5 October 2015

[Resensi CINTA DI BATAS BIARRITZ] Relation à Distance

Judul: Cinta di Batas Biarritz
Penulis: D.S.M. Dedelidae
Editor: Diaz
Penerbit: de TEENS
Cetakan: I, Juli 2015
Tebal: 272 halaman
ISBN: 978-602-255-802-6
Harga: Rp 38.000,00
Rating saya: 2/5

Tale of  An Over-dramatized LDR


Perbedaan ekstrem tak menghalangi cinta antara Mori dan Arlan. Mori sangat takut ombak, ia langsung menutup mata dan menjerit jika ombak mendatanginya (padahal hanya menyentuh kakinya), sebelum lesap kembali ke pelukan laut. Sementara itu, Arlan adalah seorang peselancar yang mencintai laut, terlebih ombak.

"Mori, aku paling suka kalau sudah berhadapan dengan ombak seperti ini. Kau juga tahu kenapa, jiwaku seperti sudah menyatu dengan lautan luas. Dan, ombak, dia seperti sahabatku." - Arlan (hal. 66)

Kecintaan terhadap selancarlah yang membuat Arlan memutuskan untuk pindah ke Biarritz, sebuah kota pantai di Perancis. Di sana, Arlan tinggal bersama orang tuanya, Dion--sepupunya, dan mama Dion. Semenjak itu, ia dan Mori menjalani LDR. Tak mudah, terutama bagi Mori, lantaran Arlan adalah lelaki yang terlalu cuek. Dekat saja cuek, apalagi jauh?

Suatu kali, langit Biarritz tak secerah biasanya. Ombak pun menjadi buas, sehingga Dion memperingatkan Arlan.

"Sepertinya kau harus mengurungkan niatmu. Lihatlah, ombaknya besar, dan cuacanya lagi buruk. Mungkin, akan ada badai." - Dion (hal. 94)

Namun, seperti biasa, kekeraskepalaan--atau keberanian?--Arlan mementahkan semua peringatan Dion. Dia tetap menantang ombak, tak peduli seganas apa pun mereka mengempas tubuhnya.

Sementara itu di Bandung, Asih, sepupu Alisha--sahabat Mori, mendapat mimpi yang sama selama berhari-hari. Dalam mimpinya seorang lelaki sedang berselancar dan kemudian tenggelam ditelan ombak. Benar saja, mimpi Asih--yang memang memiliki kemampuan menerawang--menjadi kenyataan. Ditemani Alisha, Mori terbang ke Biarritz untuk mencari Arlan.

"Arlan, kamu tidak mendengarkan kata-kataku! Benar saja, ombak itu jahat!" - Mori (hal. 141)

***

Biarritz, Kau tak Lebih dari pada Sekadar Sampul Buku Tulis!

Sumber di sini.

Cinta di Batas Biarritz adalah novel kedua D.S.M. Dedelidae yang saya baca, setelah The Violinist. Dari kedua novel ini, saya menemukan bahwa penulis menggunakan setting luar negeri benar-benar sekadar sebagai setting. Ingat buku tulis bergaris yang sering kita pakai waktu sekolah dulu (sebelum tergeser oleh binder dan laptop)? Nah, semenarik apa pun gambar di sampul buku itu, ia tidak mencerminkan isinya. Dalam satu pak buku tulis, gambar cover-nya bisa saja berbeda-beda, tapi isinya sama saja: kertas putih bergaris. Jika sampulnya saya robek, lalu saya ganti dengan sampul lain, maka tak berpengaruh. Isinya tetap kertas putih bergaris. (Pengecualian: buku itu sudah terpakai dan ada identitas saya tertulis di sampulnya.)

