26 May 2014

Resensi PARTITUR DUA MUSIM - "Il N'est Pas"

Cover depan



Judul Buku                      : Partitur Dua Musim
Penulis                             : Farrahnanda
Tebal                                : 348 halaman
Penerbit/cetakan              : de TEENS/Cetakan pertama, April 2014
ISBN                                : 978-602-255-528-5

“Aku tidak pernah melihatnya muncul di video. Makanya, dulu kupikir Scarlet adalah nama lain. Kalian hanya satu orang. Kau berpura-pura menggunakan nama Scarlet saat menjadi komposer.” (halaman 129 – 130)

Scarlet dan Crimson Laroux memang bukanlah satu orang.

Melainkan, mereka adalah dua orang laki-laki kembar. Salah satunya, yang berambut merah bara bernama Crimson, sedangkan lainnya adalah Scarlet—yang berambut merah darah. Agak membingungkan, lantaran warna rambut mereka berlawanan dengan nama mereka.

Lantas, apa istimewanya dua kembar asal Perancis itu?

Scarlet, pengidap sindrom Asperger, adalah komposer musik klasik berbakat. Ia bisa menghabiskan waktu semalam penuh tanpa tidur jika sedang menyelesaikan sebuah lagu, violin sonata, misalnya. Tapi, sindrom yang ia derita itu membuatnya enggan tampil di depan umum. Ia juga tidak suka dengan sentuhan. Oleh karena itu, Crimson-lah yang memainkan lagu-lagu karyanya dengan piano, merekamnya, dan mengunggah videonya ke Youtube, dengan nama sebutan “The Red”. Sedangkan audionya diunggah ke i-Tunes. Dari hasil penjualan lagu-lagu itulah mereka mendapat penghasilan.

Karier mereka berjalan seperti biasa, hingga sebuah tawaran fantastis datang. Monsieur Barnabe meminta mereka membuatkan sebuah simfoni untuk perayaan ulang tahun putrinya. Tawaran itu fantastis tidak hanya karena mereka belum pernah membuat simfoni sebelumnya. Tidak. Yang sangat tidak biasa adalah jumlah bayaran yang dia tawarkan. 500 ribu dollar Kanada!

Setelah mengiyakan tawaran M. Barnabe, Crimson baru sadar bahwa mereka butuh orkestra untuk memainkan simfoni itu nantinya. Apakah Scarlet bisa menyelesaikan simfoni itu dalam waktu kurang dari satu bulan? Apakah nantinya mereka akan mendapatkan bantuan orkestra untuk memainkannya?

Tibalah hari perayaan ulang tahun Monique Barnabe. Di pesta itu, si Kembar Laroux bertemu dengan Elena Dvorakova, desainer kostum pesta mereka. Gadis eksentrik itu jatuh cinta pada Scarlet sejak pandangan pertama. Namun, karena kelainan yang diidapnya, Scarlet sulit untuk bisa membalas perasaan gadis itu. Sementara itu, Crimson menjalin hubungan dengan Monique, gadis yang sepuluh tahun lebih muda daripada dia. Tapi, sebenarnya, Crimson lebih menyukai Elena, dan terlibat hubungan aneh dengannya. Ketika hubungan gelap itu ketahuan oleh Scarlet, kekacauan tak terhindarkan!

Belum lagi, M. Barnabe seolah menyimpan sebuah rahasia. Bagaimana ia bisa begitu mengenal si Kembar Laroux, padahal belum pernah bertemu mereka sebelumnya. Bagaimana M. Barnabe mengetahui sebuah “dosa” yang pernah si Kembar lakukan delapan tahun lalu—berkaitan dengan dua buah biola Stradivarius?
***

Sinopsis yang tertulis di sampul belakang berhasil membuat saya penasaran. Apalagi dikompor-kompori oleh sebuah testimoni yang berkata, “Saya selalu benci pada kisah-kisah yang tak tuntas, tapi memang begitulah sejatinya sebuah kisah. Dan Farrahnanda berhasil membuat saya semakin benci pada kenyataan tersebut.”

Wah, saya langsung deg-degan. Novel yang akan saya baca ini—tidak tuntas? How can it be?

