Judul: Persona
Penulis: Fakhrisina Amalia
Editor: Tri Saputra Sakti
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I,
2016
Tebal: 248
halaman
ISBN:
978-602-03-2629-0
Harga: Rp
58.000,00
|
ada apa?
Hidup Azura awalnya bahagia. Keluarga kecilnya, Papa dan Mama
dan dia sendiri, adalah keluarga yang harmonis. Namun sejak Azura SD rasanya
ada yang berubah dari keharmonisan Papa-Mamanya. Dan Azura tidak pernah tahu
apa masalah sebenarnya. Pertengkaran-pertengkaran itu menekan mental Azura
hingga ia menemukan ketenangan lewat irisan-irisan yang ia goreskan di
pergelangan tangannya. Rasa perih itu anehnya terasa menenangkan dan membantu
Azura terlelap.
Di sekolah, Azura tidak pernah punya teman. Sampai SMA pun masih begitu. Ia selalu sendirian, menghabiskan jam istirahat pertama di perpustakaan, di lantai dua gedung sekolahnya, duduk di hadapan jendela perpustakaan untuk menonton permainan sepak bola di lapangan di bawah. Tepatnya yang ia tonton adalah Kak Nara. Cowok yang pernah menolongnya waktu ia terjatuh ke dalam lubang galian di sekolah akibat melamun. Tapi kayaknya Kak Nara tidak pernah mengingatnya lagi, padahal Azura diam-diam menyukai cowok itu.
Semuanya berubah saat Azura kelas XI. Tiba-tiba ada Altair,
murid baru yang sekelas dengan Azura, dan sejak pertama kali bertemu cowok itu
sudah menganggapnya teman. Sejak itu, mereka selalu berdua ke mana-mana. Lama-lama
Azura makin yakin akan perasaannya pada Altair, dan ketika mereka sudah sangat
dekat, tiba-tiba Altair menghilang, meninggalkan Azura bertanya-tanya dan
terluka. Di sisi lain, saat itu hubungan Azura dengan Mama membaik, meskipun
setelah pertengkaran besar terakhir, Papa pergi dari rumah dan tak kembali.
Tahun 2010. Azura telah jadi mahasiswa, dan untuk pertama
kalinya dia punya teman perempuan. Yara namanya. Mereka jadi amat dekat, dan
ketika Azura main ke rumah Yara, dia bertemu dengan abangnya, yang ternyata
adalah… Kak Nara. Kak Nara yang sudah jadi mahasiswa kedokteran. Yara
memberinya keluarga baru, saat ia jarang berinteraksi dengan Mamanya sendiri.
Azura menjalani masa-masa bahagia bersama keluarga barunya: Yara, Ibu, Ayah,
Bara, dan Kak Nara. Namun tiba-tiba Altair muncul kembali, menghadirkan kembali
gempa dalam hidupnya yang telah cukup damai.
sama-sama tentang penyakit mental
Tarik napas dulu.
Fiuh.
Meski aku udah tahu gimana akhirnya (sial, adikku yang udah
baca ini duluan ngasih sopiler 😥 tapi aku tetap
nikmatin bacanya, sih), tetap saja rasanya nyesek. Really depressing.
Oke, begini. Ini adalah novel young adult kedua terbitan GPU yang kubaca; yang pertama adalah Auntuk Amanda, dan sama seperti yang pertama, Persona juga mengangkat
isu penyakit mental dengan tokoh utama anak SMA (yang lalu jadi mahasiswa).
Bedanya, tokoh Amanda dalam A untuk Amanda menderita depresi
karena ia memiliki hidup yang terlalu
sempurna. Ia juga sadar bahwa dia menderita depresi, sifatnya yang sangat
rasional membantu di sini. Nuansanya juga relatif cerah ketimbang Persona,
berkat humor-humor dalam dialog dan pemikiran Amanda.
