnya pusing. Kau tahu, biaya rumah sakit sangat mahal, dan belum tentu adiknya bisa sembuh…. Apakah adiknya akan sembuh?

Hampir saja, Janhwa menjual kedainya, tapi ia urungkan niatnya. Dan ternyata keputusannya itu berbuah pencurian sebuah dokumen penting miliknya, dan Jangwoo menjadi tertuduh.

Jangwoo juga kehilangan kedua orangtuanya saat ia masih remaja, dan kematian mereka ada hubungannya dengan orangtua Sunho, si bocah gemuk, kaya, dan sombong. Suatu kejadian mempertemukan Jangwoo dengan Kakek Bae, yang kemudian merawatnya seperti cucu sendiri. Untuk menghidupi dirinya, Jangwoo dewasa bekerja sebagai penyanyi kafe, berbekal gitar legendaris miliknya. Tampaknya ia tak akan merelakan gitarnya demi apapun, begitu juga dengan rambut gondrong kebanggaannya. Sepertinya ia juga tak akan memotongnya demi apapun. Namun, sebuah kedai ramyun mengubah hidupnya. Bryan, sang koki kedai itu, akan mengundurkan diri, dan bosnya menyuruhnya mencari pengganti dalam waktu satu minggu. Bryan, yang beberapa kali melayani Jangwoo  yang makan di kedai itu, menaruh minat padanya. Ia meminta Jangwoo menggantikannya, tapi ternyata si pemilik memintanya memotong rambut sebagai syarat. Apakah Jangwoo menyanggupinya? Apakah ia akan melepaskan pekerjaannya sebagai penyanyi hanya untuk bekerja di kedai ramyun? Yah, meskipun si pemilik adalah gadis yang cukup menarik dan misterius…

Janhwa si melankolis dan Jangwoo si sanguinis, tanpa saling tahu, di masa yang lalu menjadikan satu sama lain alasan untuk berubah. Tapi, saat beranjak dewasa, Janhwa menemukan seseorang yang ia sukai, Woohyun. Ketika akhirnya mereka dipertemukan, siapa yang akan Janhwa pilih?

***

Mungkin ini terdengar lebay, tapi saya merasa cemas ketika diharuskan membaca novel ke-”Korea-korea”-an macam begini. Saya khawatir harus menghadapi kisah romansa yang membosankan (saya pernah membeli sebuah novel macam begitu dan kecewa setelah membacanya). Ya, memang kisah romansa menyesaki novel Hujanlah Lain Hari, tapi saya tidak kecewa, karena ada pesan mendalam yang berusaha disampaikan penulis melalui kisah romansa itu.

Ada yang pernah menonton serial melodrama Korea berjudul I Miss You, yang dibintangi Yoochun JYJ dan Yoon Eunhye? Bagian awal novel ini sedikit mengingatkan saya akan episode-episode awal serial tersebut. Tentang hujan dan payung, juga teman masa kecil yang akhirnya bertemu kembali. Di serial itu, Jung-woo (Yoo-chun) menyimpan payung kuning milik Soo-yeon (Yoon Eun-hye). Kalau di novel ini, Jangwoo meminjam payung Janhwa yang bertuliskan inisial GJH. Inisial ini pula yang nantinya mengingatkannya akan seorang gadis menyebalkan di masa lalu.

Jangwoo mengidap ombrophobia, suatu fobia unik di mana penderitanya takut akan hujan. Tiap turun hujan, meski tidak kehujanan, Jangwoo selalu merasa pusing. Ini disebabkan kenangan tentang peristiwa pembunuhan orangtuanya yang terjadi saat hujan. Melalui tokoh Jangwoo, penulis hendak menyampaikan pesan punya segalanya bukan jaminan kebahagiaan”. Meski hidup miskin, keluarga Jangwoo selalu mengutamakan kejujuran dan harga diri. Inilah yang membuat Jangwoo membenci orang kaya yang sombong. Mungkin juga, penulis ingin menyindir kelakuan para orang kaya yang sebenarnya koruptor, yang diwakili oleh keluarga Sunho.

Penulis juga menunjukkan bahwa metamorfosis kepribadian seseorang dapat terjadi karena sesuatu terjadi hingga ia tak bisa bertahan hidup jika tidak berubah. Mungkin juga karena seseorang. Inilah yang terjadi pada Janhwa.


Plot yang dibangun sebenarnya cukup rapi, diceritakan mulai dari Jangwoo dan Janhwa saat masih kecil, hingga mereka dewasa dan bertemu di kedai ramyun. Sayangnya, penulis mengeksekusi adegan kilas balik secara mendadak, hingga merusak tatanan plot. Tiba-tiba diceritakan Jangwoo sedang di bandara, lalu mendengar pembicaraan Janhwa dengan Woohyun. Saya tidak mengantisipasi sehingga bingung. Ini kok tiba-tiba Jangwoo di bandara? Lain halnya jika penulis menambahkan keterangan “Jangwoo remaja”, misalnya, atau keterangan waktu. Untungnya, di adegan kilas balik selanjutnya, penulis cukup berbaik hati menyediakan keterangan semacam itu.