Pertama-tama, saya hendak memuji sang penulis atas kegigihannya dalam melakukan riset. Dapat dibaca pada lembar ucapan terima kasihnya yang dipenuhi ucapan terima kasih untuk orang-orang—mulai dari dokter, hingga orang Ceko—yang telah berjasa memberinya informasi terkait materi untuk menulis novel ini. Sungguh, patut diacungi empat jempol (bentar, saya mau copot kaus kaki dulu. Ups, maaf, bau, hehehe), bahwasanya penulis mampu menggambarkan berbagai pengetahuan musik, sindrom Asperger, penyakit bipolar, dengan baik. Saat membaca bagian sudut pandang Scarlet, pemikiran-pemikirannya yang hampir selalu seputar musik, terasa sangat meyakinkan. Juga kelakuan anehnya akibat pengaruh sindrom Asperger, juga dapat tergambarkan dengan baik.

Kemudian, saat membaca bagian sudut pandang Elena, dengan mood-nya yang berubah-ubah, suara-suara aneh yang merecoki pikirannya, tingkah anehnya, sudah menggambarkan “seorang gadis penderita bipolar”. Ditambah lagi dengan sifat kepedeannya yang bikin saya berdecak, antara miris dan pengin tertawa. Juga ada adegan—yang bagi saya lucu—di halaman 69, saat Elena tiba-tiba melompati sofa dan merasa bagai seorang atlet, hingga orang-orang di sekitarnya menatapnya heran. Sumpah, nih orang nggak jelas banget! Hahaha.

“Ah, dengan begini, sebentar lagi pasti Channel akan melirik desainku. Kemudian, diikuti sejumlah brand ternama lainnya. Siapa yang tidak terpikat pada gaun seindah ini? Semua akan terpesona!” – Elena (halaman 59)
“Mereka semua tertegun. Pasti kaget sekali karena darah seni yang kumiliki begitu luar biasa!” – Elena (halaman 69) à adegan lucu
“Ah, tidak usah memuji. Kehebatanku memang begini, di luar rata-rata manusia.” – Elena (halaman 131)

Kedua, gaya bahasa yang digunakan penulis sudah pas dan konsisten. Pas, dalam artian, gaya bahasa seperti itu sesuai untuk realita cerita yang ber-setting luar negeri, dan ber-tokoh-kan orang-orang bule. Jadi kayak berasa baca buku terjemahan gitu. Konsisten, dalam artian, pembaca tidak akan tiba-tiba mendapat percakapan yang mengandung kata-kata gaul semacam, “eh, gayamu nggak banget, deh!”.

Tapi, di sisi lain, konsistensi ini malah menusuk penulis dari belakang. Ia menyebabkan sudut pandang  yang berganti-ganti antara tokoh Scarlet, Crimson, dan Elena menjadi kurang berefek. Jika tidak ada keterangan nama orang yang menjadi tokoh “aku” sebelum pergantian sudut pandang, maka kita sulit untuk mengetahui tokoh “aku” ini sebenarnya laki-laki atau perempuan. Bahkan, menurut saya, jalan pikiran Scarlet dan Crimson masih kurang “laki”. Memang, merupakan suatu kesulitan tersendiri ketika seorang penulis menjelma jadi tokoh “aku” yang jenis kelaminnya berbeda dengannya. Tak lain dan tak bukan adalah karena cara pikir laki-laki dan perempuan sangat bertolak belakang. Penulis yang bisa melakukannya dengan lihai, contohnya adalah Moemoe Rizal, yang menjelma jadi tokoh “aku” berjenis kelamin cewek, dalam “Glam Girls”. Atau, Farida Susanty, yang mampu benar-benar bikin tokoh utama cowoknya sangat "cowok", dalam “.... dan Hujan pun Berhenti”.

Ketiga, riset yang dilakukan oleh penulis, seputar setting tempat (Kanada) dan budaya masyarakat di sana, berhasil menghidupkan suasana dalam novel ini. Termasuk juga beberapa jenis masakan khas yang disebut-sebut penulis, seperti ratatouille (eh, jadi teringat tikus besar asal Perancis, yang pintar memasak, hehehe), svickova na smetane, poutine, dan lecsó.

Keempat, ada beberapa hal yang membuat saya tertegun dan bertanya-tanya, “Sebenarnya, ini maksudnya gimana?”

“Apa masih terasa sakit, Crimson?” tanyaku khawatir.
Dia melambaikan tangan. Untuk apa? Aku tidak akan pergi ke mana-mana dengan berbalut bathrobe, kan? Dia tidak menjawab pertanyaanku. (halaman 30)

Nah, ceritanya, Scarlet tidak sengaja menyodok rusuk Crimson, hingga kesakitan. Tapi, dalam petikan dialog di atas, tidak ada korelasi antara kalimat pertama yang dilontarkan Scarlet dengan kalimat berikutnya. Apa hubungan antara “Crimson melambaikan tangan” dan “aku tidak akan pergi ke mana-mana dengan berbalut bathrobe”?

