Judul: Zaman Peralihan || Penulis: Soe Hok Gie Editor: Stanley & Aris Santoso Tebal: 308 halaman || Penerbit: Labirin Terbit: Cetakan I, April 2017 ISBN: 978-979-947-1208 Harga: Rp 100.000,00 |
Hanya ada dua pilihan, menjadi apatis atau mengikuti arus. Tetapi aku memilih untuk jadi manusia merdeka.
(Soe Hok Gie)
Pemuda Kritis dengan Hati dan
Kepala yang Sama Besarnya
Halo, Soe Hok Gie. Dari
tulisan-tulisanmu yang terkumpul dalam buku Zaman Peralihan, aku mengenalmu
sebagai pemuda yang sangat idealis, kritis, dan berani menanggung konsekuensi
atas pemikiran-pemikiran kritisnya. Uniknya, kau tak hanya tajam di ranah
pemikiran, tapi juga tajam di ranah tindakan dan kepekaan sosial. Kau seorang
pemikir yang kritis sekaligus seorang populis. Kepala dan hatimu sama
"besar"-nya, dan tanganmu melakukan aksi nyata. Kau gemar menerapkan
dan menguji pengetahuan akademis yang kaumiliki di kehidupan nyata di tengah
masyarakat. Tak hanya berhenti di situ, kau menyuarakan dengan lantang isu-isu
yang kautemukan di tengah masyarakat kepada pemerintah.
Di zaman peralihan dari Orde Lama
ke Orde Baru, pemikiran kritis yang kautuangkan lewat tulisan-tulisan di media
massa membuatmu dikenal secara luas. Kau tak ragu-ragu mengkritik pihak-pihak
yang kau nilai melakukan hal yang tidak benar dengan menyebut nama mereka
terang-terangan. Kau berani mati, ya? Bahkan kau tak ragu mengkritik
teman-temanmu sesama aktivis, yang pada masa peralihan itu banyak beralih
menjadi birokrat dan hidup dalam kenyamanan dari segi materi. Mereka berdalih
bahwa harus ada para pemuda aktivis yang menjadi birokrat agar bisa berperan
dalam menyetir perpolitikan dan birokrasi ke arah yang lebih berpihak pada rakyat.
Tapi, pada akhirnya malah mereka yang “tersetir” hingga lupa akan visi-misi
perjuangan kalian. Sementara kau, kau berprinsip bahwa kau harus tetap berada
di luar arus birokrasi itu agar bisa tetap objektif.
Bangsa yang Susah Move On
Begitu membaca tulisan-tulisanmu di
buku ini, aku tahu bahwa kau anti-komunis dan anti-pemerintahan Soekarno. Setelah
membaca tulisan-tulisanmu berikutnya, aku memahami kenapa kau begitu. Rasa nasionalismemu
begitu tinggi, maka kau anti-komunis karena kau menganggap mereka telah dan
akan mengacaukan persatuan dan kesatuan bangsa. Kau anti-pemerintahan Soekarno
karena mereka korup dan tidak bisa menjalankan pemerintahan dengan benar. Oleh
karena itu, kau secara aktif terus mengkritisi mereka dan menyambut dengan
optimis munculnya pemerintahan Orde Baru. Kau yakin Soeharto akan jadi pemimpin
yang lebih baik daripada Soekarno di masa akhir pemerintahannya. Akan tetapi,
kau tetap kritis terhadap pemerintahan Orde Baru. Stanley Adi Prasetyo, dalam
tulisannya yang termaktub di buku Soe Hok-Gie Sekali Lagi, mengungkap bahwa kau
mengutuk keras tindakan pemerintah Orde Baru dalam pembunuhan orang-orang PKI
pasca-G30S.
Ternyata pemerintahan Orde Baru
tidak lebih baik daripada Orde Lama. Salah satu contohnya adalah dalam hal
pelarangan membaca buku-buku tertentu bagi mahasiswa dan pelarangan terbit
buku-buku tertentu, seperti yang kautulis di halaman 142-144. Pelarangan itu
telah berlangsung sejak pemerintahan Soekarno, dan setelah pemerintahannya
tumbang dan digantikan oleh Soeharto, ternyata keadaan tak jauh berbeda.
Buku-buku tersebut tetap dilarang terbit. Meski begitu, kau tetap optimis,
bahwa suatu saat nanti tak akan ada lagi buku yang dilarang terbit.
Barangkali mimpi-mimpi saya tak pernah akan terlaksana. Tetapi dengan kerja keras, mimpi-mimpi tadi mungkin akan terlaksana.
