Cover depan. Gambarnya unyu >< (seperti kebanyakan buku terbitan Plotpoint, aku suka cover-nya). |
Judul Buku :
Maya Maia
Penulis :
Devania Annesya
Tebal :
252 halaman
Penerbit/cetakan : PlotPoint
Publishing/Juli 2013
ISBN :
978-602-9481-50-1
Harga :
nggak tahu, minjem temen, yang beli dari paket Litbox
Apa kamu percaya kebetulan?
Jika ya, berarti kamu berbeda pendapat dengan Nathan, salah satu tokoh
sentral novel ini.
“Di dunia ini tidak ada yang namanya kebetulan. Kalau Tuhan bisa menemukan secara detail berapa daun yang gugur setiap tahunnya dan berapa tetes hujan yang jatuh ke bumi... mana mungkin... untuk masalah jodoh Dia bisa melakukan kesalahan?” – Nathan (halaman 229)“Teori kosmos adalah bohong. Tuhan tidak pernah bermain judi....” (halaman 229)
Dan juga, berbeda pendapat dengan
saya. Hehehe. Meskipun saya kurang setuju dengan “teori kosmos adalah bohong”
(saya mengulas ini dalam tulisan sebelumnya: “Teori Kosmos Tidak Bohong, danMemang Tuhan Tidak Pernah Bermain Judi”). Saya lagi suka dengan judul itu—izin pinjam
kalimat dari Kak Devania—sehingga enggan melepaskannya untuk dua tulisan ini.
Dua orang perempuan bernama mirip,
Maya dan Maia (seingat saya, dalam pelajaran bahasa Indonesia, kasus seperti
ini namanya homofon), bukan kebetulan, tertukar nasibnya. Maya, cewek manja
yang adalah anak orang kaya, terpaksa pulang ke Indonesia, karena perjodohan
yang sudah disiapkan orangtuanya. Sengaja, orangtuanya melakukan itu karena
selama ini Maya tidak pernah memberi kabar ketika kuliah di London, dan
nampaknya anak semata wayang itu hanya bermain-main saja di sana, karena belum
lulus jua. Sebelum pulang ke Jakarta, Maya melarikan diri ke Tulungagung,
menginap di rumah Annisa, sahabatnya. Hingga orangtua Annisa meminta Maya untuk
pulang ke rumahnya sendiri, lantaran ia terlalu manja dan tidak tahu diri #LOL.
Lain cerita dengan Maia. Gadis sederhana
dan lugu asal Tulungagung itu bertolak ke Jakarta untuk mencari kerja. Emaknya telah
meminta seorang laki-laki bernama Jojo, untuk memberinya pekerjaan. Jojo ini adalah
cucu sahabat eyang Maia, yang telah cukup sukses bekerja di Jakarta. Pertama kali
pergi ke Jakarta membuat Maia gugup, belum lagi barang-barangnya raib dicuri
orang.
Keduanya tiba di Pasar Senen,
menanti jemputan dari dua orang berbeda. Maya, seharusnya dijemput oleh Nathan,
laki-laki yang telah dijodohkan dengannya. Sedangkan Maia, ia akan dijemput
oleh Jojo. Tapi ternyata Tuhan (eh sang penulis, hehe) membelokkan takdir
mereka. Maia malah dijemput oleh Nathan, yang agak bingung karena tampilan dan
tingkah laku gadis itu sangat berbeda dengan yang telah digambarkan oleh Tante Delia.
Namun, Nathan tidak mempertanyakan hal itu lebih lanjut.
“Sudut mata Nathan tak henti-hentinya memperhatikan penampilan gadis itu dari ujung rambut hingga ujung jempol kaki. Membayangkan dandanan macam itu tersesat di tengah-tengah fashionista London. Apa mungkin dia menjemput gadis yang salah?” (halaman 31)
Maia mendapat tempat tinggal di sebuah apartemen mewah, dan ia mendapat
pekerjaan sebagai asisten pribadi Nathan. Kemampuannya mendengar pikiran orang
lain—terutama pikiran negatif—menciptakan kelucuan tersendiri. Tapi, awalnya
saya tidak mengerti kenapa Maia bisa merespon ucapan Nathan dalam hati. Barulah
dijelaskan di bagian agak belakang, bahwa ia punya kemampuan istimewa tersebut.
Dodol, tambah Nathan dalam hati.“Kamu tuh yang dodol, Mas! Kan, baju-bajuku semuanya ilang di stasiun!” gerutu Maia.Lho? Eh? Kok, bisa denger?“Ya, bisalah!” sergah Maia. (halaman 49-50)
Kebalikannya, Maya tinggal bersama dengan Jojo dan adiknya, di sebuah rumah
besar tapi lusuh, yang sebagian ruangnya digunakan sebagai toko komputer. Maya
yang manja dipekerjakan oleh si tuan rumah yang galak dan sengak, Jojo, sebagai
semacam sales promotion girl. Untunglah
ada Putri, adik Jojo yang ramah dan menyenangkan, di rumah itu, sehingga Maya
tidak bosan setengah mampus melihat tampang-kucel-belum-mandi-tiga-hari milik
Jojo.
Akibat beberapa ketidakcocokan informasi yang didapat Maya dari mamanya
tentang Nathan dan “Maya yang lain”, Maya yang cerdas, menyimpulkan bahwa
mungkin ada orang lain yang sedang berperan jadi dirinya. Akhirnya, ia berhasil
menghubungi Maia, dan malah mengajaknya bertukar tempat selama sebulan. Jalan cerita
selanjutnya cukup bisa ditebak, tapi saya tidak akan membocorkannya di sini :p.
Apakah Maya dan Maia akan kembali ke tempat seharusnya mereka berada?
Lalu,
bagaimana dengan Jojo yang telah terbiasa dengan bentakan Maya, dan Nathan yang telah terbiasa
memakan masakan Maia?
Adakah benang tak kasat mata yang menghubungkan mereka
semua?
Barangkali, selama tahun 2014, ini adalah rekor tercepat saya membaca
novel. Hanya beberapa jam saja. Ini pasti tak lepas dari gaya bahasa Kak
Devania, yang ringan, mudah diikuti dan dibayangkan, dan kocak. Juga obrolan
jayus antara Jojo dan Maya, misalnya, ketika Jojo mengurung diri di dalam kamar
dan tidak makan selama berhari-hari.
“Gue belom mati!!!”“Bagus. Ntar kalo udah jadi mayat, kasih tahu kita-kita, ya!Sinting, kalo mati gimana mau ngomong? (halaman 197)
Nah, obrolan itu bukan semata-mata obrolan kosong yang lebih baik di-cut
saja. Tidak. Dengan cerdasnya, Kak Devania menggiring obrolan itu ke arah yang
lebih penting. Saya kagum dengan kemampuan penulis, yang bisa menciptakan humor yang TIDAK tidak penting.
“Terus, Jo... sebelum mati lo pengin makan apa?Ada sesuatu yang bisa membuatnya tertawa dari percakapan ini, percakapan yang cerdas. Maya menggiringnya pada suatu kalimat sederhana: Lo pengin makan apa? (halaman 197)
Penggunaan bahasa Jawa yang sering diucapkan oleh tokoh Maia pun terdengar
akrab di telinga saya, hingga membuat saya merasa “dekat” dengan tokoh tersebut
dan juga dengan adegan yang sedang berjalan. Tapi, novel ini bukan melulu tentang
lucu-lucuan. Ada cerita pedih di balik rahasia keluarga Jojo. Juga Maya dan
mamanya yang tidak akur. Lain lagi dengan keluarga Nathan, yang ibunya single parent, dan kakaknya entah di
mana.
Novel ini amat ringan, hingga cocok untuk dibaca ketika butuh hiburan. Namun
jika menginginkan bacaan yang lebih berat, kamu akan kecewa ketika membaca
novel ini. Jadi, cukup untuk ketawa-ketiwi menghibur diri sendiri, oke? Btw, Kak Devania sukses bikin saya
ngakak jam dua pagi ketika baca ini, padahal ada kuliah jam setengah delapan
pagi (oke, who cares).
Berlawanan dengan banyaknya kebetulan yang terjadi di dalam novel ini,
hingga seperti sinetron atau FTV bikinan Indonesia, sang penulis berprinsip
bahwa “tidak ada yang namanya kebetulan”. Dari sini, saya menyimpulkan bahwa
dengan kebetulan-kebetulan yang diciptakannya, penulis ingin menekankan bahwa
itu sesungguhnya bukan kebetulan. Itu adalah kejadian demi kejadian yang telah
dirancang oleh Tuhan (eh, sebenarnya oleh si penulis, sih, huehehe). Kalau
tidak ada tangan dan pikiran penulis yang menuliskannya, berarti kejadian itu
tidak akan terjadi, kan? Tidak mungkin penulis menuliskannya dengan “kebetulan”,
kan? Hehehe. Lagipula, sejak kita berada di dalam kandungan, Tuhan telah
menetapkan hidup dan masa depan kita. Selain Kak Devania, saya adalah orang
yang percaya akan hal itu.
Jadi, percayakah kamu akan kebetulan? Atau takdir? Atau...., keduanya?
Eh, bahkan Sir Isaac Newton pun nggak percaya akan “kebetulan”, lho (baca
tulisan saya sebelumnya). Hehehe.
0 komentar:
Post a Comment
Your comment is so valuable for this blog ^^