Judul Buku :
Sebuah Bukit dan Satu Pohon di
Atasnya
Penulis :
Aira Arsitha
Tebal : 320 halaman
Penerbit/cetakan : PING!!!/Cetakan pertama, April 2014
ISBN :
978-602-279-093-8
“Hari ini aku akan menjadi sebatang pohon.” – Arthur (halaman 46)
Arthur pernah menjadi sebatang pohon untuk meneduhkan sebuah bukit, agar
Ashlie dapat duduk menikmati kesejukan di bawahnya, di sela-sela pekerjaannya
menjaga domba-domba milik Tuan Alexander, ayah Arthur.
Ternyata, Ashlie pun adalah sebuah pohon. Pohon yang sama dengan Arthur.
“Dua batang pohon yang sama, yang telah kehilangan akar dan sedang mencari kekuatan untuk tetap memberi kehidupan padanya, hanya akan bisa menjadi teman berbagi, tapi tidak saling menyelamatkan satu sama lain.” – Ashlie (halaman 308)
Tapi, ada apa
sebenarnya dengan bukit, pohon, dan dua orang sahabat masa kecil—Ashlie dan
Arthur?
***
Ashlie dan ayahnya bekerja pada Tuan dan
Nyonya Alexander untuk menjaga domba-dombanya, di Matamata, Selandia Baru.
Sejak masih kecil, Ashlie sudah tidak dapat bertemu lagi dengan ibunya, karena
dipisahkan oleh ajal. Rasa kehilangan yang menyakitkan itu harus ditanggung
olehnya. Tapi, keadaan tidak seburuk perkiraannya, lantaran ada Tuan Arthur
yang tidak pernah kehabisan ide untuk menghiburnya.
“Kau tahu, setiap hari ada kehilangan di dunia ini. Seperti aku yang kehilangan pulpenku, kehilangan topiku, bahkan kadang-kadang domba ini juga ada yang hilang. Jadi, kehilangan itu biasa, bukan? Kau pasti akan menemukan yang baru.”“Anggaplah ibuku sebagai ibumu juga.” – Arthur (halaman 281)
Saat itu, Ashlie masih bisa menggenggam
erat-erat mimpinya, karena ia memiliki orang-orang yang menyayanginya di
sekitarnya: Ayah, Tuan Arthur, serta Tuan dan Nyonya Alexander. Hidupnya terasa
menyenangkan—menghabiskan waktu dengan menjaga domba sambil membaca buku yang
dipinjamnya dari Nyonya Alexander. Atau, bermain kejar-kejaran bersama Tuan
Arthur—terkadang bersama Arvin juga. Satu mimpi yang disimpannya dalam hati: ia
ingin melihat sebuah bukit dengan satu pohon di atasnya.
Namun, ada satu hal yang terlambat
disadari Ashlie. Hubungan masa kecilnya dengan Tuan Arthur tidak akan sama lagi
begitu keduanya beranjak dewasa. Arthur menjadi lebih jarang mengajaknya
bermain. Ketika bertemu pun, ia tak menunjukkan keramahan seperti dulu. Terlebih,
setelah Arthur pindah ke Auckland untuk kuliah. Ashlie pun harus memilih antara
tetap tinggal di Matamata, atau pindah ke Auckland, ketika ayahnya meninggal. Akhirnya,
ia mengambil pilihan kedua. Di Auckland, ia tinggal di sebuah rumah yang
diberikan oleh Nyonya Alexander. Untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, ia
berjualan apel hasil kebun Tuan Alexander. Setiap Sabtu, Arvin mengantarnya
dengan mobil bak terbuka berisi apel, ke Pasar Otara—tempatnya berjualan.
Pasar Otara https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh5nke4LW4BTjOZfAlom1R1mqZ_-54icEelQqmqnc_JXnxKn1wxSXnZliKuqzbW3IDmh68DCGQ_96lU81KD83AP8lY_iCpBW0V0ITuh8i5xYRiheEAKq_OYE2w_vb_nZ7Xe7lNZw321YPU/s1600/P3104364.jpg |
Saat itu, Ashlie sudah tidak percaya lagi
pada mimpi.
“Menurutku mimpi itu adalah ilusi. Keinginan manusia yang dipaksakan.” (halaman 104)
Suatu hari, seorang laki-laki membeli
apelnya, dan laki-laki itu ternyata adalah teman Arthur. Damar, nama laki-laki
asal Indonesia itu. Damarlah, yang berusaha membuatnya kembali percaya pada
mimpi.
