Judul Buku : Galila
Penulis : Jessica
Huwae
Tebal : 336
halaman
Penerbit/cetakan : Gramedia Pustaka Utama/I, Maret 2014
ISBN : 978-602-03-0210-2
Harga : (I dunno exactly; I got this as one of the
books in blended box of Litbox)
Masa depan ada karena ada masa lalu dan masa sekarang, bukan? Ini
seperti halnya kenyataan bahwa “terang” ada karena “gelap” juga ada. Hitam ada
karena putih ada. Galila, tokoh utama dalam novel ini juga berpendapat begitu.
“Tidakkah yang memiliki masa lalu juga beroleh hak yang sama untuk menatap masa depan?” – Galila (halaman 249)
Namun, ternyata, ada
orang yang berpandangan lain.
“Dia (Hana) selalu berpendapat gadis yang memiliki masa lalu tentu tidak memiliki masa depan.” (halaman 106)
***
GALILA. Nama ini
mungkin terdengar aneh di telinga. Apalagi hanya satu kata itu saja, tanpa
embel-embel di belakangnya. Galila, gadis yang berasal dari Indonesia bagian
timur, tepatnya kota Saparua, yang berjarak dua jam dari Ambon. Gadis yang
pernah ditinggal mati ayahnya, ditelantarkan ibunya, dan pernah hamil di luar
nikah. Ia pernah hidup di bawah tekanan ibu pacarnya, lantas kemudian bayinya
lahir. Tapi, hidup bayi itu tak lama. Dan, penderitaannya berlanjut kembali.
Meski begitu,
Galila tetap menyimpan mimpinya untuk pergi ke Jakarta, kota yang ia juluki
“Kota Harapan”. Tangan Tuhan memberinya kesempatan dalam suatu audisi pencarian
bakat, “Indonesia Mencari Diva”, namanya. Berkat suntikan semangat dari Koh Kong—pemilik
toko di mana Galila bekerja—Galila berani keluar dari zona nyamannya dan
mencoba mengikuti kontes tersebut.
“Saat masih muda, kamu harus berani melakukan satu hal gila yang akan membuatmu mengingatnya sampai kamu tua nanti. Itu akan jadi pengingat bahwa kamu pernah hidup.” – Koh Kong (halaman 292)
Tak dinyana, Galila
berhasil maju ke babak final di Jakarta. Semenjak itulah, kariernya selalu
menanjak hingga kini, ia menjadi seorang diva negeri ini. Kesuksesannya itu
juga berkat bantuan tangan dingin manajernya, Magda. Selama ini, Galila
berusaha untuk tidak memiliki hubungan dengan pria. Tapi, ia tak bisa berkutik
ketika ia jatuh cinta terhadap Eddie, ahli waris perusahaan keluarga Batak
bermarga Silitonga. Jalan cinta mereka berdua tidak mudah. Selalu ada Hana, ibu
Eddie, yang menghalangi, lantaran beliau terlalu memegang teguh prinsip
bibit-bobot-bebet. Dalam hal ini, masalah perbedaan suku turut mewarnai.
Di samping itu,
Davina, seorang penyanyi yang pamornya mulai terbayang-bayangi sinar Galila,
berniat balas dendam. Hingga puncaknya adalah rahasia masa lalu Galila
terungkap di depan publik. Semua yang telah ia bangun hancur dalam sekejap.
Apakah masa depan
akan membentang di hadapan Galila? Masa depannya bersama Eddie—akankah itu ada?
***
Tak dapat
dimungkiri, bahwa pilihan Kak Ika Natassa untuk buku Litbox-nya selalu tak
mengecewakan. Pertama kali membaca karya Kak Jessica Huwae, saya langsung jatuh
cinta pada gaya berceritanya. Apalagi, tema yang diangkat tentang sosok wanita
kuat Indonesia, sungguh menarik. Tak banyak novel yang menghadirkan tokoh utama
wanita yang berasal dari wilayah timur Indonesia. Selain itu, penulis juga
mengusung berbagai polemik yang banyak terjadi di Indonesia. Tentang pernikahan
beda suku. Tentang kerusuhan antaragama. Ditambah lagi dengan dunia hiburan
yang gemerlap namun sarat bahaya.
Letak Pulau Saparua http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/1/10/Ambon_and_Lease_Islands_%28Uliasers%29_en.png |
Tanjung Kulur http://www.panoramio.com/photo/47423157 |
Selalu menarik, membaca
testimoni para ahli literatur maupun jurnalistik, dan sebagainya, terhadap
suatu novel. Seperti yang tertera di kover belakang novel Galila. Saya setuju
dengan testimoni Kak Rully Larasati, yang mengatakan bahwa penulis berhasil
melakukan pemilihan diksi dan analogi yang cermat. Bahkan, menurut saya, dalam
tiap adegan novelnya. Ada banyak perumpamaan yang ditulis Kak Jessica secara
cermat dan tepat, juga unik. Seperti ketika penulis mendeskripsikan perasaan
Eddie setelah ia memutuskan hubungannya dengan Galila, sebagai perasaan seorang
prajurit yang dikhianati temannya (halaman 250). Juga, pemikiran Galila tentang
masa depan (halaman 25).
