Judul Buku :
If I Stay
Penulis :
Gayle Forman
Tebal :
261 halaman
Penerbit : Speak
(Penguin Group), 2010
ISBN :
978-0-14-241543-6
Harga :
(saya pinjam dari teman saya yang
mendapatkannya dalam paket Blended Litbox #5)
Pernah dengar tentang film “Burried” yang dibintangi Ryan Reynolds? Atau sudah pernah nonton? Saya sendiri
belum pernah menontonnya (sigh).Tapi, saya tahu kalau film itu hanya beraktorkan satu
orang. Dalam satu jam lebih, kisahnya berkutat dengan upaya si tokoh utama,
yang terkubur dalam sebuah peti, untuk membebaskan diri. The awesome point is that how this film doesn’t suck or boring because
of having only one actor in it. Bahkan, rating-nya di IMDB cukup bagus, yaitu 7.0/10.
Nah, jika “Burried” hanya punya satu
tokoh, novel “If I Stay” ini hanya punya setting waktu satu hari. Tepatnya,
kejadian dalam satu buku ini berlangsung dari pukul 7.09 pagi sampai 7.16 pagi
berikutnya. Lalu, bagaimana buku ini bisa menjadi tidak membosankan?
***
Mia, seorang gadis tujuh belas tahun, yang
juga adalah pemain cello berbakat, memiliki segala kesempurnaan dalam hidupnya.
Keluarga yang hangat, seru, dan menyenangkan. Sampai mereka sekeluarga
mengalami kecelakaan ketika sedang dalam perjalanan di suatu hari bersalju
untuk mengunjungi Willow dan Henry, teman Dad. Mia menemukan dirinya terjebak
antara dua dunia. Ia bisa melihat Dad dan Mom meninggal, dan adiknya, Teddy
sedang berusaha diselamatkan. Dan dia—dirinya tergeletak tak berdaya di pelukan
selang-selang di atas ranjang rumah sakit. Koma. Ia melihat apa yang terjadi,
tapi tak bisa berbuat apapun. Ia ingin bangun, untuk mencari Teddy, tapi ia tak
tahu bagaimana caranya bisa “bangun”. Dan ketika ia mendengar kabar bahwa
adiknya tak terselamatkan, ia hampir tak punya alasan lagi untuk memutuskan
tetap tinggal.
“It’s okay.... If you want to go. Everyone wants you to stay. I want you to stay more than I’ve ever wanted anything in my life.... But that’s what I want and I could see why it might not be what you want. So I just wanted to tell you that I understand if you go. It’s okay if you have to leave us. It’s okay if you want to stop fighting.” – Gramps (page 181)
Dalam koma-nya, Mia mengenang
kejadian-kejadian dalam hidupnya. Dalam dua puluh empat jam itu, ia harus
menemukan, alasan apa yang dapat membuatnya untuk tetap tinggal.
***
Dad dulu adalah seorang drummer band rock.
Ketika Mom mengumumkan kehamilannya akan adik Mia, Teddy, Dad memutuskan untuk
keluar dari band-nya. Ia bertransformasi sepenuhnya, dari yang bergaya fashion
ala punk, menjadi setelan jas rapi yang cocok dengan profesi barunya sebagai
guru. Sementara itu, Mom juga pemuja musik rock, dan bisa jadi begitu liar jika
sedang emosi. Lain lagi dengan Teddy. Bocah berumur 9 tahun lebih muda daripada
Mia itu sudah kelihatan bakatnya sejak kecil, sebagai drummer.
Tidak jarang, Mia merasa berbeda dari
keluarganya. Anggota keluarganya yang lain berambut pirang dan bermata cerah,
sedangkan dia berambut dan bermata gelap. Mereka tergila-gila akan musik rock,
sedangkan Mia jatuh cinta dengan musik klasik. Cello.
“But in my family, playing music was still more important than the type of music you played.” – Mia (page 23)
Kakek dan Nenek Mia—Gramps dan Gran—juga
merupakan orang terdekat Mia. Ide Gran-lah awalnya, yang menyarankan Mia untuk
mendaftar ke Juilliard. Ketika tiba hari audisi di San Fransisco, Gran tidak
bisa mengantar Mia karena beliau keseleo seminggu sebelumnya. Jadilah Gramps
yang mengantarnya, dan mereka melakukan banyak hal menyenangkan setelah audisi
selesai.
Mia juga memiliki seorang sahabat, Kim,
yang adalah seorang Yahudi murni. Di sekolah, mereka bedua terlihat seperti
kembar, lantaran sama-sama pendiam dan “gelap”. Kim adalah satu-satunya sahabat
Mia, begitu juga sebaliknya. Dalam beberapa hal, Kim terlihat lebih dewasa
daripada Mia. Contohnya, ketika Mia merasa bahwa musiknya “sunyi terpencil”
hingga ia hampir meninggalkan musik klasiknya, kecintaannya akan cello. Ia
selalu sendiri ketika bermain cello, meski berlatih bersama teman-temannya, ia
juga akan sendirian ketika memainkan bagian solo. Lain dengan musik band
ayahnya, yang selalu ramai dan penuh dengan fans yang antusias. Ia merasa
kesepian.
