23 May 2014

[Resensi "Burung Terbang di Kelam Malam"] Entah Mengapa, Saya Mengampuni Kelakuan Bejatmu






Judul Buku                       : Burung Terbang di Kelam Malam
Penulis                              : Arafat Nur
Tebal                                 : xvi + 376 halaman
Penerbit/cetakan               : Bentang Pustaka/Cetakan pertama, Februari 2014
ISBN                                 : 978-602-7888-93-7


“Hmmm.”
“Kamu ini suka sekali ‘hmmm’, kenapa?”
“Mungkin tenggorokanku sering gatal atau mungkin sudah menjadi semacam kebiasaan,” aku  menjawab.
“Tapi, aku suka,” ucapnya tersenyum. “Maksudku, bukan aku senang dengan tenggorokanmu yang jadi gatal itu, melainkan aku menyukai dehammu,” ralatnya.
“Hmmm.”
(halaman 93)

Hmmm (eh?!), sekitar dua bulan lalu, seorang tukang pos tiba-tiba berdiri di depan pintu kamar kos saya—saya heran sekali bagaimana ia bisa tahu kalau itu kamar saya—dan menyerahkan sebuah paket buku dari Bentang Pustaka. Inilah hadiah buku yang telah saya nanti-nantikan setelah cermin karya saya menang sebagai Cermin of The Month Januari 2014. Sepeninggal tukang pos, dengan tak sabar, saya robek kertas pembungkus dan saya temukan dua buah buku di dalamnya—salah satunya adalah novel karya Arafat Nur ini. Dua bulan bersemayam di barisan paling atas rak buku, akhirnya saya membacanya dan selesai dalam waktu kurang dari seminggu.

Pertama kali menyingkap cover warna biru-tuanya, saya menjumpai begitu banyak testimoni dari para sastrawan, penulis, dan pengajar yang bukan sembarangan, menjuntai dari awal halaman pertama hingga halaman ketujuh. Semuanya memberi tanggapan positif (ya iyalah!), dan membuat saya makin terdorong untuk membuktikan kebenarannya.
***

Novel yang menyuguhkan cerita dari sudut pandang orang pertama—aku, yang adalah Fais, seorang wartawan yang tinggal di kota Lamlhok—ini bercerita tentang petualangan si “aku”, bertolak dari kota Panton, hingga Langsa. Untuk apa? Tak lain adalah untuk menemui para “perempuan peliharaan” Tuan Beransyah, kandidat kuat walikota Lamlhok yang dielu-elukan semua orang. Di balik citra kelakuan alim dan murah-hatinya, Fais tahu bahwa lelaki tua itu tak lebih daripada seorang landok[1] yang kaya raya dan punya banyak istri, hingga mencapai belasan. Bahkan, ada desas desus bahwa kekayaannya diperoleh dari berdagang ganja, yang memang tumbuh subur di tanah Aceh.

Sebagai seorang wartawan yang tidak benar-benar bersih—seperti para wartawan lain di Aceh—Fais selalu merasa berdosa ketika diminta Tuan Beransyah menuliskan hal-hal yang baik tentangnya. Mau tidak mau, Fais melakukannya karena sedang dalam kondisi ekonomi yang gersang. Di balik tulisannya yang memuja Tuan Beransyah, Fais memulai sebuah proyek penulisan novel yang berdasarkan kisah nyata tentang perjalanannya menemui para istri Tuan Beransyah.

Kebanyakan wanita yang ia temui itu mengungkapkan kekesalannya akan Tuan Beransyah, lantaran tidak merasa diperlakukan sebagai istri yang selayaknya. Lelaki tua itu jarang sekali menemui mereka, sekalinya mampir ke rumah hanya untuk memuaskan nafsunya. Anehnya, ada seorang istrinya yang malah mendukung kelakuan Tuan Beransyah. Beragam sifat dan latar belakang wanita ditemui Fais, mulai dari yang cara bicaranya kasar, seorang pelacur, yang masih muda dan cantik, hingga yang sudah tua. Selama perjalanan itu, Fais tidak luput menuliskan semua pengalamannya pada sebuah buku catatan, untuk bahan menulis novel nanti.

