8 June 2014

[RESENSI (BUKAN) SALAH WAKTU] Salah Kita yang Tidak Memahami Waktu



Judul Buku                        : (Bukan) Salah Waktu
Penulis                              : Nastiti Denny
Tebal                                 : viii + 248 halaman
Penerbit/cetakan               : Bentang Pustaka/I, Desember 2013
ISBN                                 : 978-602-7888-94-4
Harga                                : Rp 46.000,00



Sekar dan Prabu sudah menikah selama dua tahun saat Sekar memutuskan resign dari pekerjaannya karena rindu menjadi ibu rumah tangga. Dua tahun bukanlah waktu yang singkat untuk mereka saling mengenal satu sama lain. Namun, rahasia masa lalu masing-masing masih terkunci rapat. Dengan lihai, Sekar menyembunyikan fakta bahwa orangtuanya telah bercerai, dari Prabu dan mertuanya, yang tidak suka dengan perceraian. Ketika Prabu memiliki kesempatan untuk mempertanyakan masa lalu istrinya, rahasia masa lalunya sendiri terancam akan terungkap. Masa lalunya yang berkaitan dengan seorang perempuan bernama Laras. 

Di tengah prahara cinta segitiga—yang lalu meluas jadi segiempat—Prabu dan Sekar berusaha menstabilkan perahu rumah tangga mereka yang tengah dihantam badai. Mereka berdua harus cukup rendah hati untuk bisa berdamai dengan masa lalu, sebelum bisa melanjutkan masa depan.

 

Cara bertutur penulis rapi dan runtut—terkadang lebih mirip reportase, lantaran kegemaran penulis untuk menyertakan detail jam berlangsungnya adegan demi adegan. Teka-teki yang terkuak, mengajak saya menyelami lautan kisah percintaan misterius, selapis demi selapis. Hingga terlalu dalam, dan saya tersedak. Tersedak di beberapa tempat, karena penulis berhasil meluapkan emosi saya. Pelupuk mata saya terasa ditusuk-tusuk ketika menyaksikan adegan Yani menunggui Sekar yang meringkuk di kolong meja. Juga ketika Prabu menuliskan notes buat Sekar di mana-mana. Sederhana, tapi romantis dan tidak picisan.


Metafora yang segar dan menggelitik—“kerikil yang marah” (halaman 114) dan “seperti serangga” (halaman 122)—berpadu dengan deskripsi fisik tokoh, deskripsi tempat dan waktu yang detail, memudahkan saya untuk menyaksikan adegan-adegan dalam benak saya. Terlebih, alur yang rapi maju-mundur. Tapi, deskripsi ukuran yang terlalu detail kadang membuat saya risih.

Penggambaran tokoh Sekar membuatnya terlihat sangat nyata dan membumi. Tapi, meski Prabu memiliki porsi sudut pandangnya sendiri, karakternya kurang terbangun dengan baik. Begitu juga dengan tokoh Bram, yang saya harapkan menjadi lebih “bad boy”.

Namun, sangat disayangkan, penulis seperti terburu-buru dalam menulis naskahnya. Parahnya, sang editor juga meloloskan banyak inkonsistensi. Terkesan penulis seperti tidak merumuskan novelnya dengan hati-hati—alias GALAU. Semakin detail tulisan, makin besar juga probabilitas kesalahan, hingga banyak hal yang membingungkan:

1.       Ayah Prabu, bekerja sebagai direktur perusahaan minyak, atau di bidang pertanahan?
2.       Tentang “gue-elo”-nya Mira dan Sekar (halaman 29)—awalnya Sekar memakai “aku-kamu”, tapi lalu berubah menjadi “gue-elo” (halaman 33).
3.       Anak pertama Yani itu diserahkan pada ADIK atau KAKAK suaminya?
4.       Awalnya, nama yayasan milik Yani adalah “Jalin Kasih”, tapi lalu menjadi “Tali Kasih”.
5.       Banyak ketidakcocokan nama tokoh, tak pelak membuat saya kelimpungan. Kakak Prabu bernama Putri, atau Leni? Yasmina itu bukannya nama Sekar dulu, ya (halaman 143, 236)? Ada juga nama yang sama, entah karena penulis kehabisan stok nama atau memang lupa telah menggunakannya sebelumnya. Ada dua tokoh bernama Alex dan dua tokoh bernama Mbok Ijah.

Dari novel ini, saya jadi tahu kalau orang yang lebih berumur ternyata tidak lebih dewasa daripada saya. Hanya orang dewasalah yang sanggup memaafkan masa lalu :).





0 komentar:

Post a Comment

Your comment is so valuable for this blog ^^

bloggerwidgets