1. Resensi ini tayang juga di Goodreads.
2. Buku ini salah satu hadiah dari Penerbit Mizan saat blio berulang tahun ke-34 (berbulan-bulan yang lalu).
Bila kita bersyukur atas uang yang kita miliki, betapa pun sedikit jumlahnya, kita akan menerima uang lebih banyak lagi. Bila kita bersyukur atas suatu relasi, meski hubungan itu tidak sempurna, relasi itu bakal sempurna. Bila kita bersyukur atas pekerjaan kita saat ini, meski itu bukan pekerjaan idaman, kita akan memperoleh lebih banyak peluang mengejutkan dalam pekerjaan.
(hlm. 38)
Salah satu
hal yang paling sering aku lupa lakukan adalah bersyukur. Selalu ingin yang
lebih dan lebih lagi hingga lupa ada banyak hal yang seharusnya disyukuri.
Ada inspirasi
yang bisa kita petik dari kehidupan sehari-hari, bahkan kehidupan kita sendiri
kalau kita mau melihatnya lebih terperinci. Seperti yang disebut Stephen R. Covey,
“everyday greatness” (hlm. xv). J. Sumardianta, guru SMA Kolese De Britto dan
juga penulis, berawal dari acara pelatihan spiritual guru-guru yayasan sekolah,
bertemu dengan Sutarto, guru senior SMA Kolese Kanisius Jakarta. Kita tidak
tahu ke mana pertemuan-pertemuan dengan orang-orang akan membawa kita, tapi
setiap pertemuan itu pasti berdampak di masa depan. Buku Jatuh 7 Kali Bangkit
8 Kali ini pun lahir dari pertemuan semacam itu, yang juga adalah hasil dari
pengembangan pelatihan spiritual yang mereka ikuti itu. Sumardianta menemukan
dan mencoba menyoroti “everyday greatness” sosok Sutarto yang telah tampak
sejak kecil. Ingatan-ingatan dalam kepala Sutarto itu menemukan “pensieve”-nya
saat dirangkai oleh Sumardianta dengan pembukaan berupa anekdot dan penutup
mengandung hikmah pada setiap bab menjadi buku (yang katanya) inspiratif ini.
*
Tarto lahir
di sebuah dusun di Karanganyar, Jawa Tengah, di keluarga yang serba-kekurangan.
Hari-hari ia lewati sering dengan perut keroncongan. Maka, bubur gurih tanpa
lauk dari beras hasil nempil tetangga
pun layak disyukuri, apa lagi nasi selamatan dari tetangga (bahkan nasi, sayur
lodeh, dan ikan asin adalah makan malam terbaik yang pernah Tarto santap di
masa belia (hlm. 40-41). Sejak kecil mental dan fisiknya terlatih oleh aktivitas
membantu orang tua: angon ternak, mengurus
sawah, menyapu sekolah menggantikan ayahnya yang berhalangan (yang kerap
membuatnya jadi bahan perundungan teman-teman sekolah), bersepeda puluhan
kilometer. Lantas, kekurangan finansial membuatnya jadi kreatif. Berjualan daun
tebu kering, jualan sabun buatan sendiri, jualan jasa bikin undangan, dan
lain-lain, yang berperan mengembangkan jiwa kewirausahaan yang ditekuninya
sampai kini.
(hlm. 76)Saudara itu orang-orang yang terhubung dengan kita karena pertalian darah. Saudara berdimensi fisik. Persaudaraan itu artinya orang-orang yang terhubung dengan kita karena pertalian hati. Persaudaraan berdimensi spiritual.
Dari orang-orang
di sekitarnya dan kebaikan-kebaikan kecil yang mereka berikan, Tarto memetik
inspirasi. Inspirasi ini berperan dalam menguatkan mentalnya dan membantunya
memilih jadi pribadi yang positif meski kerap dirundung ketidakadilan dan
kesulitan hidup. Ia tak lantas jadi pribadi yang menyimpan dendam, malah ia
jadi pribadi yang penuh semangat dan gigih menggapai cita-cita. Orang-orang itu,
antara lain adalah Pak Rajimin, guru kelas IV-nya, yang membantunya berani mengeluarkan
pendapat; Pak Suwito, guru kelas VI-nya, yang membangkitkan cita-citanya untuk
sekolah tinggi; dan tentu saja—Ayah dan Simbok, yang meski kekurangan secara
material, tetap ngotot menyekolahkan anaknya, dan dengan cara mereka sendiri
membangun mental tahan banting Tarto.
*
Terbagi menjadi
tiga bagian, “Mensyukuri Keuntungan Tak Adil”, “3M: Menemani, Melayani, dan
Membela”, dan “Stay Hungry, Stay Foolish”,
buku ini mencoba menarasikan kehidupan Sutarto. Bagian pertama menyoroti masa
kecil hingga remaja yang penuh kesulitan, yang membentuk Tarto jadi orang
dewasa yang hebat. Bagian kedua
menyoroti kontribusi-kontribusi besar dari orang-orang di sekitar Tarto yang
penting bagi keberhasilannya. Bagian ketiga, yang judulnya dikutip dari Steve
Jobs, menyoroti bagaimana Tarto terus menjadi manusia pembelajar. Di bagian
terakhir ini Sumardianta menganyam pendapat-pendapat orang-orang dekat Tarto
tentang sosoknya; dari sudut pandang anaknya, muridnya, rekan kerjanya…. Ketika
menyoroti hubungan Tarto dengan anak sulungnya, hal yang menyentuh adalah
daftar “tiga belas permintaan anak yang mungkin tidak pernah mereka ucapkan” di
halaman 204. Kupikir setiap orang tua harus memahami ini.