Gaya bahasa yang digunakan penulis ringan, dan tidak menggunakan bahasa Korea berlebihan dalam percakapan. Penulis hanya menggunakan bahasa Korea untuk istilah-istilah yang sulit diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Seperti dialek “ya!” (hei!) atau penyebutan “oppa” (cara perempuan memanggil kakak laki-laki). Sayangnya, penulis tidak pernah memberikan catatan kaki untuk menjelaskan arti istilah asing yang ia gunakan. Jika pembacanya familiar dengan dunia per-Korea-an, maka itu tak masalah.  Selain itu juga ada beberapa kesalahan penulisan istilah asing dan penggunaan kata yang kurang tepat.[1]

Meski begitu, saya mengapresiasi karena banyak penulis lain tak sanggup menahan kecenderungan untuk pamer kemampuan bahasa yang ia kuasai, sehingga banyak sekali dialog berbahasa asing[2]. Well, tolong diingat, ini novel berbahasa Indonesia, kecuali jika memang ingin menerbitkannya dalam bahasa asing. Hehehe. Perlu diingat juga, biasanya ketika membaca fiksi berlatarkan luar negeri, secara otomatis, pikiran pembaca akan tersetel bahwa dialog-dialog berbahasa Indonesia di dalamnya itu berarti dilakukan dalam bahasa asing.[3]

Sepanjang cerita, penulis menggunakan sudut pandang orang ketiga serba-tahu [4], tapi anehnya, penulis sering ikut campur bicara dalam cerita. Saya tidak tahu, ini memang gaya yang selalu dipakai penulis secara sengaja, atau ia tak sadar menggunakannya. Kebawelan penulis ini cukup mengganggu. Misalnya, ketika penulis tiba-tiba nimbrung bicara pada pembaca saat mendeskripsikan penampilan Kakek Bae (hal. 130).
“Ia sengaja membuat jambulnya berdiri seperti anak punk. Bisa dibayangkan? Kau pasti bingung. Sama!
Nah! Mending sekalian dibikin sudut pandang orang pertama saja, hehehe.

Tindak pencurian dokumen milik Janhwa yang dilakukan oleh Sunho membuat saya bingung. Saya bertanya-tanya, mungkinkah ada kaitannya dengan pria yang sebelumnya hendak membeli kedai+rumah Janhwa, tapi dibatalkan secara sepihak oleh Janhwa itu? Awalnya, saya kira malah yang mencuri itu anak buah si pria, untuk membalaskan rasa malunya akibat transaksi yang dibatalkan Janhwa. Tapi ternyata malah si Sunho. Barang bukti berupa pisau lipat yang katanya dapat memberatkan posisi Jangwoo juga kurang jelas.
Polisi menemukan pisau lipat yang sama dengan yang digunakan pelaku untuk menusuk Janhwa (hal. 230).
Pada waktu kejadian, salah satu dari dua orang pencuri tanpa sengaja menusuk bahu Janhwa dengan pisau lipat. Karena buru-buru, pencuri itu meninggalkan TKP dan juga pisau yang masih tertancap di bahu Janhwa. Kemudian Jangwoo mencabut dan melemparnya. Jadi, pisau lipat itu seharusnya masih berada di TKP. Jika polisi menemukan pisau itu, mungkin mereka akan menuduh Jangwoo karena ada sidik jarinya di gagang pisau. Tapi tidak dituliskan, apakah si penjahat menggunakan sarung tangan atau tidak. Jika tidak, berarti sidik jari penjahat juga ada di gagang pisau. Apakah hanya dengan berbekal tuduhan dari Sunho (bahwa Jangwoo bekerja sama dengannya) dan sidik jari di pisau itu lantas polisi memberatkan posisi Jangwoo? Jangwoo kan punya hak untuk menjelaskan bahwa ia memegang pisau itu karena berusaha mencabutnya…. Entahlah, sejak awal penulis memang memaksudkan ini novel romansa, bukan novel detektif. Saya hanya ingin berbagi kebingungan saya. Hehehe.

Secara keseluruhan, penulis berhasil menyampaikan pesan-pesan moral (yang sudah saya tuliskan sebelumnya) dengan baik. Bisa dibilang, ini salah satu jenis kisah yang cocok untuk pembaca yang ingin hiburan; tidak terlampau ringan, tapi juga tidak berat.



[1] Misalnya, "mendengus aroma" (hal. 98), yang lebih cocok jika diganti dengan "mengendus aroma".
[2] Ini kecenderungan yang tampaknya diderita Dee baru-baru ini, dalam seri Supernova terbaru, Gelombang. Saya capek baca percakapan dengan bahasa yang gonta-ganti.
[3] Misalnya, nih, saya sedang baca Blind Willow, Sleeping Woman-nya Haruki Murakami versi terjemahan bahasa Inggris. Tentu saja, dialognya semua berbahasa Inggris, tapi dalam otak saya ada kesadaran dan pengertian bahwa sesungguhnya dialog itu diucapkan dalam bahasa Jepang.
[4] Karena ia dapat secara magis mengetahui perasaan-perasaan para tokohnya.

2 comments:

  1. Wah baru tau ada namanya ombrophobia. Saya juga sebel pada penulis yang suka pamer kemampuan bahasa dengan menaburkan berbagai dialog asing mentang2 settingnya di luar negeri. Apalagi nggak ada keterangan terjemahannya. Dikira semua pembacanya jago apa ya -__-
    Anyway, salam kenal ya :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, saya juga baru tahu waktu bikin resensi ini, hehehehe... Sama, penulis seperti itu terkesan seperti "anak alay" menurut saya. Wkwkwk
      Salam kenal juga :D

      Delete

Your comment is so valuable for this blog ^^

bloggerwidgets