Judul buku: Detektif Ekonomi
Penulis: Tim Harford
Penerjemah: Alex Tri Kantjono Widodo
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, 2009
Tebal: 400 + xvi halaman
ISBN: 978-979-22-4784-8
Harga: Rp 60.000,00
Rating saya: 4/5
Kategori: nonfiksi ekonomi
Di Balik Sampul
Pernah,
sekali saya berjumpa dengan buku Tim Harford, Logika Hidup, yang saya beli
di sebuah acara obral buku Gramedia. Sekilas, isi buku tersebut menggugah rasa ingin
tahu saya, tapi mungkin karena terlalu lama kebanyakan melahap fiksi, saya
sudah bosan duluan sebelum menamakannya. Kali ini, saya dipinjami seseorang Detektif
Ekonomi, dan karena dia yang merekomendasikannya, saya berpikir tak ada salahnya
mencoba (lagi).
Penyingkapan, dari Kopi Sampai ke China
Tiap
ke bioskop, saya sering menyembunyikan sebotol air minum dan makanan ringan di bawah
tumpukan barang dalam tas saya--yang nyaris selalu penuh dan (tampak) berat--agar
saya tak perlu membeli Cola dan popcorn ketika haus atau ingin ngemil
saat nonton. Kenapa? Karena harganya begitu mahal--terlalu mahal untuk orang
seperti saya, yang bahkan sebisa mungkin memilih menonton bioskop saat weekdays,
bukan weekend. Lagi-lagi karena harga tiket bioskop saat weekend
lebih mahal daripada weekdays. Mungkin beberapa dari Anda pun
begitu--sudah, ngaku sajalah! Nah, harga popcorn dan Cola tersebut menjadi
mahal karena mereka langka, atau karena sesuatu yang lain?
"Kadang-kadang logika ilmu ekonomi begitu memikat sehingga mustahil ada ekonom yang tidak ingin tampil untuk bicara." (hlm. 40)
Nah,
Bab 1 buku ini, Siapa yang Menjadi Kaya Berkat Kopi Anda, menjabarkan mengapa
dan bagaimana barang-barang seperti popcorn di bioskop dan kopi di kedai
dekat stasiun menjadi mahal. Kuasa kelangkaan, yang di awal dijelaskan
Harford menggunakan model Ricardo tentang lahan pertanian, merupakan kunci di balik
mahalnya harga kedua barang tersebut. Namun, bedakan antara kelangkaan alami dan
kelangkaan yang direkayasa. Dalam bab ini, Harford juga mengenalkan tentang
marginalitas, bahwasanya "kita tidak mengenal harga mutlak: segala sesuatu
relatif terhadap lahan marginal" (hlm. 12). Hal lain yang mengejutkan adalah
fakta di balik topeng "serikat pekerja", yang ternyata tidak seperti yang
selama ini saya kira.
"Salah satu alasan mengapa Starbucks menawarkan tambahan-tambahan yang tidak begitu penting seperti whipped cream dan sirup beraroma adalah membujuk pelanggan untuk menyingkapkan apakah mereka ambil pusing soal harga atau tidak." (hlm. 178)
Bab 2,
Supermarket Ingin Agar yang Berikut Tak Anda Ketahui, barangkali adalah
bab yang paling membuat saya tergelitik, karena selama ini (terlebih selama menjadi
mahasiswa yang ngekos) saya bisa digolongkan sebagai "pembeli yang jeli
dan tidak malas (dan pemburu diskon)". Pernah, tidak, Anda menemukan bahwa
harga permen tertentu di rak dekat kasir lebih mahal daripada permen yang sama yang ada di
rak jauh dari kasir?
Saking
seringnya membeli Pocky dan Cheetos Puff di Indomaret, saya jadi hafal
harganya--seberapa selisih harganya antara di Indomaret tertentu di Ciracas, di
Bandar Lampung, dan di Kotaagung. Saya juga jadi ngeh kalau di Alfamart di tiga
daerah yang sama, harga kedua makanan ringan tersebut lebih mahal. Namun, ada
barang-barang tertentu yang harganya lebih mahal di Indomaret daripada di
Alfamart. Nah, dalam bab ini, saya belajar tentang price-targetting,
self-targetting, kombinasi mahal dan murah. Price-targetting dan self-targetting
merupakan strategi penjual untuk memilah pelanggan: mana yang mau membayar lebih
mahal, dan mana yang tidak. Ini jugalah alasan munculnya produk-produk berlabel
"fair-trade", "green", dsb. yang bertarif lebih mahal
daripada produk sejenis yang tidak berlabel begitu. (Baru-baru ini saya
menjajal kopi sachet Nescafe Green Coffee, yang harganya lebih mahal daripada kopi-kopi
berkrimer instan sachet lainnya. Ia berlabel "green" karena dengan membeli
itu, kita ikut meningkatkan kualitas hidup para petani kopi di Lampung--katanya.)
