blah, blah, blah
Madre mendatangi saya tepat pada Hari Natal tahun 2016
sebagai kado Natal untuk adik saya (selalu ada acara bagi-bagi kado tiap
perayaan Natal di gereja, entah kadonya apa, dari mana atau siapa, untuk
anak-anak dan remaja). Adik saya tidak terlalu suka baca buku (sejauh ini,
tumpukan ratusan buku saya di rumah berhasil menarik minatnya sedikit). Sejak
itu, Madre bersemayam di atas tumpukan buku di sebuah meja dalam rumah. Saya ke
Yogyakarta, meninggalkannya selama seminggu. Beberapa hari setelah pulang ke
rumah, saya memutuskan mengenal Madre lebih jauh daripada sekadar membuka
sampulnya dan melongok sekilas ke daftar isi. Madre mengandung enam prosa dan
tujuh puisi.
komposisi madre
Madre
Dan aku, si manusia tak punya mimpi yang akhirnya ingin memiliki mimpi. Mimpi yang kini punya nama: Tansen de Bakker. (hlm. 68)
Bagaimana jika silsilah hidupmu tiba-tiba berubah dan yang
selama ini kauyakini ternyata tak lebih daripada skenario yang ditanamkan orang
lain dalam kepalamu? Parahnya lagi, yang menceritakan padamu tentang semua itu
adalah seorang asing?
Tansen Wuisan, yang selama ini meyakini bahwa dirinya berdarah
campuran setengah Manado, seperempat India, dan seperempat Sunda, harus
menerima kenyataan yang dituturkan Pak Hadi, bahwa sama sekali tidak ada darah
Sunda dalam dirinya, tetapi darah Tionghoa. Bermula dari kematian seorang kakek
bernama Tan Sin Gie, yang memberikan warisan misterius kepada Tansen, pemuda
itu meninggalkan apa yang selama ini ia pikir sebagai kebebasan di Bali, dan
menjemput apa pun itu terkait seseorang bernama Tan Sin Gie yang sama sekali
tidak ia kenal, di Jakarta. Warisan itu membawanya ke sebuah alamat, yang
dulunya adalah Tan de Bakker, sebuah toko roti yang pernah masyhur di zamannya.
Di sana, ia bertemu dengan Pak Hadi, yang dulu bekerja di toko roti itu, dan
yang akhirnya mempertemukannya pada Madre, adonan biang yang umurnya sudah 70
tahun.
Di situ, Tansen harus mencari jawaban atas pertanyaan paling
besar yang pernah ia hadapi dalam hidup. Pergi menemui “kebebasan” di Bali
seperti sedia kala, atau tinggal di kota yang tak pernah ingin ia tinggali,
Jakarta, dan merawat Madre serta membantu bangkitnya kembali toko roti yang
melegenda?
***
Sosok seperti Tansen barangkali dengan mudah saya temui di
dunia nyata, yaitu diri saya sendiri. Seorang muda yang selama ini berada di
zona nyaman, mengira telah menemukan apa yang ingin dia lakukan seumur hidup,
tapi lalu sesuatu terjadi dan mengubah paradigma serta preferensinya. Tansen
akhirnya menyadari bahwa kebebasan yang berlatarkan keegoisannya itu tidak
lebih penting dibandingkan kebahagiaan bisa menemukan sebuah keluarga, keluarga
Tan de Bakker. Tansen, yang lalu disadarkan bahwa dia bisa memimpin.
“Satu-satunya yang ingin saya teruskan adalah kebebasan saya.” – Tansen“Kalau bebas sudah jadi keharusan, sebetulnya sudah bukan bebas lagi, ya?” – Mei(hlm. 49)
Dee menabrakkan kebebasan, yang diwakili oleh kehidupan
Tansen selama di Bali—liburan setiap hari, selancar, jadi guide, menulis kadang-kadang, jadi desainer lepas (atau dengan
bahasa Pak Hadi “serabutan”), dengan rutinitas yang dijalani seperti
seharusnya, yang diwakili oleh Mei. Sebagai pengusaha muda toko roti Fairy
Bread, Mei iri akan kebebasan yang dimiliki Tansen, “tapi saya juga bersyukur
punya sesuatu yang bisa saya teruskan” (hlm. 49), yang adalah toko roti.
Dee juga menabrakkan kekunoan, yang diwakili oleh Madre, Tan
de Bakker, dan para pekerja Tan de Bakker yang masih hidup: Pak Hadi, Bu Cory,
Bu Sum, Bu Dedeh, dan Pak Joko; dengan kekinian, yang diwakili oleh toko roti
Fairy Bread milik Mei dan Tansen yang menjadi yang termuda di dapur Tan de
Bakker. Dee seolah mengatakan bahwa kekunoan dan kekinian itu tak seharusnya
dipisahkan; mereka bisa bersahabat dan bahkan bisa menciptakan suatu inovasi yang
memikat. Asal, yang tua mau menyadari bahwa mereka butuh yang muda untuk bisa
bertahan mengikuti perkembangan zaman, dan yang muda mau dengan rendah hati
menghargai yang tua.
