Buku ini merupakan catatan hidup
Szpilman, seorang Yahudi Polandia, semasa Perang Dunia II. Berdasarkan bagian
penutup yang ditulis Wołf Biermann, buku ini ditulis “di tengah-tengah masih
mengepulnya asap Perang Dunia II dan terbit pertama kali pada tahun 1946 di
Polandia, tapi langsung ditarik dari peredaran (hlm. 336).
Begitu Perang Dunia II meletus,
pasukan Jerman menyerang Polandia. Setelah tentara Polandia kalah di
peperangan, tentara Jerman mulai melancarkan peperangan politik. Menurut tulisan
Szpilman, serangan ini dimulai pada Desember 1939, ketika tentara Jerman
mengeksekusi seratus penduduk Warsawa yang tak bersalah. Situasi makin gawat,
di saat orang-orang mengungsi, Szpilman dan keluarganya memutuskan untuk tetap
tinggal di dalam kota. Kemudian tentara Jerman itu mulai menjarahi rumah-rumah
orang Yahudi. Szpilman sekeluarga mulai menjual barang-barang mereka satu per
satu untuk bertahan hidup. Kemudian, tentara Jerman membangun ghetto, suatu kawasan khusus orang
Yahudi, yang dipisahkan dengan
tembok-tembok terhadap bagian lain kota yang dihuni para non-Yahudi.
Aku pikir secara psikologis kami akan lebih mudah menjalaninya apabila langsung dijebloskan ke dalam penjara—dikunci dalam sebuah sel, misalnya. Lain dari pengurungan di ghetto yang terasa tanggung, menjebloskan ke dalam penjara akan membentuk hubungan manusia dengan realitas secara lebih jelas dan tegas. (hlm. 93)
Menurut Szpilman, pengurangan di ghetto “terasa tanggung”, karena mereka
masih bisa bergerak di jalan biasa, tapi setelah beberapa jauhnya, langkah
mereka akan terhenti oleh tembok-tembok. Jadi, mereka dibuat merasa seolah-olah
bebas padahal tidak. Di awal-awal masa pendudukan Jerman itu, Szpilman masih
bekerja di Radio Polandia, memainkan musik dengan pianonya. Namun, lama-lama
radio itu berhenti siaran, dan Szpilman tidak bekerja lagi.
Awalnya, makanan dan barang
kebutuhan lain masih bisa diangkut ke dalam ghetto.
Lama-lama, datangnya bahan makanan semakin jarang dan para orang Yahudi di
dalam ghetto harus bertahan hidup
entah bagaimana caranya. Szpilman beberapa kali menggambarkan betapa mirisnya
kehidupan di dalam ghetto yang nyaris
tanpa persediaan makanan. Pernah, saat berjalan-jalan, Szpilman menyaksikan
seseorang yang kelaparan hendak merebut semangkuk sup dari tangan seorang
perempuan, tapi nahasnya dalam usaha itu, mangkuk terjatuh dan isinya tumpah ke
jalanan. Seorang yang hendak merebut sup tadi langsung meraup sup itu dan
memakannya.
Orang-orang di dalam ghetto nyaris selalu melewati hari
dengan rasa takut dan cemas, terlebih setelah tentara Jerman memulai perburuan
terhadap orang Yahudi. Secara acak, mereka memilih orang Yahudi, untuk kemudian
dibawa. Entah ke kamp konsentrasi, entah ditembak mati, entah diapakan. Isu-isu
terus beredar, entah benar entah tidak, seputar perburuan terhadap orang Yahudi
itu. “Besok lima ribu orang akan diangkut ke kamp konsentrasi,” semacam itu.
Tak jarang, Szpilman membuktikan bahwa isu semacam itu tidak benar. Tapi tak
ayal, ia ikut gelisah.