Namun, dalam Persona tak ada (kalaupun ada, pasti
sangat sangat kecil) celah untuk berhumor. Kenapa? Karena dari awal nuansanya
sudah kelam. Beda dengan Amanda, Azura (eh, namanya sama-sama berawalan huruf
A) diduga menderita depresi karena memang hidupnya menderita. Orang tuanya nggak akur, terancam bercerai; nggak punya
teman; kisah cinta yang nol besar; eh, begitu melewati masa-masa menyenangkan
dengan Altair, cowok itu menghilang tiba-tiba. Beda dengan Amanda yang sadar bahwa dia depresi dan sedang
menjalani serangkaian terapi, Azura tidak sadar kalau dia mengalami penyakit
mental, maka dia tidak mencari pertolongan medis, dan maka kita cuma bisa
menduga kalau dia depresi. Itulah kenapa, kadar depresif kisah ini lebih nyesek
ketimbang A untuk Amanda.
Sudah saatnya kita melek perihal penyakit mental dan peka
terhadap, pertama, diri kita sendiri, dan kedua, orang-orang di sekitar.
Seperti yang baru-baru ini terjadi, Jonghyun Shinee bunuh diri akibat depresi
yang sudah tak tertahankan lagi. Salah satu cara untuk bisa lebih peka adalah
dengan membaca literatur. Tak melulu literatur ilmiah dan nonfiksi terkait,
tapi bisa juga lewat buku fiksi, yang bisa jadi tak kalah efektifnya dalam
memberi pemahaman terkait penyakit mental karena dibawakan dengan cara yang
lebih menyenangkan. Di dalam novel Persona ini, selain penyakit mental,
tema lain yang jadi hidangan utama adalah broken
home dan persahabatan. Ketiganya diramu dengan baik, dengan saling
keterkaitan yang kental.
ada siapa saja?
Sebagai tokoh utama novel ini dan sang narator dengan sudut
pandang orang pertama, Azura jadi sangat saya kenal. Terutama lewat
emosi-emosinya yang meluap-luap dan sering tak tersampaikan. Rasanya aku ingin
memeluknya dan bilang, “Tak apa-apa, kamu tak salah kalau kamu jadi begini. Aku
mengerti. Tapi mari kita pikirkan lagi, apakah kau ingin tetap seperti ini?”
Dengan mudah para pembaca mungkin akan jatuh kasihan terhadap
tokoh ini, tapi aku tidak kasihan, aku hanya mengerti dan entah bagaimana, jadi
merasa menyayangi tokoh Azura. Tapi memang tidak seperti tokoh Amanda yang kuat
dan mandiri, Azura ini tokoh yang sangat tergantung dengan orang lain. Maka,
ketika tak ada orang lain yang bisa ia jadikan sandaran—orang tuanya tak
memberinya kasih sayang yang cukup dan ia tak punya teman—ia hanya punya
dirinya sendiri, tumpukan komik Jepang, dan buku harian yang ia tulisi
kadang-kadang. Maka, wajar setelah kemunculan Altair, ia jadi begitu bergantung
pada cowok itu.
Sementara itu, tokoh Altair yang blasteran Jepang itu bak
tokoh cowok idaman di komik-komik. Ia setia sekali menemani Azura dan jadi
sandarannya, siap menolong kapan pun Azura butuh, bahkan ia juga tetap
mendukung Azura untuk mendekati Kak Nara. Dan ah, betapa romantisnya adegan
Altair menunjukkan pada Azura tiga bintang yang menyusun segitiga musim panas
di langit malam itu setelah mereka menonton Festival Isen Mulang, festival khas
kota Palangka Raya. Namun karena kita mendengarkan cerita dari sudut pandang
orang pertama Azura, kita jadi kurang mengenal Altair, selain masa lalu suramnya
yang hampir mirip dengan kisah Azura: keluarga yang awalnya bahagia, lalu orang
tua yang bertengkar terus, sampai akhirnya bercerai. Bahkan Altair pernah
mencoba bunuh diri setelah perceraian kedua orang tuanya, tapi berhasil
diselamatkan. Sayang sekali, kita tidak tahu bagaimana Altair melewati itu
semua sampai akhirnya pindah ke sekolah yang sama dengan Azura. Namun, jangan
kesal dulu. Memang harus seperti itu—kita tidak tahu banyak tentang
Altair—karena ini tuntutan twist cerita.