Tan bilang, Madre mesti dirawat orang muda yang semangatnya baru. (Pak Hadi, hlm. 7)
Hal ini kemudian mewujud pada Tansen de Bakker, paduan antara
Madre, kaldu biang Pak Hadi, dan para pegawai legendaris; dengan alat-alat
modern, para pegawai muda, dan teknik promosi elektronik.
Kalau dirawat dengan benar, banyak hal di dunia ini yang makin tua makin berharga. Makin hidup dan malah makin enak. (Pak Hadi, hlm. 20)
Dalam kisah ini, karakter favorit saya adalah Pak Hadi. Saya
suka gayanya yang sok dingin tak peduli, tapi sebenarnya dia orang yang hangat.
Saya suka bagaimana ia bicara ceplas-ceplos pada Tansen, juga bagaimana caranya
mengajari Tansen bikin kue. Lucu lagi, caranya nyomblangin Tansen dan Mei
dengan banana bread itu. Lewat Madre,
Dee juga mengenalkan hal baru pada saya, yaitu adonan biang. Saya baru tahu ada
yang semacam itu, lho. Selama ini saya tahunya Fermipan doang 😳.
Madre adalah adonan biang. Hasil perkawinan antara air, tepung, dan fungi bernama Saccharomyses exiguus. […] Sebagai adonan biang, sebagian Madre selalu dipakai untuk mengembangkan roti. Sementara sisa Madre beristirahat dalam lemari pendingin, kumpulan Saccharomyses exiguus dan Lactobacillus yang disumbangkannya tadilah yang meronggakan, mewangikan, dan merenyahkan semua roti Tan de Bakker. Secara rutin, kultur hidup yang ada di dalam Madre diberi ‘makan’ lagi dengan tepung dan air baru hingga ia terus berkembang biak menjadi ibu bagi roti-roti berikutnya. (hlm. 13-14)
Dan, lucu membayangkan Tansen, satu-satunya yang muda di
dapur, harus memperhatikan lima pegawai tua itu saat bekerja.
Mengecek mereka satu-satu: cukup minumkah, capek berdirikah, ada obat yang perlu diminumkah, dan lain-lain. (hlm. 55)
Dalam Madre, Dee menguleni adonan kisah seorang pemuda yang
akhirnya menemukan apa yang ia cari, dipadu dengan kebangkitan sebuah toko roti
melegenda, dan memanggang serta menyajikannya hangat-hangat kepada para
pembaca. Jadi, Madre sendiri bukanlah pusat cerita. Ia adalah biang yang
digunakan Dee untuk mengisahkan kehidupan.
Rimba Amniotik
Prosa pendek ini semacam surat atau monolog yang diutarakan
oleh Dee kepada Atisha, putri dan sahabatnya, yang sedang dikandungnya.
Sembilan bulan ini mereka bilang aku tengah mengandungmu. Aku ingin bilang, mereka salah. Kamulah yang mengandungku. (hlm. 75)
"Have You Ever?" dan "Guruji"
Kedua prosa ini memiliki inti yang agak serupa, yaitu tentang
move on. Move on dengan cara, bukannya melupakan semuanya, tapi menemui
sekali lagi untuk memahami yang telah dan sedang terjadi, lalu merelakan. Dalam
Have You Ever?, Howard menemukan
seorang sahabat di Byron Bay, Darma, dalam perjalanan gilanya mengikuti
petunjuk dalam sepucuk surat dari seorang perempuan bernama Cahaya.
Hidup telah menunjukkan dengan caranya sendiri bahwa aku senantiasa dipandu. Tak perlu tahu ke mana ini semua berakhir. (hlm. 99)
Dalam Guruji, Ari sedang
berproses untuk memahami dan menerima kenyataan bahwa Guruji atau Ari (mereka berdua punya nama panggilan yang sama) bukan lagi Ari
yang dulu, dan bahwa setelah kepergiannya, ia harus tetap menjalani hidup.
… apakah kerelaan bisa lahir tanpa adanya perkawinan lebih dulu antara memahami dan menyepakati? (hlm. 117)
Semangkok Acar untuk Cinta dan Tuhan
Apa itu cinta? Apa itu Tuhan? (hlm. 100)
Prosa pendek ini menceritakan tentang si “aku” yang disodori
dua pertanyaan di atas oleh seorang wartawan saat si “aku” tengah makan siang.
Si “aku” lalu mengajak si wartawan mencari jawaban atas dua pertanyaan itu
dengan cara yang unik: mengupas bawang merah dari acar, mengupasnya pakai kuku
sampai habis.