“Aku akan buktikan padamu kalau mimpiku dan mimpimu bukanlah ilusi.” – Damar (halaman 145)
Awal pertemuannya dengan Damar ternyata
membuka jalan ke pertemuannya dengan Arthur, setelah sekian lama tidak
bertemu—padahal mereka tinggal di kota yang sama. Tapi, Ashlie sudah telanjur
tidak percaya lagi pada mimpi, dan pesimis terhadap hubungannya dengan Arthur,
yang sudah tidak seperti dulu lagi. Apakah ia akan tetap bersikukuh tidak
percaya mimpinya akan terwujud—bahkan setelah ia kembali ke Matamata dan
melihat sebuah bukit dengan satu pohon di atasnya? Tapi, mimpi Ashlie tidak
seharfiah kelihatannya. Sebuah bukit dan satu pohon di atasnya itu juga berarti
hal lain....
***
Pertama kali membuka halaman awal Bab
1—kertasnya berwarna hijau dan ada gambar pohon di pojok bawah—saya langsung
teringat akan sebuah drama Korea berjudul Monstar. Tokoh utama cewek di drama
itu pernah tinggal di Selandia Baru dan kerjaannya di sana hanya bergaul
bersama domba-domba. Hahaha. Mungkin, saya malah membayangkan wujud fisik
Ashlie seperti gadis dalam drama Monstar itu.
Ada beberapa
hal yang saya suka dari novel ini:
Desain cover dan layout-nya bagus.
Setting tempatnya luar negeri yang tidak pasaran.
Matamata https://tgatw.s3.amazonaws.com/bin/197a9aa4/100_0035.jpg |
Waitakere Ranges dan Pigura Raksasa http://www.clickthegoodnews.com/wp-content/uploads/2010/08/4386058165_1115cbe7ed_o.jpg |
Gaya bahasa penulis ringan dan lugas, sehingga mudah dipahami. Penulis menjaga diksinya tetap sederhana
dan tepat sasaran. Tidak ada kalimat berbelit-belit yang saya temukan.
Penulis berhasil membentuk karakter tokoh “aku” secara konsisten, melalui
cara pikirnya, perkataannya, dan tingkah lakunya. Dari cara pikirnya, terlihat jelas bahwa
Ashlie—tokoh “aku”—adalah tokoh yang lugu, naif, dan pesimis. Dalam hal ini,
adalah pesimis terhadap mimpinya akan hubungan istimewanya dengan Tuan Arthur. Terkadang,
Ashlie pun bisa menjadi agak lebay, seperti adegan ini misalnya: “tubuhku terasa berguncang hebat ketika melihat tulisan
The University of Auckland yang menyambutku pertama kali begitu memijakkan kaki
di kampus Tuan Arthur itu.” (halaman 77)
Ashlie juga adalah seorang gadis yang
egois, sementara ia menganggap orang lain—Dara—egois. Ia selama ini bersikap
egois terhadap Arvin, sampai Arvin menceritakan rahasianya dan menyadarkannya di
Bab 9. Sikap egoisnya ini juga nampak ketika ia memaksa Damar untuk menemui
Dara, padahal ia belum tahu alasan sebenarnya mengapa Damar tidak mau.
Sebagai pegawai keluarga, Ashlie ini
terlalu mengagungkan strata sosial—atau bisa disebut “terlalu sadar diri”,
menurut saya. “Kurasa, bagi sebagian orang, berbicara
dengan pembantu mereka tentu saja bukan hal yang menyenangkan.” (halaman 60)
Seringkali, saya mengira Ashlie ini baru
berusia enam belas tahun, dan bukannya 21 tahun, seperti yang dikisahkan
penulis. Tokoh ini terlalu kekanakan untuk seorang gadis berusia 21 tahun (yah,
saya sendiri 21 tahun, dan tidak sepolos itu). Mungkin penulis memang
menciptakan tokoh itu dengan karakter seperti itu. Kalau memang iya, berarti
penulis berhasil!
Adegan saat Arthur berdiri di atas bukit dengan membawa sebuah payung hijau
untuk “menjadi pohon” agar bisa meneduhi tempat Ashlie beristirahat (halaman 46-47).
Menurut saya, perbuatan
sederhana dan lucu khas anak kecil ini merupakan satu jenis keromantisan tidak
biasa. Saya juga suka adegan ketika Arthur dan ayah Ashlie membentangkan
selendang, dan membawa ranting-ranting pohon (halaman 126). Lagi-lagi hendak
menjadi pohon, dengan cara yang berbeda. Hahaha. Selain itu, juga adegan di
mana Ashlie ikut membentangkan selendang dan membawa ranting pohon, dan berdiri
di samping Arthur.
