Cover depan |
Judul Buku : Partitur
Dua Musim
Penulis : Farrahnanda
Tebal : 348
halaman
Penerbit/cetakan : de TEENS/Cetakan pertama, April 2014
ISBN :
978-602-255-528-5
“Aku tidak pernah melihatnya muncul di video. Makanya, dulu kupikir Scarlet adalah nama lain. Kalian hanya satu orang. Kau berpura-pura menggunakan nama Scarlet saat menjadi komposer.” (halaman 129 – 130)
Scarlet dan Crimson
Laroux memang bukanlah satu orang.
Melainkan, mereka
adalah dua orang laki-laki kembar. Salah satunya, yang berambut merah bara
bernama Crimson, sedangkan lainnya adalah Scarlet—yang berambut merah darah.
Agak membingungkan, lantaran warna rambut mereka berlawanan dengan nama mereka.
Lantas, apa
istimewanya dua kembar asal Perancis itu?
Scarlet, pengidap
sindrom Asperger, adalah komposer musik klasik berbakat. Ia bisa menghabiskan
waktu semalam penuh tanpa tidur jika sedang menyelesaikan sebuah lagu, violin
sonata, misalnya. Tapi, sindrom yang ia derita itu membuatnya enggan tampil di
depan umum. Ia juga tidak suka dengan sentuhan. Oleh karena itu, Crimson-lah
yang memainkan lagu-lagu karyanya dengan piano, merekamnya, dan mengunggah
videonya ke Youtube, dengan nama sebutan “The Red”. Sedangkan audionya diunggah ke i-Tunes. Dari hasil penjualan
lagu-lagu itulah mereka mendapat penghasilan.
Karier mereka
berjalan seperti biasa, hingga sebuah tawaran fantastis datang. Monsieur
Barnabe meminta mereka membuatkan sebuah simfoni untuk perayaan ulang tahun
putrinya. Tawaran itu fantastis tidak hanya karena mereka belum pernah membuat
simfoni sebelumnya. Tidak. Yang sangat tidak biasa adalah jumlah bayaran yang
dia tawarkan. 500 ribu dollar Kanada!
Setelah mengiyakan
tawaran M. Barnabe, Crimson baru sadar bahwa mereka butuh orkestra untuk memainkan
simfoni itu nantinya. Apakah Scarlet bisa menyelesaikan simfoni itu dalam waktu
kurang dari satu bulan? Apakah nantinya mereka akan mendapatkan bantuan
orkestra untuk memainkannya?
Tibalah hari
perayaan ulang tahun Monique Barnabe. Di pesta itu, si Kembar Laroux bertemu dengan
Elena Dvorakova, desainer kostum pesta mereka. Gadis eksentrik itu jatuh cinta
pada Scarlet sejak pandangan pertama. Namun, karena kelainan yang diidapnya,
Scarlet sulit untuk bisa membalas perasaan gadis itu. Sementara itu, Crimson
menjalin hubungan dengan Monique, gadis yang sepuluh tahun lebih muda daripada
dia. Tapi, sebenarnya, Crimson lebih menyukai Elena, dan terlibat hubungan aneh
dengannya. Ketika hubungan gelap itu ketahuan oleh Scarlet, kekacauan tak
terhindarkan!
Belum lagi, M.
Barnabe seolah menyimpan sebuah rahasia. Bagaimana ia bisa begitu
mengenal si Kembar Laroux, padahal belum pernah bertemu mereka sebelumnya. Bagaimana
M. Barnabe mengetahui sebuah “dosa” yang pernah si Kembar lakukan delapan tahun
lalu—berkaitan dengan dua buah biola Stradivarius?
***
Sinopsis yang
tertulis di sampul belakang berhasil membuat saya penasaran. Apalagi
dikompor-kompori oleh sebuah testimoni yang berkata, “Saya selalu benci pada
kisah-kisah yang tak tuntas, tapi memang begitulah sejatinya sebuah kisah. Dan
Farrahnanda berhasil membuat saya semakin benci pada kenyataan tersebut.”
Wah, saya langsung
deg-degan. Novel yang akan saya baca ini—tidak tuntas? How can it be?