Nah, seperti sampul buku tulis itulah kedudukan kota Biarritz dalam novel ini. Coba ganti kota Biarritz dengan kota mana saja dari daftar World's 20 Best Surf Towns versi National Geographic atau dari daftar Surfing: 10 Best Places in The World versi The Telegraph, maka cerita akan tetap berjalan lancar. Bagaimana dengan budaya masyarakat setempat, tak bermasalahkah jika diganti setting-nya? Mungkin kau bertanya begitu. Saya akan menggeleng. Tidak akan bermasalah. Penulis bahkan tidak menyelipkan sama sekali bahasa Perancis dalam percakapan sepanjang novel. Elemen budaya lain pun absen. Yah, meskipun tinggal di Biarritz, Arlan tinggal di rumah yang seluruh penghuninya adalah orang Indonesia.

Ada beberapa tokoh pribumi sebenarnya. Tokoh Davin--seorang bocah setempat yang dekat dengan Arlan dan Dion, tokoh sepasang suami-istri yang menyelamatkan Arlan, dan tokoh penjaga pantai, yang notabene menempati posisi cukup penting dalam cerita, pun tak nampak ke-Perancis-annya. Sangat disayangkan, padahal banyak hal menarik yang bisa disajikan pada pembaca dengan menunjukkan budaya setempat. Misalnya hanya dengan mengganti umpatan dengan  berbahasa Indonesia dengan umpatan khas Perancis. Dua kali saya menemui umpatan dengan kata "mata".

"Bodoh! Matamu di mana?!" (hal. 30)
"Kau punya mata, kan? Di mana kau menempatkan matamu?" (hal. 200)

Misalkan umpatan pertama diganti dengan, "Merde, connard!" (Shit, idiot!)


***

Penokohan yang (Terbilang) Sukses


Ada empat tokoh utama dalam novel ini, yaitu Mori, Alisha, Arlan, dan Dion. Penulis berhasil menggambarkan karakter Mori sebagai gadis yang manja, sombong, dan suka mengeluh. Sifat manjanya tertulis secara eksplisit, baik dalam narasi maupun dialog. Namun, sifat sombongnya tersembunyi di balik pandangan Mori terhadap rumah Asih, ketika pertama kali ia berkunjung ke sana. Ia mengamati sudut-sudut rumah Asih yang sederhana, lalu membatin, "Sederhana atau miskin sih ini?" (hal. 39).

Terakhir, sikapnya yang suka mengeluh digemakan pada otak saya berkali-kali di sepanjang novel. Awalnya, ia bertekad untuk mencari Arlan ke Biarritz.

"Kita ke sini bukan hanya untuk liburan, tapi mencari Arlan." (hal. 162)

Begitu katanya. Tapi kenyataannya, selama di Biarritz ia tak pernah melakukan aktivitas riil untuk mencari Arlan. Ia hanya nongkrong di pantai dan mengeluh ke semua orang.

"Mungkin, aku sudah lelah menunggu dan mencarimu. Kakiku rasanya ingin istirahat dari semua aktivitas yang melelahkan ini." (hal. 253)

Hello, yang lelah seharusnya Dion, bukan kamu, Mori! Dionlah yang ke sana-ke mari bolak-balik ke penjaga pantai untuk menanyakan kabar Arlan, apakah sudah ditemukan. Pun, Dion juga tidak secara harfiah mencari Arlan, sih. Sebenarnya yang benar-benar mencari Arlan adalah para penjaga pantai, tapi mereka tak mendapat apresiasi sepantasnya. Juga sepasang suami-istri yang menemukan Arlan. Lalu, di bagian akhir, Mori masih sempat-sempatnya membatin begini:

"Aku tidak akan berhenti mencarimu sebelum kau yang melumpuhkan kakiku sendiri." - Mori (hal. 271)
Berikutnya, tokoh Alisha, meski cantik dan kaya, tidak sesombong Mori. Kebalikannya, ia sangat menghargai sepupunya, Asih, meski gadis desa itu sangat lugu dan sederhana. Kesetiaan Alisha pada persahabatannya dengan Mori nampak jelas dari kerelaannya menemani Mori mencari Arlan. Pun dari kerelaannya untuk menyingkirkan perasaannya sendiri terhadap Dion demi memerhatikan Mori. Saya juga kagum akan kekonsistenan Alisha. Ia hanya mencintai Dion, dan tak berpaling pada cowok lain, sampai-sampai ia tetap menjomblo hingga saat itu. Bahkan setelah tahu siapa yang sebenarnya dicintai Dion.

Penulis sukses menggambarkan tokoh Arlan sebagai cowok yang sangat cuek, kaku dalam hal berpacaran, dan bertekad kuat alias teguh hati. Dialognya dengan Mori (dalam salah satu adegan  flashback) benar-benar bikin saya sebal, saking cuek dan tidak pekanya dia.

Sama seperti Alisha, Dion juga hobi fotografi. Penulis menampilkan sisi manusiawi secara nyata melalui sikap Dion ketika ia tak sanggup membendung perasaannya lagi, terhadap gadis yang diam-diam dicintainya. Namun, sebagai seorang cowok, sikapnya terlalu pasrah pada keadaan. Setelah Arlan menghilang, ia terlihat sangat pasrah dan tak melakukan apa pun kecuali hanya menanyakan status Arlan kepada penjaga pantai.


***

J'en Ai Marre!

La Grande Plage de Biarritz, sumber di sini.

"Ternyata, aku memang sudah lelah."
- Mori (hal. 187)

Ya, begitu pun dengan saya, Mori. Saya lelah mengikuti perjalanan cintamu dalam novel ini. Butuh perjuangan keras untuk bisa menamatkan membaca buku ini, karena:

  1. Terlalu banyak monolog dalam hati, bukan cuma dari Mori, tapi juga Alisha, Arlan, dan Dion. Terlalu banyak dan panjang-panjang. Dalam tiap monolog, hampir selalu nama Tuhan disebut. Mungkin penulis sengaja untuk menunjukkan bahwa para tokohnya sangat religius. Hmm, saya jadi teringat sinetron Indonesia. Kadang, monolog itu tidak sesuai dengan konteks adegan yang tertulis dalam narasi. Contohnya adalah sebuah paragraf yang terdiri dari 10 kalimat berikut, yang merupakan monolog dalam hati yang dilakukan Arlan ketika berselancar. 
    "(1)Tuhan, banyak orang memanggilku. (2)Menyuruhku ini-itu. (3)Memintaku melakukan yang tak mau kulakukan. (4)Aku lebih baik diam. (5)Setelahnya, mereka menilai apa yang mereka lihat saja. (6)Cuek, dingin, atau apalah yang membuat diri ini mengerti. (7)Aku memang seperti itu. (8)Ada hal yang tak bisa diungkapkan oleh kata. (9)Mungkin banyak. (10)Tuhan, aku berserah atas panggilan mulia-Mu." - Arlan (dalam hati, hal. 67)

    Saya tidak menangkap maksud kalimat (1); siapa yang memanggil? Memanggil kenapa? Oh, ternyata ada yang memang memanggilnya dari pantai: Dion. Tapi, kalimat (2) makin membingungkan. Menyuruhnya untuk ngapain? Kalau dilihat dari hubungannya dengan kalimat (1), maka kalimat ini nonsens. Pasalnya, Dion tidak menyuruh Arlan ngapa-ngapain; ia hanya memotonya. Dan well, Arlan memang tidak suka difoto ketika sedang berselancar. Kalimat (3)--(9) bisa saya mengerti, mungkin yang dimaksud Arlan adalah banyak orang menyuruhnya menghindari ombak atau agar ia lebih perhatian terhadap Mori. Namun akhir kalimat (6) kurang bisa saya mengerti. Cuek, dingin, okelah, tapi "membuat diri ini mengerti" bagaimana maksudnya? Lalu kalimat (10) membuat monolog ini makin runyam. "Panggilan mulia" apa yang dimaksud Arlan? Apakah ia menganggap berselancar adalah panggilan mulia dari Tuhan? Well, bisa saja, sih, tapi sebelum atau setelahnya tak pernah tertulis bahwa Arlan beranggapan seperti itu.
  2. Koherensi antarkalimat kurang padu, seperti yang bisa dilihat dari contoh paragraf di atas, dan seperti paragraf berikut ini.
    "(1)Hitam hampir menyelimuti dan menyisakan sebagian biru di langit luas. (2)Cahaya satelit bumi satu-satunya melingkup bumi seisinya. (3)Ya, semua orang tahu, salah satu benda antariksa itu tidak menghasilkan cahaya sendiri." (hal. 178)

    Kalimat (2) dan (3) kurang koheren. Kecuali jika kalimat (3) dihapus dan kalimat (2) diubah , misalnya seperti ini: "Meski bulan tidak dapat menghasilkan cahaya sendiri, satelit bumi satu-satunya itu mampu menyinari bumi dan seluruh isinya."
  3. Banyak dialog kurang penting, dengan frekuensi terbesar dialog dalam novel ini adalah Mori-Alisha. Dialog Alisha dan Mori berkisar antara hubungan Mori dan Arlan yang tidak terlalu sehat (LDR + kecuekan Arlan), tentang Asih, dan tentang cinta terpendam Alisha. Kemudian, dialog antara Dion dan Arlan berkisar antara kekhawatiran Dion akan aktivitas selancar Arlan yang berbahaya dan tentang sikap cuek Arlan terhadap Mori. Mengapa saya bilang banyak yang tidak penting? Kebanyakan inti dialog itu sudah jelas bagi saya, baik itu sudah dijelaskan dalam narasi, maupun sudah diungkit dalam dialog sebelumnya. Terlebih bagian ketika Mori dan Alisha berada di Biarritz. Terlalu banyak dialog berisi keluhan Mori, kapan Arlan akan ditemukan.
  4. Alurnya kurang bisa menjerat rasa penasaran saya. Genre pure romance remaja memang bukan favorit saya, tapi bukan berarti saya tidak suka membaca fiksi berbau romance. Sepesimis apa pun saya akan sebuah buku yang sudah saya mulai, saya akan menyelesaikannya! Saya berani mengklaim bahwa saya adalah extrovert reader, yaitu pembaca yang bacaannya lintas-genre. Nah, padukan genre ini dengan alur yang seperti garis y=c atau garis y=mx, dengan batasan berupa halaman pertama dan halaman terakhir buku. VoilaAktivitas para tokoh dalam novel ini berupa rutinitas yang berkisar antara selancar di La Grande Plage de Biarritz (Arlan, ditemani Dion, yang seperti tak punya kerjaan lain selain memoto); sekilas kehidupan kampus dan fotografi, sekilas liburan di Pantai Pangandaran, penantian di Biarritz (Mori dan Alisha); sekilas pengalaman supernatural Asih.
  5. Gaya bahasa kurang komunikatif, efektif, dan logis, terpengaruh juga oleh kurangnya koherensi (seperti yang sudah saya ungkit di poin kedua). Hal ini juga menyebabkan penuturan seperti tersendat-sendat, sehingga kurang bisa saya nikmati. Saya akan memberi sedikit contoh kalimat kurang efektif dan kurang logis.
"Air mata Mori menetes. Dipandangi oleh Mori pigura tersebut secara dalam." (hal. 230)
Bagaimana jika: Air mata Mori menetes. Dipandanginya pigura tersebut dalam-dalam. 
"Ketika menuju kios pakaian, ujung mata Mori menangkap sesuatu. Aneh. Sedikit mistis. Ia terdiam. Lalu, ia berhenti. Kemudian, memalingkan muka ke benda itu. Benda unik dan hitam tersebut sejenak mengalihkan pandangannya." (hal. 44-5)
Sebenarnya apa yang mistis? Benda apa yang unik dan hitam? Sebelum dan setelah narasi itu, saya tidak mendapati keterangan apa pun yang berkaitan dengannya. Contoh berikutnya adalah ketika penulis mendeskripsikan kecintaan Dion akan fotografi.
"Kamera yang sudah menjadi tren di kalangan masyarakat menjadi kamera kesayangannya." (hal. 172)
Keterangan "yang sudah menjadi tren di kalangan masyarakat" dalam kalimat tersebut kurang bisa menggambarkan kamera apa yang sebenarnya dimaksud. Selanjutnya, saya menemukan satu kalimat (yang rangkaian kata-katanya paling stand-out di antara yang lain) yang seperti di-copy lalu di-paste dan sedikit diubah oleh penulis dari hal. 53 ke hal. 65.
"Hiruk pikuk perkotaan seperti sengaja digandakan ke pantai ini." (hal, 53)
"Keramaian kota Biarritz memang seperti digandakan ke pantai ini." (hal. 65)

***

Ada Apa antara Penulis dengan Pemilihan Adjektiva, Ukuran, dan Kata Ganti Kepemilikan?


