Judul: Pulang Penulis: Tere Liye Editor: Triana Rahmawati Penerbit: Republika Cetakan: VIII, November 2015 Tebal: iv + 400 halaman ISBN: 978-602-255-952-8 Harga: Rp 65.000,00 Rating saya: 4/5 |
Dua puluh tahun lalu.
Bujang adalah bocah laki-laki berumur 15 tahun yang menghabiskan seumur hidupnya di sebuah talang pedalaman di lereng Bukit Barisan, bermain ke ladang tadah hujan milik Bapak atau ke hutan tanpa alas kaki. Sekolah tak pernah ia kenyam, kecuali pelajaran baca-tulis-hitung dari Mamak. Sebenarnya Mamak juga mengajarkannya mengaji, tapi Bapak akan menghukumnya dengan rotan apabila ketahuan. Kehidupan monotonnya berubah seketika sejak malam itu. Sekelompok orang pemburu babi hutan dipanggil Bapak dari Kota, untuk membasmi babi hutan yang kerap merusak ladang warga. Bujang ikut serta dalam perburuan itu, satu kelompok dengan Tauke Besar. Mereka masuk dalam sekali ke jantung hutan Sumatera. Banyak babi hutan telah mereka bunuh, hingga muncullah si raja babi hutan yang tubuhnya sebesar sapi. Ketika para pemburu yang lain telah terkapar diserangnya, termasuk Tauke Besar sendiri, Bujang mau tidak mau harus melawan si babi hutan sendirian. Pada malam itulah, berhadapan dengan babi hutan raksasa, dada Bujang telah terbelah dan rasa takut dikeluarkan dari dalamnya.
Bujang tak punya rasa takut lagi.
Bujang tak punya rasa takut lagi.
Masa kini.
Tauke Besar telah menua dan sakit-sakitan. Bujang telah menjadi Jagal No. 1 Keluarga Tong, dengan julukan si Babi Hutan. Gelar sarjana telah diraihnya dari sebuah universitas ternama Ibu Kota. Pun dua gelar master dari sebuah universitas di Massachusetts. Pendidikan dasar tukang pukul dari Kopong, pendidikan a la ninja dari Guru Bushi, pendidikan menembak dari Salonga, telah membentuknya menjadi nyaris tak terkalahkan. Pamornya telah menguar hingga tingkat dunia. Dalam satu hari ia bisa ada di Hongkong, kemudian di Jepang, untuk menyelesaikan masalah tingkat tinggi Keluarga Tong. Demi merebut kembali sebuah prototype teknologi terbaru di bidang kedokteran dari tangan Keluarga Lin, ia masuk ke markas utama mereka di Makau. Dikelilingi sepasukan penembak dan pintu baja serta dinding kaca anti peluru, ia berhasil membunuh kepala Keluarga Lin hanya dengan sekeping kartu nama.
Tanpa Bujang duga, sebuah pengkhianatan telah disusun oleh seseorang. Hari kepulangannya ke Ibu Kota disambut dengan serangan sepasukan pengkhianat yang dibantu oleh sepasukan tukang pukul keluarga Lin. Hanya sedikit tukang pukul setia yang tersisa, posisi Bujang terpojok bersama Tauke Besar--yang hanya bisa memegang pistol di atas ranjang, dan Parwez--si kepala bisnis Keluarga Tong, yang membunuh nyamuk pun tak tega. Ia membutuhkan segala keajaiban yang mungkin. Termasuk kesetiaan-kesetiaan terbaik yang masih tersisa.
Tanpa Bujang duga, sebuah pengkhianatan telah disusun oleh seseorang. Hari kepulangannya ke Ibu Kota disambut dengan serangan sepasukan pengkhianat yang dibantu oleh sepasukan tukang pukul keluarga Lin. Hanya sedikit tukang pukul setia yang tersisa, posisi Bujang terpojok bersama Tauke Besar--yang hanya bisa memegang pistol di atas ranjang, dan Parwez--si kepala bisnis Keluarga Tong, yang membunuh nyamuk pun tak tega. Ia membutuhkan segala keajaiban yang mungkin. Termasuk kesetiaan-kesetiaan terbaik yang masih tersisa.