Dialog yang terjadi
antara tokoh-tokohnya juga bukan sekadar tempelan buat nebal-nebalin naskah.
Bukan sama sekali. Penulis merancang dialognya dengan hati-hati, hingga kalimat
yang diucapkan tokoh-tokohnya itu bermakna. Saya suka dialog antara Eddie dan
Galila. Mereka banyak membicarakan hal-hal remeh tapi penting yang jarang
diperhatikan manusia lain. Misalnya, dialog mereka tentang alam semesta ketika
mereka sedang berada di Kebun Raya Cibodas (halaman 98-99). Dialog tentang
nelayan dan juga Tuhan (halaman 85-87), sampai tentang kebahagiaan (halaman
160-161). Hah, bahkan ada juga teori tentang cowok—yang benar sekali, menurut
saya (yah, meskipun saya bukan laki-laki)—di halaman 62. Ini membuat saya ingat
masa-masa ketika membaca buku “What’s on A Man’s Mind”. Haha. I truely read that kind of book, huh!
Sementara itu,
tentang topik pernikahan, saya setuju dengan pemikiran Eddie:
“Lagi pula, siapa sih orang kurang kerjaan yang berada di balik penciptaan teori bahwa pada usia tertentu manusia diwajibkan menikah? Apakah manusia lantas kurang nilai, fungsi, atau kontribusinya apabila mereka tidak berpasangan?” (halaman 71)
Sampai teori
tentang Adam-Hawa:
“Mungkin itu sebabnya Tuhan menciptakan Adam dan Hawa berpasangan, karena tidak ada yang lebih menusuki hati daripada merasa sepi dan sendiri di tengan ramai yang mengelilingi.” (halaman 91)
Penulis juga
menyelipkan perumpamaan yang terinspirasi dari cerita Alkitab:
1.
Tentang
bibit yang jatuh di berbagai jenis tanah (halaman 144).
2.
Manna
di padang gurun (halaman 194).
3.
Terang
dunia (halaman 307).
***
Tangan lihai
penulis juga sampai merambah ke ranah “pemborosan energi” yang banyak dilakukan
orang Indonesia. Sebagai orang yang pernah mengambil mata kuliah Konservasi
Energi, bagi saya, ini sungguh memprihatinkan T_T.
“Walau pintu yang memisahkan ruang belakang dan pintu taman dibuka lebar-lebar, pendingin ruangan sengaja dibiarkan menyala. Udara panas Jakarta rasanya tidak memungkinkan warganya untuk bisa bertahan tanpa bantuan pendingin buatan.” (halaman 20-21)
Bicara tentang
tokoh, saya sebal sekali terhadap tokoh Hana (ibu Eddie). Ini berarti, penulis
berhasil menghidupkan karakter tokohnya, hingga membuat pembaca terpengaruh
emosinya. Namun, ada juga tokoh yang saya rasa hanya sebagai tempelan, untuk
mendukung ide yang ingin diselipkan oleh penulis, tentang sosok anggota DPR
yang menyalahgunakan jabatan (tokoh Yudah). Nyatanya, tokoh itu benar-benar
muncul hanya sekitar dua kali. Nasibnya di akhir cerita pun tak lagi digubris
penulis. Padahal, awalnya, saya kira ia akan jadi salah satu tokoh antagonis. Selain
itu, kisah penderitaan Galila ketika ia masih tinggal di Maluku terasa seperti
kisah sinetron di benak saya.
Saya juga agak
keberatan terhadap kalimat yang menjadi tagline
novel ini: “adakah masa depan bagi
yang memiliki masa lalu?” Pasti, maksud penulis adalah: “adakah masa
depan yang terang bagi yang memiliki masa lalu kelam?” Karena, yah, semua orang pasti memiliki masa
lalu, kan? Jadi, harusnya, semua orang juga memiliki masa depan. Lain halnya
dengan “masa lalu kelam” yang mungkin hanya dimiliki orang tertentu. Tapi,
kalau kalimatnya diubah menjadi seperti kalimat saya itu (yang berwarna hijau),
kok jadi nggak bagus lagi, yah? Haha.
Yang jelas, kisah
yang banyak menyertakan budaya Indonesia ini tak mengecewakan untuk dinikmati.
0 komentar:
Post a Comment
Your comment is so valuable for this blog ^^