Penulis:
Edi AH Iyubenu
Editor: Muhajjah Saratini, Misni Parjiati Tebal: 184 halaman ISBN: 978-602-7695-88-7 Harga buku: Rp 35.000,00 Rating saya: * * * * |
Aysila yang buta menunggu
kekasihnya kembali, pada derai hujan pertama, sesuai janjinya. Aysila yang buta
hanyalah salah satu dari Aysila-Aysila lain yang bertebaran sepanjang cerita.
Aysila yang pertama membuka cerita tentang menunggu.
Ia juga mencoba meyakinkan para pecinta yang sedang menunggu, bahwa “menunggu adalah
harga yang selalu setimpal untuk sebuah perasaan”.
***
Sebuah kata pengantar yang
ditulis oleh sang penulis, Edi AH Iyubenu, menyambut para pembaca dengan
sindiran yang diajukan pada kaum penulis yang masih meyakini bahwa berimajinasi sama dengan berkhayal atau berangan-angan. Secara ilmiah, penulis mematahkan mitos tersebut,
dan menegaskan bahwa, seperti kata Sartre, berimajinasi
adalah “membangun dunia beserta keseluruhan simbol-simbol ideologi, emosi,
ambisi, benturan, bahkan religi” (halaman
9).
Memasuki dunia yang diciptakan
penulis melalui dua belas cerita pendek, saya mengamini bahwa nama Aysila
memiliki kharisma tersendiri; terdengar puitis sebagaimana nama “Ranti” bagi
saya. Nama-nama tokoh dalam setiap cerita sering berulang. Nama Aysila,
Stefany, Pamuk, dan Akhiles adalah empat besar nama yang paling sering
digunakan penulis, dan tentu saja, yang nomor satu adalah Aysila. Diakuinya pada
bagian kata pengantar, “Saya memang memiliki kesukaan tersendiri
untuk menggunakan nama tokoh Aysila.” (halaman 13). Bukannya tidak kreatif, melainkan penulis menggunakan
kreativitas yang mungkin berbeda.
Maksud saya adalah, dengan menggunakan nama yang sama, penulis bisa menciptakan
tokoh-tokoh yang kadang benar-benar berbeda, tapi kadang juga membuat saya
curiga: jangan-jangan penulis sengaja membuat tokoh yang sama muncul lagi.
Dalam Hujan Pertama untuk Aysila, penulis mengambil sudut pandang orang
ketiga terbatas milik Aysila Dilara, si gadis buta yang setia menunggu Pamuk,
kekasihnya. Namun, di cerpen Kutunggu
Kamu di Hagia Sophia, Aysila adalah seorang perempuan penggemar balik ekmek[1]
yang ditunggu oleh seorang lelaki.
Sementara itu, Aysila adalah
gadis yang suka terbahak lepas, seperti digambarkan dalam Kue Tart yang Setia Dijaganya, Seekor
Elang di Orchard, Cara Mudah untuk Bahagia, dan Tukang Cerita yang Tak Lagi Jatuh Cinta pada Telepon Genggamnya. Beralih
ke nama Stefany, seorang gadis yang memalingkan cinta si lelaki dari Aysila, ia
muncul pada cerpen Kue Tart yang Setia
Dijaganya, sebagai sosok yang sinis dan dingin dalam menanggapi rayuan si
lelaki. Juga di Tukang Cerita yang Tak
Lagi Jatuh Cinta pada Telepon Genggamnya, Stefany muncul kembali. Saya paling suka kalimat Stefany yang ini:
***
Beralih ke tokoh utama
laki-laki, yang nyaris semua menggunakan sudut pandang “aku”. Si “aku” kadang
bernama Akhiles, Pamuk, atau anonim. Meski begitu, saya bisa menangkap satu
kesamaan di antara para lelaki itu: mereka adalah pecinta sejati, atau bahkan playboy. Ia mewujud sebagai Akhiles yang
gemar merayu dan membuat Aysila menunggu demi Stefany, dalam Kue Tart yang Setia Dijaganya. Dalam Seekor Elang di Orchard, ia mewujud
sebagai sosok lelaki elang tak bernama, kekasih Aysila yang sedang LDR-an, dan
takut gadisnya didekati lelaki lain, meski Aysila nampak setia menunggunya di
negeri seberang.
“Aku” adalah sosok lelaki yang
belum bisa move on dari kekasih
lamanya yang paling membekas di kenangan, seperti digambarkan dalam Cerita Kesetiaan Gadis Berponi Curly
(gadis itu anonim, bukan Aysila maupun Stefany), dan Kutunggu Kamu di Hagia Sophia. Dalam cerpen yang terakhir itu,
“aku” masih menunggu Aysila meski ia kini sudah punya pacar baru.