***
Sungguh tak saya duga, novel Tere Liye dengan judul dan kover melankolis ini ternyata menyimpan kisah penuh aksi a la keluarga mafia. Dulu, saya sempat menggandrungi film-film mafia, jadi membaca ini serasa pulang kembali ke kenangan itu. Tema yang diangkat oleh Tere Liye sebenarnya mirip dengan Bidadari-bidadari Surga dan Rindu, yaitu di bagian tentang cinta sejati dan kesetiaan (mungkin juga mirip dengan karyanya yang lain, tapi saya baru membaca 3 novel Tere Liye). Selesai menutup halaman terakhir buku ini, saya langsung menobatkannya menjadi salah satu buku favorit.
Saya mengagumi kemampuan Tere Liye dalam menulis novel-novel lintas-genre, bahkan memadu-padankan satu sama lain. Di dalam novel ini, pembaca mungkin akan mendapati perpaduan antara Negeri Para Bedebah dan Bidadari-bidadari Surga, misalnya. Itulah yang menyebabkan novel ini seolah sepasang sandal jepit nyaman yang saling pas satu sama lain. Sebelah kanan adalah sisi gelap perpolitikan dan shadow economy, yang diceritakan dari sudut pandang keluarga mafia, sehingga diwarnai penyerbuan demi penyerbuan penuh kekerasan sebagai bagian dari strategi perebutan kekuasaan. Sementara itu, sebelah kiri adalah sisi melankolis seorang Bujang akibat memorabilia dari masa lalu, yang berdampak pada kepribadian dan keputusan-keputusan yang ia ambil di masa kini.
Saya mengagumi kemampuan Tere Liye dalam menulis novel-novel lintas-genre, bahkan memadu-padankan satu sama lain. Di dalam novel ini, pembaca mungkin akan mendapati perpaduan antara Negeri Para Bedebah dan Bidadari-bidadari Surga, misalnya. Itulah yang menyebabkan novel ini seolah sepasang sandal jepit nyaman yang saling pas satu sama lain. Sebelah kanan adalah sisi gelap perpolitikan dan shadow economy, yang diceritakan dari sudut pandang keluarga mafia, sehingga diwarnai penyerbuan demi penyerbuan penuh kekerasan sebagai bagian dari strategi perebutan kekuasaan. Sementara itu, sebelah kiri adalah sisi melankolis seorang Bujang akibat memorabilia dari masa lalu, yang berdampak pada kepribadian dan keputusan-keputusan yang ia ambil di masa kini.
Selalu merupakan kenikmatan tersendiri ketika membedah sebuah buku bagus. Ada enam elemen yang saya soroti satu per satu.
1. Setting
Tadi saya menyinggung bahwa novel ini seolah sepasang sandal jepit yang saling pas satu sama lain. Ini ternyata berlaku juga dalam pembahasan setting tempat dan waktu yang digunakan oleh Tere Liye.
Pertama, setting tempat. Ia mengeksplorasi lokalitas sekaligus mengglobal. Kisah si Bujang berakar dari daerah pedalaman di lereng Bukit Barisan, yang kemudian tumbuh membesar ke Kota Provinsi, lantas merambah Ibu Kota, kemudian ke berbagai belahan dunia. Pemahaman ini juga berlaku untuk perkembangan bisnis Keluarga Tong, dari Kota Provinsi hingga skala internasional. Sepanjang membaca novel ini, saya tidak pernah merasa bosan. Mengapa? Jelas, dari segi setting tempat saja, saya diajak melompat-lompat oleh Tere Liye, layaknya seorang Jumper.