(hlm. 145)
Lihatlah, sekarang mimpimu itu
sudah tercapai, meski belum seluruhnya. Masih terjadi hal seperti, buku tentang
PKI, komunis, atau yang judulnya ada "Tan Malaka"-nya, tiba-tiba saja
tak bisa kami temukan di toko buku tertentu. Mengapa? Bagaimana? Yah, rupanya bangsa
kita ini susah sekali move on, Soe. Sudah berapa lama bukan kanak lagi—mengutip
Chairil Anwar—tapi masih saja menyimpan paranoia berlebihan dan tak berdasar
terhadap apa pun yang berbau komunisme. Benar katamu, "...perjuangan
melawan prasangka memerlukan waktu yang lama." (hlm. 250).
Melihat Indonesia dari Dekat dan Menemukan Kembali Indonesia dari Jauh
Bangsa yang besar adalah bangsa yang sehat tubuhnya. Pemuda-pemuda sakitan tidak mungkin menyelesaikan tugas-tugas pembangunan. Dan untuk itulah saya selalu mau membawa rombongan mendaki gunung.
(hlm. 58)
Mendaki gunung, menurutmu adalah
salah satu cara untuk melihat Indonesia lebih dekat lewat alam dan masyarakatnya.
Dari situ, akan timbul rasa cinta yang makin dalam terhadap bangsa. Dalam Zaman
Peralihan, kau menuliskan pengalamanmu mendaki Gunung Slamet. Kau juga
mencetuskan ide pembentukan organisasi Mapala UI. Tak hanya melihat Indonesia
dari dekat, kau juga berkesempatan menemukan kembali Indonesia dari jauh, saat
kau tinggal di Amerika Serikat.
Dan 'anehnya' saya merasa bahwa saya lebih mengerti 'Indonesia' setelah saya ada di negeri yang jauh.
(hlm. 228)
Kala kau menyaksikan segregasi
antara kaum kulit hitam dan kulit putih di AS, kau bersyukur menjadi orang
Indonesia. Indonesia dan ke-bhineka-annya yang dipersatukan oleh semangat yang
sama untuk merebut kemerdekaan.
Di New York saya menjadi 'sadar' betapa berharganya warisan kebudayaan kita. Dan rasa bangga sebagai orang Indonesia timbul karena kita merebut kemerdekaan dengan darah.
(hlm. 229)
Dari situ, nasionalismemu terlihat
nyata, terlebih ketika kau bertemu dengan tokoh kaum Tionghoa di AS yang sangat
ingin menunjukkan ke-Tionghoa-annya di tengah masyarakat AS yang multikultur.
Kepadanya kauutarakan pendapatmu yang berseberangan dengan pandangannya.
Saya adalah orang yang mempunyai ide-ide yang berbeda dengan kalian. Bagi generasi muda keturunan Tionghoa di negeri saya, persoalan pokoknya adalah bagaimana mereka dapat mengasimilasi dirinya ke dalam masyarakat mayoritas.
(hlm. 267)
Masyarakat apa yang kalian cita-citakan lima puluh tahun yang akan datang, jika keturunan Eropa memelihara keeropaannya, keturunan Afrika memelihara identitas hitamnya, dan kalian mempertahankan identitas ke-Tionghoa-an?
(hlm. 267)
Namun, Soe, meski kita
membangga-banggakan semboyan "bhineka tunggal ika", kau harus
mengakui bahwa persatuan masyarakat kita ini bak balon yang digelembungkan
berlebihan dan dibiarkan terbang tanpa tali yang mengajaknya tetap membumi. Ia
akan terpapar panas matahari dan cepat atau lambat akan meletus. Keindonesiaan
ini mungkin cuma di permukaan saja. Sedikit tersenggol unsur SARA, langsung
meledak-ledaklah kita atas nama kelompok. Namun memang tak kupungkiri bahwa,
meski langka, tetap ada orang-orang sepertimu yang memegang teguh identitas
keindonesiaan di atas identitas kelompok apa pun.
Terakhir, tahukah kau bahwa sosokmu
terus menginspirasi para pemuda Indonesia? Bahwa kata-katamu yang kautuliskan bertahun-tahun lalu masih dan mungkin akan terus sering dikutip di mana-mana. Namun, aku entah bagaimana, percaya kalau kau tak akan marah karena kata-katamu dijadikan kepsyen foto selfie anak-anak muda di Instagram (yang sering tidak nyambung dengan kata-katamu).[]
0 komentar:
Post a Comment
Your comment is so valuable for this blog ^^