Empat puluh empat hari sudah berlalu sejak saya terakhir kali menelurkan tulisan baru di blog ini. Itu pun, blog tour SMPKB, sebenarnya saya bikin post terjadwal sejak tanggal 2 Mei. Selama empat puluh hari saya selibat internet. Bangga sekali rasanya, di bulan Mei sampai awal Juni kemarin saya berhasil melepaskan kemelekatan diri akan internet, meskipun setelah itu jadi tak bisa lepas dari tablet bak bocah yang nggak dikasih makan 3 hari dan tiba-tiba dimasukkan ke dalam truk penuh makanan. Pengin tahu, nggak kenapa saya bisa-bisanya selibat internet? Duh, sebelum itu saya mau bikin beberapa pengakuan dulu tentang buku.
My Life's Been Consumed By Bad Books
Sumber di sini. |
Kata James Joyce, "Life is too short to read a bad book." Ya, memang. Namun, saya akui, banyak sekali waktu telah saya habiskan untuk membaca buku-buku yang tidak akan saya baca kalau tidak terpaksa. Buku-buku ini terpaksa saya baca karena tuntutan pekerjaan sebagai peresensi buku. Saya punya prinsip, harus baca sampai tamat buku yang akan diresensi. Kalau baca aja tidak tamat, tapi berani kritik ini-itu, itu tak ubahnya anjing menggonggong. Tak jarang, buku yang saya baca itu bikin saya jedug-jedugin kepala ke bantal *yah, nggak sakit, dong, malah ketiduran*. Kadang, sahabat saya (yang dulu tinggal di kamar sebelah kosan) jadi korban pelampiasan rasa geregetan saya. Mulai dari banyaknya typo, ketidaklogisan cerita, hingga buku yang amat-amat-amat membosankan! Jadi, nggak heran, kan, kenapa saya sering kasih rating bintang <= 3?
Saya berhasil bertahan membaca buku-buku sejenis itu, karena satu keyakinan: dengan membaca dan meresensi karya buruk ini, saya telah membantu penulis dan barisan para mantan editor-penerbit-de el el di belakangnya untuk menjadi lebih baik lagi pada karya selanjutnya *iya, kalau ada karya selanjutnya*. Seperti kata Mas Dion, betapa penuh perjuangan kerja keras editor di balik terbitnya sebuah buku. Apalagi bagi para penulis baru, yang karya pertamanya belum tentu bisa langsung sebagus dan se-booming Laskar Pelangi, semoga resensi pedas saya itu bisa membantunya untuk tak menyerah mengarungi hutan kepenulisan yang serba penuh kejutan :D.
Jejak Historis
Sumber di sini. |
Saya adalah jenis manusia yang suka meninggalkan jejak historis, termasuk di buku-buku yang saya punya. Setelah beli buku baru, saya akan mencabut dengan hati-hati label harga yang tertempel di plastik segelnya, untuk kemudian saya tempelkan di bagian dalam kover belakangnya. Atau, kalau labelnya tersobek, saya akan tulis harga dan tempat saya beli buku itu di halaman pertama buku. Oh, iya, plus tanda tangan dan akun Twitter saya tentunya (barangkali bisa nambah follower). Nggak apa-apa nggak dapat tanda tangan penulisnya, toh saya bisa tanda tangani sendiri bukunya :-h.
Dog-earing-lover
Sumber di sini. |
Dari hasil survei tersebut, saya termasuk jenis manusia di sektor 3%. Oke, saya memang tidak tahu diri, buku pinjaman saja dilipat-lipat ujungnya. Tapi itu berlaku kalau saya dan si peminjam berteman dekat, sih, jadi saya nggak segan untuk melipat ujung-ujung bukunya. Mengapa saya suka dog-earing? Sembari membaca, otak peresensi di dalam kepala saya turut bekerja. Begitu menemukan keganjilan, typo, quote menarik, bagian penting, saya langsung melipat ujung halaman. Tidak praktis kalau harus meraih dulu post-it lalu menempelkannya. Kalau pakai pembatas buku, well, akan terlalu banyak pembatas buku yang saya butuhkan. Saya juga tak ragu membuat tanda dengan pensil atau menuliskan komentar saya begitu saya menemukan sesuatu. Tapi, tapi..., begitu buku itu selesai saya resensi, saya akan langsung membuka kembali semua lipatan dan menghapus semua jejak pensil (kalau nggak lupa).
Sok Anti-mainstream atau Cupu?
Sumber di sini. |
Baiklah, saya mengakui bahwa saya cupu, di balik topeng sok cool saya itu. Saya belum baca The Alchemist-nya Paulo Coelho, tapi saya sudah baca The Zahir, The Devil and Miss Prym, dan The Winner Stands Alone. Saya belum baca The Old Man and The Sea-nya Hemingway. Saya belum baca Anna Karenina-nya Leo Tolstoy. Saya belum baca Dilan-nya Pidi Baiq. Di saat teman-teman blogger buku heboh membicarakan Critical Eleven-nya Ika Natassa dan Ayah-nya Andrea Hirata, sampai sekarang saya belum membacanya. Saya juga belum baca Raden Mandasia-nya Yusi Avianto Pareanom. Bisa dibilang, saya sering melewatkan karya-karya terpopuler para penulis dan sering ketinggal tren. Tapi saya tetap sok tahu, seolah-olah sudah membacanya, padahal cuma diceritain teman yang sudah baca *tsah*.
Sebenarnya masih ada lagi pengakuan yang ingin saya tulis, tapi karena saya sudah nggak tahan kebelet pipis, sampai di sini dulu, ya. Apa bookish confession-mu? Apakah ada yang sama dengan punya saya? :D
0 komentar:
Post a Comment
Your comment is so valuable for this blog ^^