Tema lokalitas memang sedang sering diangkat oleh ranah sastra Indonesia. Dalam novel ini, saya mendapatkannya, meski hanya secuil di bagian awal dan di sela-sela ingatan Bujang. Tere Liye pun tidak menyebutkan nama desa tempat Bujang berasal, hanya dituliskan sebagai sebuah "talang di lereng Bukit Barisan" (hlm. 26), yang hanya terdiri dari "dua atau tiga puluh rumah panggung dari kayu, letaknya berjauhan dipisahkan kebun atau halaman" (hlm. 4). Deskripsi tentang talang tersebut tidak banyak, tapi itu tidak masalah. Sebagai gantinya, penulis menyuguhkan petualangan seru memburu babi hutan di dalam rimba Sumatera. Sayangnya, tak seperti adegan si tokoh utama berhadapan dengan raja hutan di Bidadari-bidadari Surga, yang diceritakan hingga akhir adegan, serasa ada plot hole di adegan ketika Bujang berduel dengan si raja babi hutan. Bagaimana kejadiannya, hingga Bujang membawa pulang luka-luka dan dikatakan berhasil mengalahkan si babi hutan? Saya tidak pernah tahu, karena penulis melewati adegan itu.
Kedua, setting waktu. Penulis menjalin cerita dari masa lalu dan masa kini. Masa lalu membantu pembaca memahami karakter Bujang, dengan segenap latar belakangnya. Masa kini menyuguhkan pada pembaca sepaket kejutan.
Kedua, setting waktu. Penulis menjalin cerita dari masa lalu dan masa kini. Masa lalu membantu pembaca memahami karakter Bujang, dengan segenap latar belakangnya. Masa kini menyuguhkan pada pembaca sepaket kejutan.
2. Plot
Memanfaatkan jalinan alur yang bolak-balik antara masa kini dan masa lalu, Tere Liye mendapat dua keuntungan:
1) Pembaca akan penasaran dan terhindarkan dari rasa bosan.
2) Karakter Bujang di masa kini akan terbentuk sempurna di benak pembaca, berkat masa lalunya yang disingkapkan elemen demi elemen secara rapi. Ibaratnya seperti merajut. Sekali sebaris rajutan pertama kaurangkai, maka sedikit banyak itu menentukan bentuk yang akan tercipta selanjutnya. Jika ujungnya kautarik lepas, maka seluruh jalinan akan terurai.
Saya tahu bahwa penulis benar-benar merancang adegan demi adegan transisi dari masa kini ke masa lalu sedemikian rupa, tak ada yang ngawur saja diletakkan olehnya. Misalnya, Bab 9 (masa kini) diakhiri dengan terbunuhnya kepala Keluarga Lin oleh sekeping kartu nama Bujang. Bab 10 menyusul kemudian, dengan ingatan Bujang akan sejarah kartu nama mematikan itu, yang menyangkut Guru Bushi, serta serangan ke markas Keluarga Tong sehari sebelum kepindahan mereka ke Ibu Kota.
Tere Liye sangat piawai memainkan dawai plot. Suatu kali dawai itu genjrang-genjreng dengan tempo cepat, saat adegan laga. Adrenalin meningkat, apalagi tiap sampai di adegan ketika Bujang tampak mulai "tersudut", sebelum kembali menemukan jalan keluar. Wah, saya tidak bisa melepaskan buku ini barang sedetik pun! Hmm, meski sebenarnya kisah kepahlawanan si Bujang ini terbilang klise, sih, karena apa pun yang terjadi, saya yakin kalau dia pada akhirnya akan menang :'). Kali yang lain, dawai itu melengking menyayat hati, membuat saya sibuk menyeka air di sudut-sudut mata. Seperti ketika Tuanku Imam menyadarkan Bujang bahwa melawan dan membenci masa lalu yang menyakitkan itu tidak akan menyelesaikan masalah. Satu kali, penulis membuat saya riang, lalu deg-degan, lalu berkontemplasi.