Terkadang, “aku” menjadi Pamuk
yang meninggalkan Aysila si gadis buta, atau Pamuk si cerdik dalam Cara Mudah untuk Bahagia, penganut
Cartesian yang memegang prinsip cogito ergo
sum[2]
yang dengan gencarnya mendebat Erdem, kemudian mengecohnya, demi mendapatkan
Aysila. Sekali waktu, ia menjelma Pamuk, si lelaki muda tampan yang dinafkahi
oleh para tante kaya yang kesepian, dalam Lelaki
yang Penuh Kenangan. Dalam cerpen ini, Pamuk merupakan gambaran sempurna
seorang manusia kontradiktif. Pamuk adalah sosok yang playboy sekaligus setia. Ia selalu sebal karena wanita selalu
mempertanyakan cinta dengan cara yang berlebihan. Ia juga sebal karena wanita
sering bersikap kontradiktif pada satu waktu yang sama. Ia setia, karena yang
dicintainya masihlah Aysila, gadis yang ia tinggalkan dulu. Namun, di hadapan
Aysila, ia menjadi seperti wanita yang mempertanyakan cinta.
Ada beberapa cerpen yang
terbebas dari nama Aysila, Stefany, Pamuk, dan Akhiles. Pertama, Madame Tussaud, yang menceritakan
tentang kepahlawanan Tussaud, si seniman patung lilin. (Meski sebenarnya dalam
cerpen ini sempat disinggung nama Aysila.) Kedua, Lelaki yang Menciumi Jendelanya, dengan “aku” adalah si lelaki gila
yang setia menunggu kekasihnya dengan menciumi jendela. Namun, sudut pandang
orang gila ini kurang terasa gila, menurut saya[3].
Ketiga, Orang-orang yang Mengganti
Hatinya dengan Batu, sebuah cerpen surealis tentang orang-orang yang
memilih mengganti hatinya dengan batu lantaran sudah muak melihat kekejaman dan
ketidakadilan.
Berikutnya adalah Menangkap Nawang Wulan, sebuah
penceritaan kembali dongeng Jaka Tarub dan Nawang Wulan. Setelah Jaka Tarub
melakukan kesalahan fatal yang menyebabkan Nawang Wulan kembali ke kayangan,
setiap senja di telaga, ia dan anaknya menunggu kedatangannya dengan setia. Yang
paling membuat saya merasa dipermainkan adalah cerpen terakhir, Tukang Cerita yang Tak Lagi Jatuh Cinta pada
Telepon Genggamnya, yang seolah-olah adalah sambungan dari cerpen pertama.
Dalam cerpen ini muncul sosok Srintil, sang ronggeng. Saya senyum terkulum
membacanya. Hal lain yang membuat saya menyimpulkan bahwa tokoh-tokohnya atau
ceritanya berkelanjutan adalah bagian ketika si lelaki mengenang Aysila dari cerpen sebelumnya, dalam
cerpen Madame Tussaud, padahal tidak
ada Aysila di cerpen itu.
***
Hujan Pertama untuk Aysila bisa dibeli di Bukupedia (langsung klik!)
Dari keduabelas cerpennya, saya perlahan mengenali pola yang selalu digunakan penulis. Beliau selalu mengangkat hal sederhana, yang mungkin bisa dialami siapa saja dalam kehidupan sehari-hari, lalu mengolahnya menjadi sesuatu yang bermakna. Plotnya sederhana. Setting tempat sederhana, yang paling sering digunakan adalah kafe, berkisar di Singapura, Turki, dan mungkin Indonesia. Konflik sederhana. Yang membuatnya jadi bermakna adalah dialog yang berbobot, sehingga terkadang saya mendapati bahwa inti cerita berada dalam dialognya. Salah satu contoh yang paling mampu merepresentasikan hal ini adalah dialog-dialog dalam Cara Mudah untuk Bahagia. Tiga orang mengobrol dalam sebuah kafe di tepi Selat Bosporus. Sederhana, bukan? Isi obrolan merekalah yang sangat tidak sederhana. Tentang prinsip hidup sang filsuf yang berbenturan dengan cara pemikiran penganut Cartesian tentang cara untuk bahagia. Cerpen ini sudah pernah saya baca sebelumnya, ketika diterbitkan oleh majalah Horison.
Selain belajar filsafat, penulis juga mengajak pembaca untuk belajar sejarah. Sejarah Madame Tussaud, kesetiaan Eva Braun dalam era Hitler, dan kisah tentara Soviet yang menyerbu Berlin pada Perang Dunia II.
Benang merah lain, selain menunggu, yang saya tangkap dari
keseluruhan isi buku adalah hal berikut ini.
Lelaki selalu dianggap tidak setia, sementara perempuan selalu mempertanyakan cinta. Namun, ada saatnya di mana lelaki terlalu mencintai, sehingga ia mempertanyakan cinta yang dijanjikan si wanita. Impas.Bagi para calon pembaca, saya berpesan, berhati-hatilah karena sebentar lagi sang penulis akan mempermainkan logikamu.[ ]
[1]
Jajanan khas Turki, berupa sandwich ikan.
[2] Aku berpikir maka aku ada.
[3] Sejauh yang pernah saya baca, cerpen bersudut-pandangkan “aku” milik orang gila yang paling gila adalah Catatan Harian Seorang Gila karya Lu Xun, yang edisi terjemahan Bahasa Indonesia-nya diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia.
0 komentar:
Post a Comment
Your comment is so valuable for this blog ^^