Kalau Altair adalah malaikat
yang diberikan Tuhan pada Azura saat SMA, maka Yara adalah malaikat yang diberikan pada Azura sejak awal kuliah sampai
sekarang. Yara, yang bawel, spontan, penuh perhatian, cocok sekali dengan
kepribadian Azura. Sungguh, di sini aku membaca kisah persahabatan sejati. Bahkan
Yara memberikan keluarga baru bagi Azura, suatu berkah yang tak terkira
berharganya. Keluarga yang antitesis dari keluarga asli Azura. Sementara itu,
belakangan aku tahu bahwa dulunya Kak Nara bak malaikat rahasia, yang ternyata
memperhatikan Azura tapi cewek itu tidak sadar. Nah, di masa kini, Kak Nara
menjelma salah satu malaikat bagi Azura setelah Altair menghilang. Dan yah, aku
tak tahu banyak tentang diri Kak Nara karena bintang utamanya memang Azura.
Azura memang menjalani masa bahagia bersama keluarga barunya,
tapi keluarga lamanya tetaplah keluarga yang rusak. Membaca sosok orang tua
Azura, aku jadi teringat sosok orang tua Salva di novel Di Tanah Lada. Kalau sang
Papa memang jelas-jelas bajingan,
sang Mama adalah sosok yang juga bajingan
tapi tidak jelas-jelas. Setelah kepergian Papa, dengan dalih menghidupi
keluarga, Mama bekerja terus sampai tak punya waktu untuk Azura. Awalnya Azura
memahami ini: Papa menjadi sewenang-wenang karena menganggap Mama dan Azura tak
bisa hidup tanpa uangnya; maka
sebagai bentuk pemberontakan dan pembuktian, Mama bekerja sendiri. Namun
belakangan, kita tahu bahwa Mama bekerja tidak dengan cara yang benar. Ia cuma keluar dari mulut singa untuk masuk ke mulut
singa lainnya. Lingkaran setan, ya. Dan tanpa Mama sadari, kelakuannya ini makin
menghancurkan Azura yang sudah hancur.
plot dan twist dari twist
Plot maju dan mundur yang diusung cerita ini terbagi jadi dua
bagian: Keping Pertama menceritakan
hidup Azura sejak awal kemunculan Altair sampai menghilangnya cowok itu dan Keping Kedua menceritakan hidup Azura
setelahnya, sejak awal kuliah, bertemu Yara, sampai ia mengetahui rahasia
tentang dirinya sendiri yang pengungkapannya dibantu oleh keluarga Yara. Penggunaan
gaya alur ini sudah pas menurutku. Bagian flashback
menyediakan cukup amunisi bagi kita untuk mengerti apa yang dialami Azura di
masa lalu. Bagian alur majunya mengajak kita terus mengikuti perkembangan kisah
Azura.
Oya, meski banyak adegan bagian Keping Pertama terjadi di sekolah, anehnya, pihak sekolah sama
sekali (tak ditunjukkan) menunjukkan perhatian terhadap “keanehan” Azura.
Apakah se-menutup-mata itukah pihak sekolah? Atau memang penulisnya hanya tidak
merasa perlu mengeksplorasi hal ini.
Bagiku, twist-nya
sudah bukan lagi jadi twist, ingat,
kan, adikku membocorkannya padaku. Tapi meski belum dikasih bocoran, kayaknya
aku bisa nebak karena menurutku penulisnya dengan baik hati memberikan
petunjuk-petunjuk yang cukup memadai. Di sini pemilihan sudut pandang orang
pertama Azura mendukung suksesnya twist
yang ini. Tapi, tapi, yang bikin aku terguncang justru bagian ending, yang merupakan twist dari twist sebelumnya. Kampret sekali! Mungkinkah, mungkinkah? Tapi, kok
bisa-bisanya ada bukti fisik? Aku, yang mencoba mencari penjelasan logis,
akhirnya cuma bisa mereka-reka penjelasan yang berangkat dari penuturan Azura
yang kadang unreliable. Jangan-jangan
dia sendiri yang secara tidak sadar telah membuat bukti fisik itu untuk dirinya
sendiri, dan lalu dia tidak ingat sama sekali? Entahlah. Aaaarrrggh!!
mengapa rasi bintang dan “persona”?