"Jika ada pelanggan yang sengaja berkeliling toko untuk berhemat sedangkan yang lain tidak demikian, cara paling baik bagi toko adalah entah memasang harga tinggi untuk menguras dompet pelanggan setia (atau malas), atau menurunkan harga untuk menguras dompet para pemburu harga murah." (hlm. 64)
Bab
selanjutnya, Pasar yang Sempurna dan "Dunia Kejujuran" ,
menjabarkan tentang bagaimana pasar yang sempurna (pasar ideal), bagaimana sistem
non-pasar, pasar yang menciptakan keadilan, dan bahwa pajak menyebabkan
inefisiensi pasar. Dalam Bab 4, Lalu Lintas Kota yang Padat, Harford menggunakan
tokoh utama kemacetan lalu lintas untuk membahas tentang eksternalitas (positif
dan negatif), harga marginal dan harga rata-rata (yang telah disinggung di Bab 1),
teori "revealed preference", dan masalah lingkungan.
"Orang yang bersedia membeli sebuah produk adalah orang yang bersedia membayar karena menurutnya harga itu sesuai." (hlm. 97)
Sudah
dua kali dalam beberapa bulan terakhir saya merasa terbodohi oleh pelayanan
kesehatan yang mahal. Pengalaman pertama periksa ke dokter spesialis tertentu
di rumah sakit tertentu sangatlah tricky: saya tidak tahu apakah
pelayanan manajemen rumah sakit dan dokternya akan memuaskan; apakah
obat-obatan mahal yang saya bayar akan mempan terhadap penyakit saya. Inilah
yang menjadi tokoh utama bab berikutnya: pelayanan kesehatan dan asuransi.
Harford mengambil contoh kasus pelayanan kesehatan di AS, kasus NICE &
metode QUALY di Inggris, dan pembenahan pelayanan kesehatan dengan ekonomi
"lubang kunci" di Singapura.
"Ketika saya pergi ke dokter, saya tidak mempunyai bayangan tentang apakah ia akan memberi saya pengobatan yang baik, sementara ia tidak merasa perlu memperhitungkan biaya pengobatan..." (hlm. 116)
Teori
random walk dalam pasar saham, metode Grolsch, price/earning ratio
dibahas dalam bab 6, Ketidakwarasan yang Rasional. Harford mengambil
studi kasus Amazon.com, Microsoft, dan Google. Bab selanjutnya dibuka dengan
cerita tentang "game theory"-nya John von Neumann dan John Nash
(mungkin mengingatkan Anda akan film A Beautiful Mind), yang sangat
menarik. Harford juga membeberkan tentang sebuah lelang hak atas spektrum--lelang
yang sukses di Inggris.
"Seseorang yang tahu tentang harga segala sesuatu dan nilai di balik yang tidak berharga."
--Definisi Oscar Wilde tentang orang sinis, yang sekarang lazim diberikan kepada para ekonom. (hlm. 231)
Kenapa
negara miskin cenderung makin miskin? Harford menyampaikan analisisnya di Bab
8, dengan mengambil kasus negara Kamerun. Bagian tentang "bandit di
pemerintahan" sedikit mengingatkan saya akan masa pemerintahan Soeharto di
Indonesia. "Kendatipun sangat tidak adil, penduduk setempat barangkali
merasa lebih baik ketika sang diktator memutuskan tinggal. Seorang diktator yang
murni memiliki kepentingan pribadi akan sadar bahwa ia tidak dapat menghancurkan
perekonomian dan membuat penduduk setempat kelaparan jika ia mempunyai rencana
menetap di situ, sebab akibatnya ia akan kehabisan segala sumber daya dan tidak
memperoleh apa pun untuk dijarah tahun berikutnya." (hlm. 273-274) (Tak heran, meski tahu betapa
tidak bebasnya hidup di zaman Soeharto, bertahun-tahun setelah blio lengser, banyak
stiker bermunculan: "Penak jamanku, to?"