Salah satu cara untuk membuai pembaca dengan pengalaman yang terasa nyata adalah menggunakan paragraf deskriptif. Pemilihan adjektiva yang tepat bisa menjadi salah satu kunci tersampaikannya penggambaran penulis kepada pembaca. Namun, dalam novel ini, saya menjumpai cukup banyak adjektiva yang menurut saya kurang pas. Contohnya adalah sebagai berikut.
"Bulir-bulir air mata kian menggenangi pipi putih Mori." (hal. 11)
Adjektiva "putih" langsung membuat saya membayangkan sesosok wajah yang pucat. Mori adalah orang Indonesia, yang termasuk dalam ras Malayan Mongoloid, sehingga kulitnya lebih tepat jika disebut kuning langsat. Namun, "pipi kuning langsat Mori" juga terdengar ganjil di telinga. Mungkin lebih pas disebut "pipi cerah merona Mori".

"Bukan bermaksud memamerkan badannya yang seksi..." (hal. 55)
"Seksi" di telinga saya terdengar dangkal, dalam artian ia too much telling, not showing. Definisi "badan yang seksi" itu seperti apa, sih? Tiap orang pasti punya pendapat berbeda-beda.

"Tubuh putih berlapiskan blazer merah..." (hal. 82)
Nah, "putih" lagi! Penyebutan "tubuh putih", kok membuat saya membayangkan mayat yang telah kaku, kulitnya putih pucat.

"...mulutnya yang tipis dan cokelat..." (hal. 30)
Saya tidak tahu bagaimana bentuk mulut yang tipis dan cokelat, pun tak bisa membayangkannya! Mungkin maksud penulis adalah "bibir yang tipis dan kecokelatan".

Kemudian, poin kedua yang perlu saya soroti adalah penulisan ukuran benda. Kalimat berikut mengesankan bahwa ukuran tembok setinggi 40 sentimeter itu sangat tinggi, karena adanya keterangan "hampir".

"Mori pun duduk di tembok yang tingginya hampir empat puluh sentimeter." (hal. 24)
Selain itu, ukuran benda 3-dimensi yang digambarkan seolah 2-dimensi, salah satu contohnya adalah kalimat berikut. Hal ini menyebabkan saya tidak bisa membayangkan, seperti apa dus 2-dimensi?

"...dus berukuran 50x30 sentimeter..." (hal. 30)

Poin ketiga adalah penulis selalu menggunakan ganti kepemilikan yang kurang baku, seperti: "desainnya Mori", "mamanya Dion", dan banyak lagi. 

***

Au Revoir, Biarritz!

Di samping beberapa fragmen ceritanya yang terlalu kebetulan, seperti Davin yang secara kebetulan bisa menemukan Mori di tengah keramaian La Grande Plage de Biarritz, atau seperti sepasang suami-istri yang kebetulan berlayar dekat pulau tempat Arlan terdampar, novel ini menyajikan kisah LDR yang penuh drama antara sepasang remaja-menjelang-dewasa. Tempo alurnya pun terasa lambat akibat terlalu banyak pengulangan inti cerita. Kalau kau ingin kisah romance yang bikin baper, atau yang bikin termehek-mehek, atau yang membawa pencerahan, lebih baik jangan membaca buku ini. 

1 comment:

  1. Ya ampun kak,masih ada beredar ga y buku ini ?
    Penasaran pengen baca :)

    ReplyDelete

Your comment is so valuable for this blog ^^

bloggerwidgets