Pertama-tama, saya
hendak memuji sang penulis atas kegigihannya dalam melakukan riset. Dapat
dibaca pada lembar ucapan terima kasihnya yang dipenuhi ucapan terima kasih
untuk orang-orang—mulai dari dokter, hingga orang Ceko—yang telah berjasa
memberinya informasi terkait materi untuk menulis novel ini. Sungguh, patut
diacungi empat jempol (bentar, saya mau copot kaus kaki dulu. Ups, maaf, bau,
hehehe), bahwasanya penulis mampu menggambarkan berbagai pengetahuan musik,
sindrom Asperger, penyakit bipolar, dengan baik. Saat membaca bagian sudut
pandang Scarlet, pemikiran-pemikirannya yang hampir selalu seputar musik,
terasa sangat meyakinkan. Juga kelakuan anehnya akibat pengaruh sindrom
Asperger, juga dapat tergambarkan dengan baik.
Kemudian, saat
membaca bagian sudut pandang Elena, dengan mood-nya
yang berubah-ubah, suara-suara aneh yang merecoki pikirannya, tingkah anehnya,
sudah menggambarkan “seorang gadis penderita bipolar”. Ditambah lagi dengan
sifat kepedeannya yang bikin saya
berdecak, antara miris dan pengin tertawa. Juga ada adegan—yang bagi saya
lucu—di halaman 69, saat Elena tiba-tiba melompati sofa dan merasa bagai
seorang atlet, hingga orang-orang di sekitarnya menatapnya heran. Sumpah, nih
orang nggak jelas banget! Hahaha.
“Ah, dengan begini, sebentar lagi pasti Channel akan melirik desainku. Kemudian, diikuti sejumlah brand ternama lainnya. Siapa yang tidak terpikat pada gaun seindah ini? Semua akan terpesona!” – Elena (halaman 59)“Mereka semua tertegun. Pasti kaget sekali karena darah seni yang kumiliki begitu luar biasa!” – Elena (halaman 69) à adegan lucu“Ah, tidak usah memuji. Kehebatanku memang begini, di luar rata-rata manusia.” – Elena (halaman 131)
Kedua, gaya bahasa
yang digunakan penulis sudah pas dan konsisten. Pas, dalam artian, gaya bahasa
seperti itu sesuai untuk realita cerita yang ber-setting luar negeri, dan ber-tokoh-kan orang-orang bule. Jadi kayak
berasa baca buku terjemahan gitu. Konsisten, dalam artian, pembaca tidak akan
tiba-tiba mendapat percakapan yang mengandung kata-kata gaul semacam, “eh, gayamu
nggak banget, deh!”.
Tapi, di sisi lain,
konsistensi ini malah menusuk penulis dari belakang. Ia menyebabkan sudut
pandang yang berganti-ganti antara tokoh
Scarlet, Crimson, dan Elena menjadi kurang berefek. Jika tidak ada keterangan
nama orang yang menjadi tokoh “aku” sebelum pergantian sudut pandang, maka kita
sulit untuk mengetahui tokoh “aku” ini sebenarnya laki-laki atau perempuan.
Bahkan, menurut saya, jalan pikiran Scarlet dan Crimson masih kurang “laki”.
Memang, merupakan suatu kesulitan tersendiri ketika seorang penulis menjelma
jadi tokoh “aku” yang jenis kelaminnya berbeda dengannya. Tak lain dan tak
bukan adalah karena cara pikir laki-laki dan perempuan sangat bertolak
belakang. Penulis yang bisa melakukannya dengan lihai, contohnya adalah Moemoe
Rizal, yang menjelma jadi tokoh “aku” berjenis kelamin cewek, dalam “Glam
Girls”. Atau, Farida Susanty, yang mampu benar-benar bikin tokoh utama cowoknya sangat "cowok", dalam “....
dan Hujan pun Berhenti”.
Ketiga, riset yang
dilakukan oleh penulis, seputar setting tempat
(Kanada) dan budaya masyarakat di sana, berhasil menghidupkan suasana dalam
novel ini. Termasuk juga beberapa jenis masakan khas yang disebut-sebut
penulis, seperti ratatouille (eh,
jadi teringat tikus besar asal Perancis, yang pintar memasak, hehehe), svickova na smetane, poutine, dan lecsó.
Keempat, ada
beberapa hal yang membuat saya tertegun dan bertanya-tanya, “Sebenarnya, ini
maksudnya gimana?”
“Apa masih terasa sakit, Crimson?” tanyaku khawatir.Dia melambaikan tangan. Untuk apa? Aku tidak akan pergi ke mana-mana dengan berbalut bathrobe, kan? Dia tidak menjawab pertanyaanku. (halaman 30)
Nah, ceritanya,
Scarlet tidak sengaja menyodok rusuk Crimson, hingga kesakitan. Tapi, dalam
petikan dialog di atas, tidak ada korelasi antara kalimat pertama yang
dilontarkan Scarlet dengan kalimat berikutnya. Apa hubungan antara “Crimson
melambaikan tangan” dan “aku tidak akan pergi ke mana-mana dengan berbalut bathrobe”?
