Judul Buku : Carrying Your Heart
Penulis : Pia Devina
Tebal : 252
halaman
Penerbit/cetakan : DIVA Press/Cetakan I, Mei 2014
ISBN : 978-602-255-589-6
“I was your home... and I wish I will always be your home. Tapi aku tahu, untuk saat ini... I’m no longer becoming your home.” – Rendi (halaman 230)
Tahukah kamu, apa
perbedaan antara “house” dan “home”?
http://www.addictedtosaving.com/wp-content/uploads/2012/11/free46.jpg
“House describes a particular type of building. Home is the place where you live and feel that you belong to.” (http://www.bbc.co.uk/worldservice/learningenglish/youmeus/learnit/learnitv75.shtml)
http://www.dezignwithaz.com/house-home-quote-wall-decal-p-12401.html |
Kirana Evalia, tokoh utama dalam novel ini, sangat paham apa perbedaan
antara “house” dengan “home”. Baginya, rumahnya—“house”—bukanlah “home”,
lantaran dalam rumah itu ia tak merasakan kasih sayang dan kenyamanan. Seorang
wanita tua yang ia panggil “nenek” menghuninya, dengan kebencian yang selalu
dilayangkan kepadanya. Mengapa? Karena Kira adalah anak haram. Anak yang
dilahirkan ibunya di luar pernikahan. Lelaki yang seharusnya menjadi ayahnya
itu kemudian meninggalkannya ke negeri seberang, dan menikah dengan orang lain.
Setelah ibunya meninggal, tanpa sengaja, dalam sebuah buku catatan tua, Kira
menemukan alamat ayahnya di Rotterdam.
Malahan, Kira merasakan berada di rumah ketika bersama Rendi. Kekasihnya itu
selalu menjadi tempat hati Kira berpulang. Bahkan, di rumah Rendi, ia merasakan
kenyamanan, selain karena ibu Rendi yang bersikap baik padanya. Tapi, setelah
menemukan alamat ayahnya dan dibantu dengan Om Iwan, teman ayahnya di Belanda,
Kira memilih untuk meninggalkan “rumah”-nya, Rendi. Ia berniat mencari ayahnya
di Rotterdam. Kini, sudah satu setengah tahun Kira menjalani kehidupannya di
Rotterdam, bekerja sebagai sous chef di
sebuah restoran bernama La Angelique. Dalam kurun waktu satu setengah tahun
itu, Kira baru sekali bertemu dengan ayahnya. Dan setelahnya, ia tak memiliki keberanian
lagi. Masalahnya, kali pertama bertemu, hati Kira tertohok melihat kebahagiaan
ayahnya bersama keluarga barunya. Apalagi, ayahnya seperti berpura-pura tidak
mengenalnya.
Satu setengah tahun telah berlalu, dan Rendi menepati janjinya pada Kira
untuk menyusulnya ke Belanda. Rendi berhasil mendapatkan beasiswa S-2 dan
berusaha membantu Kira untuk menemui ayahnya kembali. Tapi, saat “rumah” untuk
hatinya telah kembali berada di sisinya, Kira tahu, semuanya tak lagi sama. Separuh
hatinya telah berlabuh di “rumah” yang lain—seorang pria Indonesia yang selama
ini menjadi sahabatnya di Belanda, Nathan.
***
Awalnya, saya mengira kisah pencarian sang ayah ini akan menjadi kisah
petualangan. Petualangan di negeri Kincir Angin pasti akan sangat seru, bukan? Saya
mengharapkan petualangan seperti dalam novel “Bangkok, The Journal”. Ternyata,
sang penulis tidak meramu kisahnya sesuai harapan saya (yaelah, emang saya
siapa, penulisnya aja nggak kenal saya, hahaha). Bukan kisah pencairan ayah
Kira yang menjadi sorotan utama, melainkan kisah cinta segitiga antara Rendi –
Kira – Nathan (halah). Entahlah, menurut saya, kisah ini akan menjadi jauh
lebih menarik jika petualangan pencarian sang ayah lebih dikedepankan.
Di balik itu, saya salut dengan ketelitian penulis dalam merancang time line yang menjadi salah satu rangka
pendukung alur cerita. Saya suka alur cerita bikinan penulis, yang maju-mundur
tanpa kehilangan irama dan ketepatan waktunya konsisten. Keterangan waktu yang
menjadi mengawali tiap subbab cerita juga telah benar-benar diperhitungkan. Saya
tidak menemukan ketidaksesuaian pecahan-pecahan adegan meskipun setting waktunya berlompatan. Selain itu,
deskripsi tempat yang diolah penulis bagus, sehingga setting Belanda-nya bukan hanya tempelan.
Namun, saya sangat terganggu dengan gaya penuturan penulis yang sering
menggunakan bahasa Inggris yang sebenarnya (menurut saya) tidak perlu. Malahan,
ini terkesan lebay. Seperti anak-anak alay yang nggak bisa ngomong pakai bahasa
Indonesia yang baik dan benar. Kecuali kalau istilah dalam bahasa Inggris itu
sulit diterjemahkan, atau malah tidak ada terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
Atau, jika itu merupakan istilah bahasa Inggris tertentu, seperti halnya dalam
bahasa Inggris, “pecel” atau “batik” tetap dalam bentuk bahasa Indonesianya.
1.
“... ada di building yang sama dengan tempat Nathan
tinggal.... saat Matthew stay di
sana.... akhirnya malah merasa lebih comfort
dengan apartemennya itu...” (halaman 16)
Di telinga saya, rasanya lebih adem jika “building” itu diganti dengan “bangunan”, “stay” dengan “tinggal”, dan “comfort”
dengan “nyaman”.
2.
“She hates me sampai mungkin sebenarnya
dia ingin menendangku ke jalanan...” (halaman 32)
3.
“...di Hotel
Milano yang letaknya setengah miles
dari Stasiun Rotterdam Central...” (halaman 37)
4.
“pepper” dan
“kitchen” di halaman 115.
Penulis juga banyak menggunakan kata ganti yang tidak benar, seperti ini:
1.
Lagunya
Rihanna (halaman 21) --> lagu Rihanna
2.
Hidupnya dia
(halaman 108) --> hidupnya
3.
Momen-momen
bahagianya kamu (118) --> momen-momen bahagiamu.
Sungai Leie, yang mengalir dari Perancis sampai Belgia
|
Lantas, epilog dari novel ini
juga bikin gemas. Saya menginginkan lebih. Mungkin, jika diperpanjang beberapa
halaman lagi akan lebih baik. Hehehe, maunya saya, sih. Saya juga sedih, kenapa
akhirnya begitu? Tapi, keputusan Rendi cukup logis, menurut saya.
0 komentar:
Post a Comment
Your comment is so valuable for this blog ^^