Pada awal musim semi 1942, perburuan manusia di ghetto, yang dulunya dilakukan secara sistematis, mendadak berhenti. […] Jika mereka menghentikan perburuan tersebut, ini hanya disebabkan oleh mereka mempunyai cara lain yang lebih jitu untuk menganiaya kami. Pertanyaannya adalah apakah cara lain itu? Orang-orang menduga-duga tak keruan dan bukannya merasa lebih tenang, mereka malah dua kali lebih khawatir daripada sebelumnya. (hlm. 115)
Saat Keberuntungan Szpilman Diuji
Perasaan pertama yang terbetik di hati bukanlah kecewa karena aku gagal mati, tetapi senang karena aku masih hidup. Bagaimanapun juga, semangat hidupku takkan ternilai harganya. (hlm. 255)
Szpilman mungkin orang Yahudi paling
beruntung di Warsawa saat berlangsungnya Perang Dunia II. Keberuntungan besar
pertama yang menimpanya harus dibayar dengan kehilangan seluruh keluarganya. Saat
itu, Szpilman sekeluarga akhirnya terangkut ke Umschlagplatz. Lalu dari sana, mereka akan diangkut kereta menuju
entah ke mana. Saat hendak naik ke gerbong, tiba-tiba ada yang menarik Szpilman
sehingga ia terpisah dengan keluarganya, tidak jadi naik kereta itu, dan
selamat. Pasalnya, gerbong yang diisi penuh sesak oleh manusia itu nantinya
akan berisi gas yang akan membunuh seisinya.
Berkali-kali nyawanya berada di
pucuk moncong senjata tentara Jerman, tapi berkali-kali pula ia selamat. Hingga
ia jadi satu-satunya orang Yahudi yang masih ada di Warsawa, tinggal di
puing-puing yang tersisa dan bertahan hidup dengan apa yang ada. Pernah, ia
hanya bisa berbaring karena kelaparan. Beruntung, beberapa temannya bersedia
membantu, dengan menyediakan tempat persembunyian dan makanan. Namun, saya
pikir keberuntungan tak akan mendatanginya kalau ia tak pantang menyerah untuk
terus bertahan hidup.
Lalu, ketika ia sedang mencari-cari
makanan yang tersisa di sebuah flat kosong, seorang tentara Jerman menegurnya
dari belakang. Setelah bertahun-tahun berhasil bertahan hidup, apakah kini
Szpilman akan menemui ajalnya? Mungkin, setelah arak, kini permainan pianonya,
entah bagaimana caranya, akan bisa menyelamatkannya.
Setelah Anda dan aku selamat dari neraka jahanam selama lebih dari lima tahun, jelaslah bahwa Tuhan memang menghendaki kita tetap hidup dan kita harus mempercayainya.” (Wilm Hosenfeld, hlm. 290)
Catatan Wilm Hosenfeld
Dusta adalah yang terburuk dan biang dari seluruh kejahatan. Kita semua pernah berdusta; rakyat selalu ditipu. (Wilm, hlm. 319)
Membaca catatan Wilm Hosenfeld, saya
makin penasaran akan sosoknya. Dia adalah tentara Jerman yang tidak ikut turun
ke medan perang (catatan mengenai dirinya diceritakan oleh Wołf Biermann di
bagian penutup). Melalui catatan pribadinya (disertakan di buku ini), saya
mengenal sosoknya sebagai tentara Jerman yang tidak setuju dengan Nazisme dan chauvinisme Jerman. Saya juga menduga
bahwa ia sosok yang religius. Salah satu catatan Hosenfeld menyinggung tentang
pencurian karya seni Polandia oleh Jerman. Hal ini mengingatkan saya akan
pekerjaan Florian di novel Salt to the Sea karya Ruta Sepetys (yang belum berhasil saya tamatkan sampai sekarang
karena plotnya sangaaaaat membosankaaaan).
Sungguh miris ketika Szpilman sempat
lupa padanya. Namun setelah tahu identitas Hosenfeld, Szpilman telah berusaha
membebaskannya, tapi tidak berhasil. Miris, ketika dia akhirnya meninggal di tahanan
Rusia, setelah apa yang ia lakukan: menolong banyak orang di saat ia bisa
memilih untuk tidak menolong mereka.