Awalnya, Fais murni melakukan perjalanan itu untuk mencari tahu tentang keberadaan istri-istri Tuan Beransyah. Untuk mengungkap segala borok pria itu. Namun, petualangannya berubah menjadi petualangan liar yang berakhir di ranjang para wanita itu. Entah itu mungkin karena para wanita itu telah terlalu lama ditinggal suaminya. Atau karena ketampanan Fais dan sifatnya yang lekas akrab dengan para perempuan. Entahlah.... Yang jelas, Fais memang serupa “burung terbang”, yang sedang mencari tempat berpulang.
“Tidak seberapa lama, tiba-tiba saja wajahnya menyembul lewat celah tirai pintu dengan tatapan mengundang, ‘Kukira ada baiknya kamu yang masuk kemari, tidak mungkin aku yang keluar dengan keadaan begini...’” (halaman 98)
Petulangan itu benar-benar membawa bencana ketika akhirnya membuat Safira, gadis yang sedang dekat dengannya, marah dan menjauhinya. Tepat di saat Fais akhirnya menyadari siapa yang sebenarnya dicintainya, di antara para wanita itu.... Ketika hatinya sedang hancur, dan dirinya remuk tak berbentuk lagi, bahaya malah mengintainya, mengancam nyawanya.
***

Embel-embel pada cover depan, tepat di bawah nama penulis, “penulis Lampuki, Pemenang Sayembara Menulis Novel DKI 2010; Peraih Khatulistiwa Literary Award 2011” tentunya meniupkan ekspektasi tinggi dalam benak saya. Label itu menjadi semacam jaminan bahwa karya yang akan saya baca ini bukan karya ecek-ecek. Apakah benar?

Bukan karena terpengaruh oleh testimoni positif dari para sastrawan itu. Bukan, melainkan karena novel ini memang berhasil membuat saya terhanyut dalam ceritanya yang sederhana. Ya, ide ceritanya sangat sederhana, yaitu tentang seorang wartawan yang hendak mengungkap keburukan calon walikota. Namun, gaya bercerita sang penulis yang mengalir secara polos, lugas, dan tidak terlihat dibuat-buat agar penuh quote-quote gahar nan cetar menggelegar, berhasil membuat saya tak sabar melahap lembar demi lembar kisah petualangan Fais. Ah, ya, saya menemukan sebuah quote dalam novel ini, yang diucapkan dengan amat bijaksana oleh seorang perempuan dari kampung terpencil.
“... Kelangsungan sebuah hubungan itu tidak dinilai dari masa lalu, tapi kesungguhan sekaranglah yang paling menentukan. Masa lalu itu harus ditutup rapat-rapat, harus dimusnahkan!” (halaman 352)
Sebentar, ada satu lagi kalimat bagus yang saya temukan pada halaman 266. Kalimat yang sepertinya bisa menghidupkan kembali semangat hidup orang-orang depresi yang ingin mencabut sendiri hidupnya.
“Serumit apa pun masalah, akhirnya pasti berlalu—sudah hukumnya begitu. Orang-orang yang bunuh diri itu terlalu cepat mengambil keputusan yang merugikan dirinya sendiri.”

Gaya bahasa penulis jauh dari "nge-pop", tapi juga tidak bisa dibilang “melayu banget” atau “melayu yang penuh metafora indah dan selipan istilah-istilah sulit” seperti  milik Andrea Hirata. Saya lebih setuju jika gaya bahasa Arafat Nur ini disebut gaya bahasa khas dia sendiri (ya iyalah!), yang meskipun tidak bisa dibilang ringan, tapi juga tidak sulit untuk diserap. Malah, bahasanya mengalir dan penuh humor menggigit, seputar dunia politik yang suram, dunia pers yang munafik, dan juga tentang perempuan. Pikiran-pikiran Fais juga tak setuju dengan kelakuan para pegawai kantoran yang tidak bertanggung jawab, yang kerjanya hanya teken daftar presensi, lalu dapat gaji.

Lain halnya dengan Ayu Utami (dalam “Pengakuan Eks Parasit Lajang) yang mengangkat tema feminisme dengan cukup vulgar, Arafat Nur mengemasnya menjadi bentuk yang lebih halus dan anehnya, lucu. Lihat saja dari judul-judul bab—yang diambil dari potongan kalimat yang diucapkan oleh tokoh—yang nakal dan menggelitik, hingga membuat saya tertawa. Misalnya saja, judul bab 6: “Tidak mungkin aku yang keluar dengan keadaan begini”. Atau judul bab 7: “Kemungkinan nanti kamu malah memerkosaku”.