Buku ini
terdiri dari bab-bab pendek yang masing-masing mengikuti pola konten: anekdot –
kisah hidup Sutarto – hikmah. Namun ada beberapa bab yang hanya dihuni kisah
inspiratif klise tanpa kisah hidup Tarto. Secara keseluruhan, aku malah
menemukan lebih banyak inspirasi dari bagian anekdot ketimbang kisah hidup Tarto.
Salah satu yang paling mengena ada di Bab 20, yaitu kata-kata Margaret, istri
John Maxwell,
…tidak ada seorang pun di dunia ini yang bertanggung jawab atas kebahagiaanku selain diriku sendiri.
(hlm. 153)
Bisa dibilang,
anekdotnyalah yang menghidupkan buku ini. Banyak anekdot yang menarik, (meski
mungkin beberapa pembaca akan menganggap ini klise) seperti kisah tentang Don
Quixote. Aku juga menemukan beberapa bab yang antara anekdot dan inti serta
penutup bab tidak berkaitan, sehingga terkesan penulis memaksakan keberadaan
anekdot demi mengikuti pola penulisan konten yang telah dijanjikan kepada
pembaca, tak peduli anekdot itu tak terlalu—atau hanya “tidak”—berkaitan dengan
inti cerita. Aku gagal menemukan kaitan antara “tidak perlunya berdebat sia-sia”
dengan perjuangan Tarto membuat SIM dan celetukannya mengenai percaloan. Apakah
mungkin ada kaitannya dengan Tarto yang kesal karena tidak kunjung lulus tes
SIM, lalu berteriak pada petugas, tapi lantas ia tidak melanjutkan dengan
mengajak debat petugas itu? Hm, kupikir tidak. Konteksnya tidak cocok.
Lantas, aku
juga menemukan ketidaksesuaian antara subjudul dengan isi buku. Tak ada yang
salah dengan “Jatuh 7 Kali Bangkit 8 Kali”, tapi aku kurang sreg dengan “Kisah
Para Guru Pemberani yang Menuai Keuntungan dari Ketidakadilan”. Pertama, kisah hidup Sumardianta hanya
menempati satu bab penuh lebih sedikit. Frasa “para guru” itu terasa kurang
adil bagi Sumardianta. Lebih pas kalau “guru” saja, dan seluruh buku ini
tentang Sutarto. Menjadi agak aneh ketika tiba-tiba Sumardianta menyempilkan sedikit
kisah hidupnya di salah satu bab dan lalu memenuhi bab terakhir buku. Kedua, “menuai
keuntungan” kupikir lebih pas jika diganti dengan semacam “menuai pelajaran”. Ketiga,
kata “ketidakadilan” kupikir tidak pas digunakan sebagai subjudul buku yang
ditulis oleh dua insan yang telah berdamai dengan masa lalunya, bahkan telah berhasil
menjadikan masa lalu itu sebagai pembelajaran yang mengantarkan mereka pada kesuksesan. Masa
orang-orang seperti Sutarto dan Sumardianta menganggap masa lalu yang penuh
kesulitan itu sebagai ketidakadilan? Kesannya seperti para pengeluh yang manja.
Lebih pas jika “ketidakadilan” itu diubah menjadi, misalnya, keterbatasan.
Kupikir Bab 29,
Keunggulan Generasi Baby Boomers sangat potensial dikembangkan menjadi ruh utama buku ini. Tujuan penulisan buku
ini apa, sih? Sekadar berbagi inspirasi dari kisah hidup guru yang berhasil
mengubah kesulitan dan keterbatasan hidup jadi kesuksesan? Kalau hanya itu,
buku ini kurang punya keistimewaan. Coba jika tujuannya dijadikan lebih
spesifik: berbagi inspirasi tersebut untuk menunjukkan keunggulan generasi baby boomers ketimbang generasi Y dan
generasi Z, sehingga generasi baby
boomers berhenti memanjakan anak-anaknya (generasi Y dan Z) karena tak
ingin mereka mengalami kesusahan hidup seperti yang dulu mereka alami, dan
generasi Y dan Z itu sendiri pun terpacu semangatnya (hlm. 219-220).
Terlepas dari
itu semua, buku ini telah menebarkan inspirasi dan mengingatkanku untuk selalu
bersyukur, menjadikan tantangan dan keterbatasan sebagai batu pijakan menuju
kesuksesan, dan selalu menghargai relasi-relasi.
Para pemenang memikirkan hal-hal yang sama. Mereka hanya melakukannya dengan cara yang berbeda.
(hlm. 163)
identitas buku
Judul: Jatuh 7 Kali Bangkit 8 Kali: Kisah
Para Guru Pemberani yang Menuai Keuntungan dari Ketidakadilan
Penulis: G. Sutarto & J. Sumardianta
Editor: Ikhdah Henny & Nurjannah Intan
Penerbit: Bentang Pustaka
Cetakan: I,
Maret 2017
Tebal: xxxvi
+ 248 halaman
ISBN:
978-602-291-373-3
Harga: Rp 54.000,00
Ratingku: ⭐⭐1/2
Ratingku: ⭐⭐1/2
0 komentar:
Post a Comment
Your comment is so valuable for this blog ^^