“Kalau kau ikut berdiri di sampingku, lalu kita melindungi siapa?” – Arthur (halaman 211)
Hahaha, lucu sekali, dasar bocah :v
Di sisi lain,
novel ini memiliki beberapa kelemahan.
Tentang karakter Ashlie yang terlalu kekanakan untuk gadis seumurnya—itu
bisa menjadi kelemahan, jika penulis awalnya tidak memaksudkan karakternya
seperti itu. Tapi, jika memang dimaksudkan seperti itu karakternya, maka, seperti yang sudah saya tulis sebelumnya, ini jadi poin kekuatan novel ini.
Ada satu paragraf yang membuatnya saya bertanya-tanya, “Ini korelasinya
apa, toh, dengan kalimat sebelum dan sesudahnya?”
“Setelah mengirim pesan, aku bergegas menemui Dara di rumah Paman Harold. Hari Sabtu masih tiga hari lagi. Kurasa Dara hanya sendirian di rumah saat ini. Apalagi, sekolahnya sudah libur dan dia tidak kembali ke negaranya.” (halaman 254)
Nah, kalimat yang saya cetak tebal
berwarna merah itu sebaiknya dihilangkan saja.
Timeline novel ini cukup membingungkan saya. Saya bingung kapan ibu Ashlie meninggal; tiba-tiba
ayahnya meninggal juga; terus kenapa-nya juga tidak dijelaskan. Saya makin
bingung ketika mendapati bahwa Nyonya Alexander juga sudah meninggal—kapan?
Bukannya sebelumnya beliau masih sehat-sehat saja, menawari Ashlie untuk tetap
di Matamata atau pindah ke Auckland? Bahkan,
saya baru tahu jauh setelahnya, bahwa ternyata ada jarak beberapa tahun antara
adegan tokoh “aku” menceritakan ia sedang berumur enam belas tahun, hingga
adegan “saat ini”, di mana ia sudah berumur 21 tahun. Maaf, mungkin ini kelemahan
saya karena tidak mampu menangkap setting
waktunya (taking a bow).
Menurut saya, penulis kurang bisa menyampaikan harapannya, yaitu “novel ini ditulis
dengan harapan dapat menjadi bagian dari inspirasi pembaca tentang mimpi-mimpi
yang mereka miliki.” (Ucapan Terima Kasih, halaman 3).
Membaca novel ini tidak menimbulkan efek
seperti ketika saya selesai membaca novel 12 Menit, misalnya, yang bisa
menjangkau kedalaman hati saya melalui inspirasi yang dirajut oleh penulis,
untuk selalu berjuang menggapai mimpi. Menurut saya, “mimpi” yang dimaksud
dalam novel ini bukanlah “mimpi” seperti persepsi saya--dan mungkin juga kebanyakan orang. “Mimpi” di sini hanyalah mimpi Ashlie untuk
bersatu dengan Arthur. Bukan mimpi untuk menggapai cita-cita atau semacamnya.
Sangat disayangkan, bahwasanya kisah antara Ashlie dan Arthur banyak terjalin di masa lalu. Di masa sekarang, justru Ashlie lebih sering bergaul dengan Damar, dan juga Arvin.
Minimnya deskripsi fisik tokoh. Saya kesulitan membayangkan wajah para tokoh, sehingga memengaruhi kemampuan saya untuk membayangkan adegan demi adegan yang terjadi.
Sangat disayangkan, bahwasanya kisah antara Ashlie dan Arthur banyak terjalin di masa lalu. Di masa sekarang, justru Ashlie lebih sering bergaul dengan Damar, dan juga Arvin.
Minimnya deskripsi fisik tokoh. Saya kesulitan membayangkan wajah para tokoh, sehingga memengaruhi kemampuan saya untuk membayangkan adegan demi adegan yang terjadi.
Tapi, membaca novel ini membuat saya ingin berkunjung ke Selandia Baru. Siapa tahu, saya punya kesempatan main di Hobbiton ^^.
Hobbiton http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/8/86/Hobbiton.jpg |
Review yg detail dan tajam, selalu sy tunggu :)
ReplyDeleteWah, terima kasih, Kak.
ReplyDeleteKak Rina editor Divapress, yah?
#ketauan abis ngepoin. Hehehe