Berikutnya, kalimat yang menunjukkan pemikiran Elena berikut ini.

“Tentu, dia pasti senang aku mengunjunginya. Jam sembilan sore.” – Elena (halaman 106)

Saya merasa ada yang janggal dengan penyebutan “jam sembilan sore”. Mungkin memang di sana, jam sembilan malam itu masih terbilang “sore”. Iyakah—atau tidak? Maaf, jika memang iya, karena saya tidak tahu. Hehehe.

Tak ketinggalan, kalimat berikut ini, yang terasa tidak logis.

 “Kuah lecsó membantu tenggorokan yang terasa dehidrasi bisa meluncur ke perut.” – Elena (halaman 265)

Seharusnya, mungkin bisa ditulis seperti ini, Kuah lecsó membasahi kerongkongan yang sedari tadi dehidrasi, sebelum ia meluncur ke perut.”

Kelima, kadang-kadang penulis menggambarkan suatu kejadian dengan terlalu detail dalam urutan perstiwanya. Seperti yang tertulis pada halaman 267, dengan Scarlet sebagai tokoh “aku”

“Sambungan terputus setelah aku menyahut setuju. Segera, aku mengambil bathrobe baru dari dalam wardrobe, kemudian berjalan turun ke kamar mandi. Saklar di sisi kanan pintu masuk kutekan. Bathrobe yang masih terlipat kuletakkan di atas washtafel, di bawah cermin persegi. Aku menyetel keran air hangat, menyalakan pancuran, menanggalkan pakaian, lalu kuletakkan di keranjang pakaian kotor dekat pintu kamar mandi.....”

Keenam, saya merasa ada satu bagian dari sinopsis di sampul belakang yang tidak sesuai dengan isi cerita, yaitu tentang “Scarlet yang adalah seorang aseksual”. Dalam KBBI, “aseksual” berarti:

(1) tanpa kelamin atau memiliki organ kelamin yang kurang fungsinya; (2) tanpa hubungan kelamin; (3) diproduksi tanpa melalui kegiatan seksual atau berkembang secara berlainan. Nah, di dalam novel ini, sejauh yang saya tangkap adalah Scarlet tidak suka disentuh. Bahkan, pertengkaran hebat yang terjadi antara dirinya dengan Elena adalah akibat Scarlet tidak suka disentuh oleh gadis itu, atau mungkin juga karena ia tidak memiliki ketertarikan seksual dengan orang lain; tapi bukan karena ia aseksual.

“Aku tidak suka disentuh! Aku tidak suka!” Spontan, aku mendorong wanita itu sampai dia tergeledak. – Scarlet (halaman 136)

Ketujuh, penulis berhasil menanamkan ide cerita yang unik! Saya paling menantikan dan penasaran akan kisah pencurian dua biola Stradivarius. Tapi sayangnya....
Dan, yang bikin saya kesal sekali adalah....poin ketujuh ini....

Di akhir novel, petualangan baru hendak dimulai! Beneran, deh, novel ini harus ada sekuelnya! Ini bukan jenis akhir cerita menggantung yang dapat dimaklumi. Ini bukan “menggantung” lagi namanya, melainkan “benar-benar belum selesai”!

AAAARRRRRGGGGGHHHHHHH!!!! Saking gemasnya, saya pengin bikin sekuelnya sendiri—dengan versi saya! Wkwk!

Bonus:



Video trailer bikinan sang penulis http://www.youtube.com/watch?v=vP9lnfAq-W8 
Foto masakan.
Lecso
http://www.femina.hu/recept/tokeletes_lecso
 

Ratatouille
https://food52.com/blog/2463-alice-waters-ratatouille


4 comments:

  1. Salam kenal.. keren banget review nya.. jadi naksir buku ini deh. Btw setau saya salah satu ciri sindroma Asperger adalah, ketertarikan pada rincian sedetil-detilnya. Jadi wajar aja kayaknya Scarlet berperilaku atau bernarasi dg cara spt itu. :)

    ReplyDelete
  2. Btw, kata penulisnya, buku ini bakal ada sekuelnya ^^
    Oh gitu, toh, pantesan.... Terima kasih atas masukannya :D

    ReplyDelete

Your comment is so valuable for this blog ^^

bloggerwidgets