Tere Liye sangat piawai memainkan dawai plot. Suatu kali dawai itu genjrang-genjreng dengan tempo cepat, saat adegan laga. Adrenalin meningkat, apalagi tiap sampai di adegan ketika Bujang tampak mulai "tersudut", sebelum kembali menemukan jalan keluar. Wah, saya tidak bisa melepaskan buku ini barang sedetik pun! Hmm, meski sebenarnya kisah kepahlawanan si Bujang ini terbilang klise, sih, karena apa pun yang terjadi, saya yakin kalau dia pada akhirnya akan menang :'). Kali yang lain, dawai itu melengking menyayat hati, membuat saya sibuk menyeka air di sudut-sudut mata. Seperti ketika Tuanku Imam menyadarkan Bujang bahwa melawan dan membenci masa lalu yang menyakitkan itu tidak akan menyelesaikan masalah. Satu kali, penulis membuat saya riang, lalu deg-degan, lalu berkontemplasi.
"Peluklah semuanya, Agam. Peluk erat-erat. Dekap seluruh kebencian itu. Hanya itu cara agar hatimu damai, Nak. Semua pertanyaan, semua keraguan, semua kecemasan, semua kenangan masa lalu, peluklah mereka erat-erat. Tidak perlu disesali, tidak perlu membenci, buat apa? Bukankah kita selalu bisa melihat hari yang indah meski di hari terburuk sekalipun?" (Tuanku Imam, hlm. 339)
Beberapa hal mungkin bisa ditebak pembaca, termasuk adanya repetisi gaya adegan. Yang paling saya soroti adalah adegan ketika Bujang "terpaksa" menghadapi si raja babi hutan sendirian. Gaya ini kemudian terulang di bagian terjadinya penyerangan ke markas Keluarga Tong sehari sebelum kepindahan mereka ke Ibu Kota. Saat itu, Bujang juga "terpaksa" menghadapi para penyerang sendirian.
Meski begitu, penulis menyelipkan kejutan-kejutan kecil. Seperti satu fragmen kenangan tentang Bapak dan Mamak yang sebelumnya belum pernah didengar Bujang. Seperti siapa sebenarnya Tuanku Imam; tindakan apa yang sebenarnya ia lakukan di masa lalu. Seperti bahwa ternyata Bujang bukanlah "Bujang" atau "si Babi Hutan". Pun langkah demi langkah plotnya membawa pembaca memahami, esensi apa yang sebenarnya ingin disampaikan penulis.
3. Karakter
Tere Liye selalu menghadirkan tokoh-tokoh yang menancap kuat di benak pembaca, karena sebegitu spesial karakternya. Bujang, jelas adalah tokoh utama dalam novel ini. Namun, begitu banyak tokoh pembantu yang tak bisa diabaikan perannya. Tauke Besar, Kopong, Basyir, Frans, Guru Bushi, Salonga, Bapak, Mamak, Tuanku Imam, si Kembar Yuki dan Kiko, White, Mansur, Parwez.. Banyak sekali! Untuk kapasitas penceritaan novel setebal, dan tema sekompleks ini, memang tak mengherankan jika tokohnya banyak. Nah, ajaibnya, di tangan Tere Liye, masing-masing tokoh pembantu itu seperti hidup sendiri, bukan sekadar nama-nama tak bernyawa di sekitar Bujang. Setiap karakternya terbentuk oleh rangkaian narasi, dialog, adegan, yang terjadi di masa lalu dan masa kini, baik dituliskan dengan teknik "tell", maupun "show".
"Di keluarga ini, masa lalu, hari ini, dan masa depan sepertinya berkelindan erat bagi setiap penghuninya." (hlm. 103)
Kutipan tersebut tepat sekali, berlaku untuk tiap tokoh, apalagi bagi para anggota Keluarga Tong. Di dunia mafia, selalu berlaku "mata ganti mata, gigi ganti gigi". Misal, jasa baik yang dilakukan Samad, bapak Bujang, di masa lalu terhadap Kopong, berdampak di masa kini, Kopong membalasnya dengan mengayomi Bujang. Lantas, karena di masa lalu Bujang pernah menyelamatkan White di Timur Tengah, di masa kini, White selalu siap sedia tiap Bujang meminta bantuannya.