Kita gemar menyalahkan orang lain, alih-alih diri sendiri. Tuhan membiarkan kejahatan merajalela karena manusia mendukungnya… (Wilm, hlm. 328)
Sayang, Oh, Sayang
Ada beberapa bagian yang
terjemahannya kurang pas, ada kalimat tidak efektif, dan inkonsistensi
berkelanjutan penggunaan kata ganti “aku—saya” dan “kau—Anda” (sudut pandang
Szpilman). (Mungkin kalau penerjemahannya langsung dari bahasa Polandia ke bahasa Indonesia akan lebih bagus.) Misalnya, sejak awal, memakai kata ganti “aku”, tapi di halaman 66
tiba-tiba berganti dengan “saya”. Kemudian, kalimat ini:
Secepat kilat, aku tahu takdir yang sedang menunggu orang-orang di dalam gerbong-gerbong itu. Rambutku berdiri. (hlm. 167)
Mungkin yang dimaksud dengan bagian
yang saya tebalkan adalah “bulu kudukku berdiri”.
Saya tidak familiar dengan bahasa
Polandia, jadi kurang bisa mengingat nama-nama (nama orang, nama jalan, nama
tempat, dan sebagainya). Kadang saya harus membolak-balik halaman sebelumnya
demi mengingat sebuah nama. Banyak konsonan berdempetan, bagaimana cara membacanya?
Aaaarrrrrgggh!
Ada istilah-istilah yang saya tidak
mengerti artinya, dan alangkah sedapnya jika ada catatan kaki yang menyuapi
rasa penasaran saya. Sayangnya tidak ada. Szpilman sering menyebut “orang-orang
SS” dan “Gestapo” (yang terakhir ini oleh Hosenfeld ditulis “G.Sta.Po”). Ada
juga istilah “Lebensraum” , “Reich”. Setelah berselancar di internet, saya
mendapatkan hasil sebagai berikut:
1. SS = singkatan dari “Schutzstaffel”,
suatu organisasi Nazi yang berdiri pada tahun 1925. Awalnya sebagai pengawal
pribadi Adolf Hitler. Kemudian organisasi ini berkembang menjadi salah satu
yang paling kuat dan ditakuti di seluruh Jerman Nazi. Pada Perang Dunia II,
tugas SS beragam, salah satunya menjalankan kamp konsentrasi. (Sumber: History)
2. Gestapo = akronim dari “Geheime
Staatspolizel"), adalah angkatan polisi rahasia Jerman. Tujuan utamanya adalah
memburu siapa saja yang dianggap ancaman bagi Nazi. (Sumber: History Learning Site)
3. Lebensraum = tempat hidup bagi ras
Jerman; hal yang mendasari ekspansi Nazi ke negara-negara di sekitarnya, untuk
menguasai negara tersebut, menyingkirkan ras-ras minoritas, dan menjadikannya
tempat hidup bagi ras Jerman yang berkembang jumlahnya. (Sumber: Holocaust Trc)
4. Reich = kerajaan/kekaisaran (merujuk
pada Jerman). (Sumber: Wikipedia)
Saya pikir, ini adalah salah satu
buku tentang Perang Dunia II yang penting, karena merupakan rekaman tragedi
kemanusiaan yang terjadi di Polandia dari sudut pandang orang Yahudi yang
mengalaminya langsung (dan ajaibnya—selamat). Saya berharap agar Bentang
Pustaka menerbitkannya ulang, dengan perbaikan terjemahan dan editing, serta
sampul baru yang lebih menarik.
Hari-hari yang sulit ini menjadi saksi atas sebuah paradoks yang terjadi pada masa pendudukan tersebut: ban lengan bergambar Bintang David, yang dulu menjadi simbol paling menakutkan, malam ini justru menjadi tanda pelindung, sebuah jaminan keselamatan, setelah orang-orang Yahudi tidak lagi diburu. (hlm. 203)
Rating Saya
Identitas Buku
Judul: The Pianist (terjemahan dari The Pianist terbitan Picador, NY, 2003)
Penulis: Władysław
Szpilman
Penerjemah:
Agung Prihantoro
Penerbit: C
Publishing (Bentang Pustaka)
Cetakan: I,
Maret 2005
Tebal: 354 halaman
ISBN:
979-3062-46-0
0 komentar:
Post a Comment
Your comment is so valuable for this blog ^^