Mengapa sampul novel ini bergambarkan rasi bintang? Dan
kenapa judulnya “Persona”?
Rasi bintang memang secara gamblang cuma muncul
sekali, yaitu saat Altair menjelaskan tentang segitiga musim panas pada Azura.
Tapi sesungguhnya lewat Altair, yang namanya sama dengan bintang paling terang
di rasi Aquila itu, bintang selalu hadir dalam kisah ini. Bintang yang
menerangi kehidupan Azura yang suram. Altair sendiri berasal dari kata Arab
yang berarti “elang terbang”. Elang terbang yang lalu menclok ke kehidupan Azura yang bak tebing tinggi terjal
tersembunyi. Tapi, yah, namanya elang, dia pasti akan terbang lagi entah ke
mana. Gambar sampul novel ini pas sekali, kan.
Rasi Aquila Sumber di sini. |
Kemudian erat kaitannya dengan Festival Tanabata yang menjadi
favorit Altair, festival tersebut berasal dari Festival Qixi dari Cina. Tujuan
festival ini untuk merayakan bertemunya dewi Orihime (diwakili oleh bintang
Vega) dan dewa Hikoboshi (diwakili oleh bintang Altair), sepasang kekasih yang
terpisahkan oleh Bima Sakti dan hanya bisa bertemu setahun sekali (sumber di sini).
Cocok sekali dengan Altair dan Azura yang “terpisahkan” tapi sayangnya tak mesti
bertemu setahun sekali.
Orihime dan Hikoboshi yang terpisahkan oleh Bima Sakti. Sumber di sini. |
Pemilihan judul novel ini sendiri menurutku memikat sekali.
“Persona” merupakan turunan dari bahasa Latin yang artinya topeng atau karakter
yang dimainkan oleh aktor. Dalam bidang analisis sastra, “persona” sering
dikaitkan dengan narator bersudut pandang orang pertama (sumber di sini).
Kalau di novel ini berarti Azura adalah “persona” dari sang penulis. Kalau
dalam bidang psikologi Jungian,
Gampangnya, persona ini adalah topeng yang ditampilkan seseorang pada dunia. Atau topeng yang seseorang kenakan pada orang lain. Jung juga menyebut persona sebagai “diri yang tak sadar”. Dalam novel ini, barangkali “diri tak sadar” Azura telah terlalu jauh mengambil alih dirinya yang sebenarnya. (Maaf, aku tak bisa menuliskan lebih banyak lagi tentang ini karena pasti akan jadi sopiler.)
“Persona pada dasarnya tak nyata. Ia merupakan kompromi antara individu dengan masyarakat…., apa yang seseorang harus ‘kelihatan seperti’. Persona adalah suatu kemiripan, realita dua dimensi….”(kuterjemahkan bebas dari Two Essays on Analytical Psychology karya Carl G. Jung, hlm. 165, terbitan Bailliere, Tindall and Cox, London, 1928. Akses saya dapat di sini).
Gampangnya, persona ini adalah topeng yang ditampilkan seseorang pada dunia. Atau topeng yang seseorang kenakan pada orang lain. Jung juga menyebut persona sebagai “diri yang tak sadar”. Dalam novel ini, barangkali “diri tak sadar” Azura telah terlalu jauh mengambil alih dirinya yang sebenarnya. (Maaf, aku tak bisa menuliskan lebih banyak lagi tentang ini karena pasti akan jadi sopiler.)
pada akhirnya
Ini pertama
kalinya aku membaca karya Fakhrisina Amalia, dan ini adalah perkenalan yang
sangat baik. Setelah A untuk Amanda, novel ini jadi YA
lokal terbitan GPU kedua yang jadi favoritku. Ide yang menarik dan masih jarang
dieksekusi dalam literatur YA dalam negeri dipadukan dengan eksekusi yang baik.
Sungguh memikat dan mematahkan hatiku, persis seperti yang ditulis oleh penulis
di bagian Ucapan Terima Kasih:
Aku menulis Persona untuk mereka yang jatuh cinta dan patah hati di saat yang bersamaan.
(Fakhrisina Amalia)
0 komentar:
Post a Comment
Your comment is so valuable for this blog ^^