Dialog-dialog yang tersemat dalam novel ini pun menggambarkan kelugasan dan kepolosan tokoh-tokohnya, yang terkadang juga lucu, seperti dialog yang saya tampilkan di awal tulisan ini. Penulis merekam bagaimana dua orang pria dan wanita bisa berbicara secara blak-blakan tentang isi hati dan pikiran, tanpa ditutup-tutupi. Padahal, saya cukup yakin bahwa dialog macam begini jarang terjadi di dunia nyata. Seringnya, dua orang pria dan wanita yang sedang berbincang-bincang pasti akan lebih menjaga “image”-nya.
“.... Oh, ya, apakah menurutmu aku ini masih cantik?”
“Kamu masih cantik, Kak,” ucapku kemudian.
“Ah, kamu ini pandai sekali menyenangkan hati perempuan!” (halaman 5)
Kekuatan penulis yang lain adalah setting yang ia ambil; bagaimana ia bisa dengan begitu aktual dan faktual menggambarkan nuansa budaya sehari-hari Aceh yang kental; Aceh pasca perang pemberontakan. Tentang kemunafikan orang-orang, yang menjunjung tinggi dogma-dogma agama, tapi tak meninggalkan perbuatan buruk di belakang. Tentang betapa rendah minta baca orang Aceh, hingga novel dianggap sebagai barang kotor, yang berisi “cerita yang jorok-jorok”[2]. Di sana, novel dianggap “lebih berbahaya daripada senjata. Benda itu dianggap dapat merusak akhlak, meracuni pikiran, dan menjerumuskan anak-anak pada perbuatan maksiat.” (halaman 118)

Juga banyak istilah yang tidak lazim saya dengar, misalnya saja sepeda motor di sana disebut “kereta” atau “kereta motor”, “jiran” yang berarti “tetangga”, dan istilah “pesong” yang digunakan untuk menyebut orang yang tidak waras[3]. Juga betapa orang Aceh makin individualis saja, terlihat dari bagaimana para tetangga Fais saling tidak peduli satu sama lain; hanya beberapa orang saja yang kadang-kadang mengobrol akrab dengannya. Juga, pergaulan antara perempuan dan laki-laki di sana tidak ternyata tidak se-“berjarak” kedengarannya. Bahkan, laki-laki yang terlalu sopan seperti Fais pun dianggap “kolot”.
“Ini kamarku, agak berantakan memang. Maklum, ya?”
“Ini sudah cukup bagus. Tapi apakah aku tidak lancang masuk ke kamar seorang gadis?”
“Kamu ini orang kota, tapi pikirannya kolot sekali?” (halaman 176)
Dengan mengikuti cara berpikir Fais, saya jadi makin memahami bagaimana cara pikir laki-laki. Mungkin ini juga yang membuat saya memaklumi kelakuan Fais yang bisa dibilang “bejat”, bertualang dari satu perempuan ke perempuan lain, hingga menyakiti wanita yang benar-benar dicintainya. Saya takjub bagaimana tokoh ini bisa sedemikian mengambil hati saya. Bahkan, saya juga bisa memaklumi kemunafikannya sebagai wartawan yang mau disogok. Yah, meskipun sebenarnya Fais melakukannya karena terpaksa.

Bersama pemikiran-pemikiran Fais seputar ketimpangan-ketimpangan sosial dan kebobrokan politik Indonesia, saya bisa tertawa. Menertawakan kebobrokan tersebut, seperti halnya ketika saya membaca “Lupa Endonesa” karya Sujiwo Tejo. Pada akhirnya, saya pikir judul Burung Terbang di Kelam Malam” itu punya arti terselubung, selain menggambarkan bagaimana terombang-ambingnya jiwa seorang lelaki yang tengah mencari jati dirinya. Yeah, if you know what I mean here.... Hihihi.


[1] Kambing jantan tua yang suka mengembik di pantat kambing betina (halaman 8).
[2] Meminjam istilah yang digunakan oleh tokoh Safira, halaman 28.
[3] Dalam KBBI, “pesong” berarti “serong; mencong”.

3 comments:

  1. “.... Oh, ya, apakah menurutmu aku ini masih cantik?”
    “Kamu masih cantik, Wok,” ucapku kemudian.
    (page 5 was canged by me ) :p

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya dong, aku selalu cantik sejak dulu kala wkwk :p

      Delete
  2. dmana bisa bisa mendapatkan buku tsb

    ReplyDelete

Your comment is so valuable for this blog ^^

bloggerwidgets