"...proyek apa pun paling mungkin sukses jika orang-orang yang mendapatkan manfaat dari sukses itu sama dengan orang-orang yang mengusahakannya." (hlm. 289)
Selanjutnya,
dengan cerita awalan tentang bir dan keripik, Harford membahas tentang globalisasi.
Apakah globalisasi itu baik? Apakah globalisasi itu hijau? Lalu, mungkin yang paling
kontroversial: apakah sweatshop (perusahaan multinasional yang
mempekerjakan buruh-buruh di negara-negara berkembang dalam kondisi kerja yang buruk)
itu baik? Mungkin Anda akan terkejut mengetahui yang sebenarnya.
Bab terakhir
membahas tentang Bagaimana China Menjadi Kaya. Harford memulai dengan bagaimana
China di masa lalu, di bawah kekuasaan Mao, yang menyebabkan bencana kelaparan.
Kemudian kita akan menyaksikan kebangkitan China sejak dipimpin Deng Xiaoping
pada tahun 1978. Revolusi pertanian, terbuka terhadap investasi, membuka diri terhadap
dunia, dan pasar yang kompetitif adalah beberapa faktor pendorong kebangkitan China,
yang tak bisa dipungkiri terbantu juga oleh letaknya yang bertetangga dengan
Hongkong dan Taiwan.
Membaca Ekonomi Melalui Dunia Nyata
Dalam
tiap bab, Harford mengangkat cerita dengan tokoh utama tertentu, contohnya, Bab
1 berkisah tentang kedai kopi, Bab 4 tentang kemacetan, bab 6 tentang pasar saham, Bab 7 tentang lelang. Dengan ilustrasi-ilustrasi dari dunia nyata tersebut,
lengan-lengan lihai ekonom Harford menyelipkan teori-teori ekonomi. Hal-hal
kontroversial dan penyingkapan-penyingkapan yang sebelumnya merupakan inside
informations bagi konsumen seperti saya, membuat rasa ingin tahu saya tetap
terjaga.
Salah
satu sudut pandang yang menggemparkan pemikiran saya adalah tentang sweatshop,
yang sering dipandang buruk oleh orang-orang (apalagi yang anti-kapitalis), ternyata
memiliki sisi positifnya sendiri. Banyaknya tenaga kerja dari negara-negara
berkembang yang mau bekerja di perusahaan-perusahaan multinasional dengan jam
kerja panjang dan gaji yang rendah, memperlihatkan bahwa pilihan tersebut mungkin
sekali lebih baik daripada alternatif lain. Gerakan yang terkesan
"baik"--memboikot produk-produk sweatshop justru malah merugikan
para pekerjanya: mereka akan kehilangan pekerjaan. Seperti yang terjadi di Korea
Selatan, yang membuka diri terhadap perusahaan-perusahaan multinasional, yang akhirnya
merangsang perusahaan-perusahaan untuk bersaing, yang pada akhirnya mendorong kemajuan
di bidang ekonomi.
Di
akhir buku, Harford menyertakan catatan-catatan terkait referensi dan/atau
latar belakang pembahasan tertentu untuk tiap bab. Hal ini cukup membantu
memahami apa yang sedang dibicarakan oleh Harford. Tak punya latar belakang pendidikan
di bidang ilmu ekonomi, membuat saya agak terbata-bata membaca beberapa bagian
yang menurut saya agak terlalu teoritis. Namun tidak masalah, setelahnya contoh-contoh
real disediakan. Buku ini, dengan berani, membukakan pandangan akan fenomena-fenomena
ekonomi praktis yang selama ini seperti ditutup-tutupi.
"Pada akhirnya, ilmu ekonomi berbicara tentang orang--sesuatu yang sering diterangkan secara buruk sekali oleh para ekonom. Dan pertumbuhan ekonomi berbicara tentang hidup yang lebih baik untuk tiap orang--pilihan lebih banyak, ketakutan lebih sedikit, kerja kasar lebih sedikit." (hlm. 378)
Salam kenal mba. Salam bersahabat. saya senang baca resensinya :)
ReplyDeleteSalam kenal juga, Mas Imron. Terima kasih atas kunjungannya :)
DeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete