Judul
Buku : Divortiare
Penulis : Ika
Natassa
Tebal : 328
halaman
Penerbit/cetakan : Gramedia Pustaka Utama/Cetakan ketujuh, September 2012
ISBN :
978-979-22-8808-7
Harga
buku : Nggak
tau, minjem temen, hehehe
“Our scar has a way to remind us that the past is real.” – Hannibal Lecter dalam film Red Dragon (halaman 77)
?? Kalau saya
sendiri, SETUJU.
Saya punya banyak bekas luka jerawat (bahkan
Kyuhyun Super Junior pun punya lebih banyak daripada saya, #eh. Huehehe). Salah
satu bekas luka yang masih membekas adalah satu di lengan atas saya, bekas
memar sekaligus luka. Memanjat gerbang kos-lah gara-garanya. Gara-gara utamanya
adalah saya pulang larut malam sehabis latihan paduan suara mahasiswa (waktu
masih rajin ikut latihan). Waktu badan saya sudah sampai di dalam gerbang, eh
ternyata satu tangan saya masih nyangkut di atas gerbang. Sakitnya sampai
memeras air mata. Lengan bawah kanan saya langsung bengkak (padahal saya harus
melakukan koreografi dalam paduan suara). Lengan atas saya luka cukup gede. Setiap
melihat bekas luka itu di cermin, saya ingat bahwa saya pernah “nakal” dengan “manjat
gerbang” (sekarang masih, sih, hehe).
Alexandra, tokoh “aku” dalam novel “Divortiare”
juga setuju. Sangat setuju malah. Ia punya bekas, tapi bukan bekas luka. Melainkan
tato. Tato nama suaminya, empat huruf—Beno—di dada sebelah kiri.
“Commitment is a funny thing, you know? It’s almost like getting a tatto. You think and you think before you get one. And once you get one, it sticks to you hard and deep.” – Alexandra (halaman 229)
Bukan masalah besar, sebenarnya, jika saja
Beno kemudian tidak menjadi MANTAN SUAMI-nya. Mereka baru satu tahun menikah,
tapi sudah bercerai dua tahun lalu. Apakah mereka dulu menikah dengan terpaksa?
TIDAK. MEREKA MENIKAH KARENA SALING
MENCINTAI.
Tapi, ternyata cinta saja tidak cukup. Kesibukan
Alexandra sebagai relation manager di BorderBank, dan Beno, sebagai dokter
bedah top di sebuah rumah sakit di Jakarta, membuat hubungan mereka yang
awalnya hangat dan membahagiakan menjadi dingin dan tanpa interaksi. Bahkan obrolan
pun tidak ada lagi di antara dua orang yang sama-sama egois itu. Untuk apa
berbicara, jika tiap kata yang terucap hanyalah menyulut pertengkaran?
Karena itulah, Alexandra meminta cerai,
dan Beno mengabulkannya.
“Kamu mau tahu kenapa aku setuju menceraikan kamu? Karena aku nggak mau hidup bersama perempuan yang memang udah nggak mau hidup bersamaku lagi.” – Beno (halaman 282)
Dua tahun sudah berlalu sejak perceraian
itu. Tapi Alexandra belum berani menghapus tato nama mantan suaminya. Ia juga
belum siap memulai hubungan baru, hingga Wina, sahabatnya, yang adalah seorang
editor majalah fashion, terus-terusan
berusaha mengenalkannya dengan teman-teman prianya. Bergabung dengan Ryan, si playboy, teman kerja Alex di BorderBank,
mereka berdua selalu heboh menyuruh Alex pacaran lagi. Bukannya tanpa alasan. Mereka
hanya khawatir karena sampai saat ini Alex masih menjadikan Beno sebagai dokter
pribadinya.
“Get away from Beno for a while....” – Wina (halaman 20)“...elo buktiin dulu sama gue dan Wina kalau elo memang beneran sudah melupakan dia...... Start dating, Lex.” – Ryan (halaman 23)
Akhirnya Alex menyetujui tawaran Wina
untuk dikenalkan dengan seorang laki-laki. Betapa kaget ia karena ternyata
laki-laki itu adalah Denny, teman masa kuliahnya dulu. Well, more than a friend, actually. But, not a boyfriend too. They just had
have a special relationship. Hubungan mereka kini makin dekat kembali,
apalagi Denny adalah sosok yang sangat berlawanan dengan Beno. Denny yang
lembut, humoris—sosok pria ideal-lah!—dibandingkan dengan Beno, yang keras
kepala, egois, dan suka ngomong seenaknya sendiri, tak peduli perasaan orang
lain. Sudah jelas, kan, seharusnya Alex bilang “ya” ketika Denny melamarnya?
Wait,
no. Tidak mudah bagi Alex
untuk mengatakan “ya”, karena ia belum merasakan cinta pada Denny.
“You don’t want to be with me, Den. I’m ruined.” – Alex“Let me fix it.” – Denny (halaman 132)
Tidak seperti perasaannya dulu terhadap
Beno. Tuh, kan, Beno lagi, Beno lagi. Sebenarnya Alex “sempat” sudah siap
menerima hati Denny, untuk membuka lembaran baru. Hingga ia punya keberanian
untuk menghilangkan tato nama Beno di dadanya.
“Gue sadar kenangan nggak bakal bisa dihapus. Anggap aja kenangan itu bagian dari hidup gue yang dulu, yang juga membuat gue jadi gue yang sekarang. Gue cuma perlu mengalami kenangan-kenangan baru yang lebih indah. Hidup kita nggak harus ditentukan dari masa lalu, kan, Lex?” – Wina (halaman 258)
Tapi, Alex bimbang lagi, dan makin
bimbang, ketika Beno tiba-tiba menunjukkan sikap lembutnya seperti dulu. Ia menghibur
dan memperhatikan Alex ketika ibunya kena serangan jantung dan harus dioperasi.
Siapa lagi dokternya kalau bukan Beno?
***
Ini kedua kalinya saya berjumpa novel karangan Ika Natassa, setelah Antologi Rasa. Seperti biasa, saya menyukai tutur kata Ika yang lincah, seru, dan lucu. Lucunya itu kadang lucu nggak penting, tapi nggak jarang adalah lucu yang ironis. Dengan gaya penceritaan sudut pandang orang pertama, Ika dengan leluasa menggamblangkan pikiran-pikiran Alex—yang sering ngalor-ngidul, tapi penuh makna dan tidak keluar dari zona konteks cerita. Saya suka tokoh Wina, ia blak-blakan dan mampu menyadarkan Alex akan keputusan yang salah, yang seringnya tak mau ia akui. Wina, yang suka gonta-ganti pacar, karena pelarian setelah putus cinta, tapi kini telah menemukan cinta sejatinya, dan akhirnya menikah. Alex memang benar-benar harus belajar darinya. Tapi, tetap saja, hati tak bisa bohong.
Ini kedua kalinya saya berjumpa novel karangan Ika Natassa, setelah Antologi Rasa. Seperti biasa, saya menyukai tutur kata Ika yang lincah, seru, dan lucu. Lucunya itu kadang lucu nggak penting, tapi nggak jarang adalah lucu yang ironis. Dengan gaya penceritaan sudut pandang orang pertama, Ika dengan leluasa menggamblangkan pikiran-pikiran Alex—yang sering ngalor-ngidul, tapi penuh makna dan tidak keluar dari zona konteks cerita. Saya suka tokoh Wina, ia blak-blakan dan mampu menyadarkan Alex akan keputusan yang salah, yang seringnya tak mau ia akui. Wina, yang suka gonta-ganti pacar, karena pelarian setelah putus cinta, tapi kini telah menemukan cinta sejatinya, dan akhirnya menikah. Alex memang benar-benar harus belajar darinya. Tapi, tetap saja, hati tak bisa bohong.
Menurut saya (menurut tulisan Kak Ika,
sih), Beno dan Alex masih saling mencintai. Yang perlu mereka lakukan adalah
berhenti menjadi “so much alike each other”
(dalam konteks sifat-sifat negatif: egois, keras kepala). Salah satu harus ada
yang mengalah agar hubungan itu berhasil. Iya, kan? Dan saya kesal terhadap Kak
Ika yang ngasih ending sedemikian
nggantungnya! Arrrggggghhh! @#?! (abaikan).
Ada beberapa hal yang saya kurang “sreg”
dari novel ini. Pertama, guyonan Denny garing (yang tentang ubur-ubur itu).
Buatku, ketika aku membayangkan jadi Alex yang disodori guyonan macam begitu,
aku tidak merasa bahwa itu lucu. Mungkin sedikit lucu, iya, boleh, deh. Hehe.
Kedua, mungkin ini salah satu kelemahan
gaya bercerita sudut pandang orang pertama. Pembaca didoktrin dengan pemikiran
dan pendapat tokoh “aku” tentang orang lain, yang mungkin jika dilihat dari
sudut pandang orang lain tersebut, pendapat tokoh “aku” tidak sepenuhnya benar.
Alex selalu menyalahkan Beno atas kesibukannya sebagai dokter sebagai alasan
mereka bercerai. Saya juga ingin tahu pendapat Beno tentang hal itu. Tapi saya
cukup puas, belakangan Alex menyadari bahwa tidak sepenuhnya salah Beno. Barangkali
karena hal itulah saya lebih menyukai Antologi
Rasa ketimbang Divortiare. Karena
saya dapat membaca pikiran tiap tokoh sentral.
Ketiga, saya berpikir, tokoh-tokoh dalam Antologi Rasa dan Divortiare, kok, mirip-mirip, ya? Wina mirip Dinda. Alex mirip
Keara. Sama-sama kerja di bank dan suka foto (meskipun Alex hanya suka
menikmati foto, sedangkan Keara juga suka “bikin foto” alias fotografi). Ryan agak
mirip Harris Risjad--si playboy. Lama-lama, tokoh seperti ini akan menjadi “klise”.
Keempat, banyak percakapan dalam bahasa
Jawa yang tidak dilengkapi footnote. Untunglah,
sebagian dijelaskan di narasi tokoh, atau memang bahasa Jawa yang simple dan mungkin dapat dimengerti
banyak orang. Tapi, sebagain lainnya, saya rasa perlu tambahan footnote. Kalau bagi saya yang lahir dan
besar menggunakan bahasa Jawa, sih, tidak masalah. Tapi, kan, banyak juga orang
yang tidak mengerti bahasa Jawa. Hehe.
Namun, bagaimanapun juga, novel Kak Ika
selalu nendang di hati (berkat kepiawaiannya merangkai kata untuk menceritakan inti
cerita yang sebenarnya simple)! Bukan
bikin simple jadi ruwet, ya.
Melainkan, bikin simple jadi full of fun! Seru! Menohok! Bikin nyesek!
Terus tak henti berpikir “iya, nih, bener banget!”. Atau barangkali “wah, mirip
banget sama yang aku alami!”. Nah, lho!
0 komentar:
Post a Comment
Your comment is so valuable for this blog ^^