Sebagai tokoh utama, karakter Bujang sangat menarik untuk dikulik dari tiap lapisannya maupun sisi kontradiktifnya. Lapisan terluarnya memperlihatkan sosok Jagal No. 1, yang tidak punya rasa takut. Ia tukang pukul sekaligus lulusan dua master. Fisik yang sempurna dengan segenap keahlian perang jarak pendek dan dekat, ditambah kecerdasan otak yang luar biasa. Mungkin pembaca akan menganggap penulis terkena sindrom perfeksionis ketika menciptakan tokoh ini, tapi tidak. Bujang tidak sempurna. Ia selalu kalah dari Basyir dalam pertarungan amok. Lapisan dalamnya juga menunjukkan pada pembaca, betapa Bujang ternyata punya rasa takut juga. Dan keragu-raguan. Hal itu tampak setelah tiga benteng pertahanannya atas rasa takut tumbang satu per satu. Juga, rasa masygulnya karena segala kenangan pahitnya terjadi saat adzan subuh. Bisa dibilang, ia fobia akan suara adzan.
Sisi kontradiktif Bujang muncul melalui perannya dalam Keluarga Tong. Pembaca mungkin akan melihat Bujang, dan anggota keluarga yang lain, sebagai orang yang kejam dan tak berperasaan. Membunuh orang-orang yang menghalangi kepentingan Keluarga Tong. Mereka tak pandang bulu, anak kecil, orang tua, semua dihabisi. Namun, jika dilihat dari dalam keluarga itu sendiri, semua tindak kekerasan itu dilakukan sebagai bentuk kesetiaan dan keteguhan prinsip.
Bagi pembaca yang memiliki tendensi lebih menyukai tokoh pembantu ketimbang tokoh utama, mungkin akan menyukai tokoh Kopong dan Salonga. Meski awalnya Kopong membantu Bujang karena balas budi, tapi lama-lama pembaca pasti bisa merasakan kasih sayangnya pada Bujang. Adegan-adegan berkesan adalah ketika Kopong tak henti menghibur Bujang meski selalu ditanggapi dengan dingin, ketika bocah itu sedang bersedih. Meski berwajah sangar, Kopong berhati lembut juga. Kalau Salonga, pembaca mungkin akan suka caranya melatih menembak dengan cara yang nyeleneh. Juga gayanya memaki-maki para muridnya. Ia membangun mental dan cara berpikir cerdas pada para muridnya, bukan sekadar menembak.
"Penembak yang baik selalu tahu persis kekuatan pistolnya, Bujang. Kau yang harus memahami pistolmu, Bodoh, bukan benda mati yang memahamimu." (Salonga, hlm. 178)
Atau pembaca mungkin sekali akan menyukai tokoh Tuanku Imam, yang menyadarkan Bujang di saat terakhir. Tokoh Tuanku Imam ini seolah merupakan repetisi dari tokoh semacam Gurutta di novel Rindu. Beberapa pembaca yang sudah membaca banyak buku Tere Liye mungkin akan lebih tahu, dan mungkin juga akan sedikit bosan.