Inilah cinta. Inilah Tuhan. Tangan kita bau menyengat, mata kita perih seperti disengat, dan tetap kita tidak menggenggam apa-apa. Itulah cinta. Itulah Tuhan. Pengalaman, bukan penjelasan. Perjalanan, bukan tujuan. Pertanyaan, yang sungguh tidak berjodoh dengan segala jawaban. (hlm. 103)
Menunggu Layang-layang
Ini kisah tentang dua orang laki-laki dan perempuan yang
bersahabat, Christian “Che” dan Starla. Mereka berkenalan saat masih sama-sama
meniti karier, Che sebagai arsitek, dan Starla, desainer interior. Mereka
berdua memiliki kepribadian yang sangat bertolak-belakang.
Kalau boleh saya ngawur, mungkin Che adalah seorang ISTJ:
kaku, hidupnya serba-teratur dan rutin, tak ada yang boleh mengobrak-abriknya.
Digambarkan, tiap pagi, ia akan bangun pukul 5.45, lalu menyetel daftar lagu
“Bangun Pagi Ku Terus Mandi” berisi 17 lagu, lalu sarapan yang itu-itu saja,
mandi bahkan dengan komposisi air yang tetap tiap hari: keran air dingin
diputar 80 derajat dan keran air panas 45 derajat. Menurut saya, yang paling
unik dari Che adalah kegemarannya menamai daftar lagu yang pas disetel untuk
situasi-situasi tertentu. Yang cocok buat di pantai waktu malam berjudul, “Di
Bawah Sinar Bulan Purnama”. Yang selalu diputar Che dalam perjalanannya menuju
kantor, adalah daftar lagu berjudul “Naik, Naik, ke Puncak Gunung”.
Nah, kalau boleh saya ngawur lagi, mungkin Starla adalah
seorang ENFP atau ESFP? Hidupnya penuh dengan berbagai jenis laki-laki yang dipacarinya
gonta-ganti, sementara selama empat tahun lebih bersahabat dengan Starla, Che
tidak pernah terlihat punya pacar. Baginya, pacaran itu coba-coba. Saat ini saling
suka, jatuh cinta, nanti siapa tahu. Dan “nanti”-nya itu biasanya tak butuh
waktu lama. Tiap kali putus, Che akan jadi tempat sampah bagi segala curhatan
Starla. Selama ini, belum pernah teman dekat Che jadi korban Starla, hingga
suatu saat…. Rako, teman dekat Che, terperangkap dalam pesona Starla, dan
langsung menawarkan komitmen, yang sudah pasti, ditolak Starla. Che, yang sejak
lama sudah tidak setuju dengan prinsip “coba-coba” Starla, kali ini benar-benar
muak. Tapi, kok, ada yang kurang, ya, setelah itu? Ketika akhirnya layang-layang ingin tetap benangnya terpaut ke bumi, beranikah Che menyambutnya?
Aku dan kamu sama-sama manusia kesepian. Bedanya, aku mencari. Kamu menunggu. (Starla, hlm. 151)
Barangkali kisah ini cukup klise, sepasang sahabat yang
saling jatuh cinta tapi takut akan menghancurkan persahabatan itu sendiri.
Namun, dengan gaya bahasa khas Dee dan tokoh-tokohnya, kisah ini jadi
menyenangkan dibaca. Saya suka dengan analogi-analogi yang saling dilontarkan
oleh Che dan Starla.
Layang-layang itu bebas di langit. Tapi tetap ada benang yang mengikatnya di bumi. (Starla, hlm. 152)
***
Keenam prosa tersebut ditulis menggunakan sudut pandang orang
pertama. Madre, sudut pandang orang
pertama Tansen; Rimba Amniotik, Dee
sendiri; Have You Ever, Howard;
Guruji, Ari; Semangkok Acar untuk Cinta dan Tuhan, si “aku”; dan Menunggu Layang-layang, Che. Di antara enam itu, favorit saya adalah Madre, Semangkok Acar untuk Cinta dan Tuhan, dan Menunggu Layang-layang.
Selain enam
prosa tersebut, ada tujuh puisi, yaitu
Perempuan dan Rahasia, Ingatan tentang Kalian, Wajah Telaga, Tanyaku pada
Bambu, 33, Percakapan di Sebuah Jembatan, dan Barangkali Cinta. Di antara
tujuh puisi itu, 33 adalah favorit
saya. Secara keseluruhan, melalui 13 prosa dan puisi ini, Dee berusaha
berbicara tentang cinta dan persahabatan, dan bahwa hidup itu adalah proses,
kepada pembacanya.
rating saya
identitas buku
Judul: Madre
Penulis: Dee
Editor: Sitok Srengenge
Penerbit: Bentang Pustaka
Cetakan: I, Juni 2011
Tebal: xiv + 162 halaman
ISBN: 978-602-8811-49-1
Harga: Rp 49.000,00
Rating saya: 4/5
0 komentar:
Post a Comment
Your comment is so valuable for this blog ^^