Berikutnya, kalimat
yang menunjukkan pemikiran Elena berikut ini.
“Tentu, dia pasti senang aku mengunjunginya. Jam sembilan sore.” – Elena (halaman 106)
Saya merasa ada
yang janggal dengan penyebutan “jam sembilan sore”. Mungkin memang di sana, jam
sembilan malam itu masih terbilang “sore”. Iyakah—atau tidak? Maaf, jika memang iya, karena saya tidak tahu. Hehehe.
Tak ketinggalan, kalimat
berikut ini, yang terasa tidak logis.
“Kuah lecsó membantu tenggorokan yang terasa dehidrasi bisa meluncur ke perut.” – Elena (halaman 265)
Seharusnya, mungkin
bisa ditulis seperti ini, “Kuah lecsó
membasahi kerongkongan yang sedari
tadi dehidrasi, sebelum ia meluncur ke perut.”
Kelima, kadang-kadang
penulis menggambarkan suatu kejadian dengan terlalu detail dalam urutan
perstiwanya. Seperti yang tertulis pada halaman 267, dengan Scarlet sebagai
tokoh “aku”
“Sambungan terputus setelah aku menyahut setuju. Segera, aku mengambil bathrobe baru dari dalam wardrobe, kemudian berjalan turun ke kamar mandi. Saklar di sisi kanan pintu masuk kutekan. Bathrobe yang masih terlipat kuletakkan di atas washtafel, di bawah cermin persegi. Aku menyetel keran air hangat, menyalakan pancuran, menanggalkan pakaian, lalu kuletakkan di keranjang pakaian kotor dekat pintu kamar mandi.....”
Keenam, saya merasa ada satu
bagian dari sinopsis di sampul belakang yang tidak sesuai dengan isi cerita,
yaitu tentang “Scarlet yang adalah seorang aseksual”. Dalam KBBI, “aseksual”
berarti:
(1) tanpa kelamin atau memiliki organ kelamin yang kurang fungsinya; (2) tanpa hubungan kelamin; (3) diproduksi tanpa melalui
kegiatan seksual atau berkembang secara berlainan. Nah, di dalam novel ini,
sejauh yang saya tangkap adalah Scarlet tidak suka disentuh. Bahkan,
pertengkaran hebat yang terjadi antara dirinya dengan Elena adalah akibat
Scarlet tidak suka disentuh oleh gadis itu, atau mungkin juga karena ia tidak
memiliki ketertarikan seksual dengan orang lain; tapi bukan karena ia aseksual.
“Aku tidak suka disentuh! Aku tidak suka!” Spontan, aku mendorong wanita itu sampai dia tergeledak. – Scarlet (halaman 136)
Ketujuh, penulis
berhasil menanamkan ide cerita yang unik! Saya paling menantikan dan penasaran
akan kisah pencurian dua biola Stradivarius. Tapi sayangnya....
Dan, yang bikin
saya kesal sekali adalah....poin ketujuh ini....
Di akhir novel,
petualangan baru hendak dimulai! Beneran, deh, novel ini harus ada sekuelnya!
Ini bukan jenis akhir cerita menggantung yang dapat dimaklumi. Ini bukan “menggantung”
lagi namanya, melainkan “benar-benar belum selesai”!
AAAARRRRRGGGGGHHHHHHH!!!!
Saking gemasnya, saya pengin bikin sekuelnya sendiri—dengan versi saya! Wkwk!
Bonus:
Video trailer bikinan sang penulis http://www.youtube.com/watch?v=vP9lnfAq-W8
Foto masakan.
Foto masakan.
Lecso http://www.femina.hu/recept/tokeletes_lecso |
Ratatouille https://food52.com/blog/2463-alice-waters-ratatouille |
nice review, thank you :)
ReplyDeletewith pleasure ^^
ReplyDeleteSalam kenal.. keren banget review nya.. jadi naksir buku ini deh. Btw setau saya salah satu ciri sindroma Asperger adalah, ketertarikan pada rincian sedetil-detilnya. Jadi wajar aja kayaknya Scarlet berperilaku atau bernarasi dg cara spt itu. :)
ReplyDeleteBtw, kata penulisnya, buku ini bakal ada sekuelnya ^^
ReplyDeleteOh gitu, toh, pantesan.... Terima kasih atas masukannya :D