4. Sudut Pandang
Penulis menggunakan sudut pandang orang pertama Bujang. Keunggulan bagi penulis, pembaca bisa menguak setiap jengkal pribadi Bujang. Selain itu, berkat sudut pandang si "aku" yang tidak terlalu egosentris, pembaca juga mengenal tokoh-tokoh lain dengan cukup jelas dan nyata. Namun, dengan sudut pandang ini, penulis tidak bisa leluasa menceritakan beberapa adegan sekaligus dalam satu waktu. Padahal, beberapa adegan sarat laga dan padat tempo dalam novel ini membutuhkan sudut pandang orang ketiga. Tapi, kurang logis, jika si "aku" bisa melihat adegan yang seharusnya tak terlihat, layaknya sudut pandang orang ketiga. Beberapa kali si "aku" Bujang keluar dari batas kemampuan narasi orang pertamanya. Contohnya ada di adegan halaman 349 dan 373. Ia sedang berada di satu tempat, tapi ajaibnya bisa menceritakan adegan di tempat lain yang terjadi pada waktu yang sama. Mungkin penulis sengaja melakukan itu, menerobos batasan-batasan sudut pandang, demi mendapatkan celah untuk menceritakan adegan penting. Atau, mungkin juga ini merupakan ketidaksengajaan penulis.
5. Gaya Bahasa
Seperti biasa, Tere Liye menggunakan gaya bahasa dan pemilihan diksi yang luwes, tidak terlalu ringan, tak juga berat. Namun, beberapa istilah tidak dilengkapi dengan footnote yang menjelaskan artinya, sehingga pembaca mungkin akan bingung, atau melewatkannya begitu saja. Mungkin penulis tak ingin mengganggu perjalanan mencapai esensi cerita dengan footnotes bertebaran. Untungnya, hal tersebut tidak mengurangi keasyikan membaca.
6. Amanat
Tere Liye, saya kenal sebagai penulis yang selalu berusaha menulis karya inspiratif. Banyak inspirasi dan amanat bisa diambil dari perjalanan panjang dua puluh tahun kehidupan Bujang, yang disampaikan tanpa menggurui. Sesekali akan tampak menggurui ketika Bujang dinasihati oleh orang-orang tua di sekitarnya. Namun, itu tak menjadi masalah, karena penulis ingin menempatkan tokoh orang tua sebagaimana orang tua normalnya, yang sering menasihati. Pun dengan nasihat-nasihat itu, pembaca diyakinkan akan betapa pedulinya para tokoh pembantu pada si Bujang.
Garis besar amanat dalam novel ini adalah mengingatkan kita untuk "pulang". Pulang atau kembali pada kekuasaan Yang Maha Tinggi; pulang kepada kemurnian hati dan jiwa. Agaknya nasihat dari Guru Bushi dan Tuanku Imam saling bertautan.
"Kau harus mengalahkan banyak hal. Bukan musuh-musuhmu, tapi diri sendiri, menaklukkan monster yang ada di dirimu. Sejatinya, dalam hidup ini, kita tidak pernah berusaha mengalahkan orang lain, dan itu sama sekali tidak perlu. Kita cukup mengalahkan diri sendiri." (Guru Bushi, hlm. 219)
"Hidup ini tidak pernah tentang mengalahkan siapa pun. Hidup ini hanya tentang kedamaian di hatimu. Saat kau mampu berdamai, maka saat itulah kau telah memenangkan seluruh pertempuran.... Pulanglah kepada Tuhanmu." (Tuanku Imam, hlm. 340)
Untuk bisa "pulang", kesetiaan dan cinta sejati jelas diperlukan. Kesetiaan pada prinsip, seperti yang dipegang teguh oleh Bujang, dengan tidak pernah memakan makanan haram dan minum minuman keras, untuk menepati janji pada Mamaknya.
"Kesetiaan terbaik adalah pada prinsip-prinsip hidup, bukan pada yang lain. Di masa-masa sulit, hanya prinsip seperti itulah yang akan memanggil kesetiaan-kesetiaan terbaik lainnya." (hlm. 187-88)
Kesetiaan jenis inilah, yang mencegah orang untuk berkhianat, karena seperti kata Kopong, "Semua orang bisa berkhianat. Jika dia memiliki motif dan kesempatan, dia akan melakukannya." (hlm. 264). Tak peduli bagaimana pun fisik dan tampak luarnya, si pengkhianat bisa jadi siapa saja. Kesetiaan itu tak akan muncul tanpa cinta sejati. Cinta sejati antara Bapak dan Mamak Bujang, yang menjalin kesetiaan antara mereka berdua, sehingga rela terusir dari keluarga dan tanah kelahiran. Cinta sejati Bujang pada kedua orang tuanya, dan sebaliknya, yang akhirnya membawa Bujang pulang.
Sebuah Penutup
Membaca novel ini, kembali menyadarkan saya akan adanya kekuasaan dalam bayang-bayang, yang mengendalikan banyak hal, dari masalah politik sampai ekonomi. Saya memercayainya dalam dunia nyata pula. Terlebih, Tere Liye menyelipkan adegan di balik peristiwa-peristiwa bersejarah, yang membuat saya bertanya-tanya, apakah benar begitu, atau itu hasil kontemplasi dan analisis pribadi penulis? Seperti fakta tersembunyi di balik kisah kebakaran pasar di Jakarta, kisah tergulingnya presiden Filipina (mungkin ini terilhami oleh peristiwa tergulingnya Presiden Joseph Estrada akibat kudeta masyarakat dibantu militer pada tahun 2001, meski saya agak bingung dengan timeline cerita), dan kisah calon presiden Nomor Dua. Saya juga mafhum bahwa banyak hal bisa dikendalikan dengan kekuasaan dan uang, tapi lebih banyak lagi hal yang hanya bisa digerakkan oleh kekuatan ilahi. Membaca kisah Bujang, mengajak kita merefleksi diri sendiri. Sudahkah kita berdamai dengan masa lalu dan pulang? Lima bintang tak berlebihan untuk novel ini.
"Hanya seorang samurai sejati yang tiba pada titik itu. Di titik ketika kau seolah bisa keluar dari tubuh sendiri, berdiri, menatap refleksi dirimu seperti sedang menatap cermin. Kau seperti bisa menyentuhnya, tersenyum takzim, menyaksikan betapa jernihnya kehidupan. Saat itu terjadi, kau telah pulang, Bujang. Pulang pada hakikat kehidupan. Pulang memeluk erat semua kesedihan dan kegembiraan." (Guru Bushi, hlm. 219)
novel ini juga favorit gue. keren banget pas bacanya.
ReplyDeleteehehe keren di bagian action-nya ya?
DeleteEntah, hanya membaca resensi Frida ini, saya sudah tersentuh, mupeng baca dan makin penasaran dengan novelnya. Pendedahan karya yang baik dan detail Frid. Brb... ke gramedia ah :)
ReplyDeleteAh, Bang Say, terima kasih ^^ Sana buruan, sebelum abis lagi novelnya, btw ini novel laris amat :D
DeleteEntah, hanya membaca resensi Frida ini, saya sudah tersentuh, mupeng baca dan makin penasaran dengan novelnya. Pendedahan karya yang baik dan detail Frid. Brb... ke gramedia ah :)
ReplyDeletebeberapa hari lalu, temen saya nitip novel Pulang, dan memang di toko buku sudah jarang ada. apalagi toko buku yang sering ngasih diskonan. tere liye, sebagai pengarang, saya sempat sangat akrab dengan karya-karyanya. semasa kuliah dulu, dosen sering memberi tugas untuk dianalisis. beberapa novelnya selau menyajikan tokoh yang mati, kesedihan, ya... semacam itu. sejak lulus kuliah, saya sudah tidak baca karya tere liye lagi, barangkali sudah eneg atau menemukan penulis yang lebih cocok dengan kepribadian saya. namun setelah baca review ini, sepertinya saya berniat kembali membaca buku tere liye. frida mengupas novel ini dengan cara menunjukkan, tidak berlebihan. porsinya pas.
ReplyDeleteWah, sama Mbak Tiwi, novel Pulang yg kubeli ini adalah satu2nya yg tersisa di toko buku waktu itu :')
Delete