“... I mean, who plays the cello anyhow? A bunch of old people. It’s a dumb instrument for a girl to play. It’s so dorky....” – Mia (page 128)
Dengan lagu “Something in the Way” dari
sebuah CD Nirvana MTV Unplugged in New
York[1], Kim
menyadarkannya bahwa bermain cello itu tidak “sunyi terpencil”. Bahwa cello
bahkan bisa berkolaborasi dengan gitar dan drum.
“Two guitar players, a drummer, and a cello player. Her name is Lori Goldston and I bet when she was younger, she practiced two hours a day.... And I don’t think anyone would dare call her a dork.” – Kim (page 128-129)
Dalam koma-nya, Mia sangat ingin bertemu
dengan Adam, kekasihnya.[2] Ketika akhirnya
Adam muncul, dan harus melewati tantangan karena suster tidak mengizinkan ia
masuk ke ICU, tempat Mia dirawat. Sampai-sampai Adam dan Kim, dan teman-teman
band Adam membuat keributan di rumah sakit, dengan mendatangkan artis Brooke
Vega. Siapa yang tahu, bahwa mungkin Adam-lah yang dapat membawa Mia kembali?
“You still have a family.” – Kim (page 220)
***
Setting waktu hanya satu hari. Kebanyakan
kejadian terjadi dalam bentuk flashback
dari ingatan Mia yang sedang koma. Tidak ada tokoh antagonis (kecuali si suster
galak yang menghalangi Adam masuk itu bisa digolongkan antagonis). Awalnya,
saya pesimis sekaligus cemas bahwa cerita akan klise—terlebih tentang adegan
kecelakaan yang menimpa sebuah keluarga bahagia. Saya déjà vu akan adegan ini, yang pernah saya temui juga dalam novel “Evermore”
(seri Immortals #1 karya Alyson Nöel). Belum lagi, cerita tentang “koma” sudah
sering diangkat, dari drama Korea berjudul “49 Days” hingga novel “Koma” karya
Rachmania Arunita.
Tapi, nyatanya, kenapa saya bisa tidak
bosan membacanya—bahkan melupakan segala ke-klise-an itu?
Pertama, saya
terpesona dengan cara penuturan penulis, menggunakan sudut pandang tokoh
pertama, sebagai Mia. Betapa karakternya begitu kuat, dan begitu nyata. Betapa,
cerita tidak berubah menjadi mendadak gaib, atau apalah, yang tidak masuk akal.
Bahkan, “jiwa” Mia diceritakan tidak memiliki kekuatan supranatural. Ia tak
bisa menembus tembok, dan semacamnya.
Dengan cerdas, penulis menggunakan sudut
pandang orang pertama ini untuk menceritakan kejadian-kejadian di masa lalu
Mia, yang nantinya akan menjadi alasan-alasan mengapa Mia ingin pergi atau
tetap tinggal.
Juga, penulis menggunakan teknik baru,
yaitu menceritakan kejadian dengan present
tense. Keterangan jam digunakan sebagai penanda ganti bab. Dengan begitu, pembaca
merasa benar-benar mengalami kejadian demi kejadian dalam novel ini, sebagai
kisah yang aktual.
Kedua, keluarga Mia
begitu menyenangkan dan keren! Saya sangat menyukainya, dan mungkin juga iri. Iri
terhadap Mia yang punya orangtua keren, terbuka, dan tidak kolot. Orangtua dan
kakek-nenek yang dekat dengannya, seolah seperti teman sendiri. Mungkin ini
juga pengaruh dari budaya pergaulan Barat yang jauh lebih “selow” dan tidak kaku terhadap unggah-ungguh.
Ketiga, saya juga
suka musik! Penulis menjadikan musik sebagai nafas yang menghidupkan kisah ini. Musik klasik-nya Mia berpadu dengan rock-nya
Dad dan Adam. Bahkan, musik pula yang membantu Mia memutuskan untuk pergi atau
tetap tinggal.
Keempat, penulis
mengangkat tema penting kehidupan, tentang pengorbanan dan pilihan. Contohnya,
ketika Dad memutuskan untuk meninggalkan band-nya demi anak-anaknya. Menurut
Dad, ini bukan pengorbanan, melainkan pilihan. Pengorbanan berarti “giving anything up”[3],
sedangkan saat mengambil pilihan itu, Dad
wasn’t giving anything up.
“Sometimes you make choices in life and sometimes choices make you. Does that make any sense?” – Dad (page 192)
Kelima, penulis tidak mencekoki pembaca dengan drama mengharu-biru yang lebay nan
picisan. Saya suka keromantisan Adam. Betapa saya mulai memimpikan punya pacar
seperti dia >,<.
Sebenarnya, novel ini berakhir di halaman
234, tapi bonus-bonus membuatnya menebal. Ada bonus “discussion questions”
The
last, I don’t know exactly why..., but somehow this book is effortlessly
heartwarming! I really like this book, and I will be happier if I can read the
sequel. Uh-oh.
[1]
Page 128.
[2]
Adam adalah gitaris dan vokalis band
Shooting Star, yang cukup terkenal.
[3]
Seperti yang dikatakan Dad pada
halaman 192.
0 komentar:
Post a Comment
Your comment is so valuable for this blog ^^