31 October 2014

[Resensi "RINDU"- Bagian 1] Lima Kisah yang Bertumbukan


Judul Buku                          : Rindu
Penulis                                  : Tere Liye
Tebal                                     : ii + 544 halaman
Penerbit/cetakan             : Republika/Cetakan pertama, Oktober 2014
ISBN                                      : 978-602-899-790-4
Harga                                    : Rp 69.000,00


“Perjalanan hidupmu boleh jadi jauh sekali.... Tapi itu semua sifatnya adalah pemberhentian... Dengan segera kapal kita berangkat kembali, menuju tujuan yang paling hakiki... Maka jangan pernah merusak diri sendiri... Tidak pernah ada pelaut yang merusak kapalnya sendiri.” – Gurutta (halaman 284)
Sudah cukup lama saya ingin mencoba membaca buku karangan Tere Liye, tapi melihat banyaknya buku beliau di rak-rak toko buku, selalu membuat saya bingung ingin membaca yang mana dulu. Seorang teman yang menyukai buku beliau berkata pada saya pada suatu saat, “Aku pengin baca novel Tere Liye yang baru, judulnya ‘Rindu’. Kamu punya, nggak?”

Lha, jangan tanya pada saya, membaca buku beliau secara penuh dari awal sampai akhir saja belum pernah. Sebenarnya, saya pernah membaca “Ayahku Bukan Pembohong”, tapi belum sampai tamat. Pada akhirnya, teman saya itu berhasil membuat saya penasaran akan novel “Rindu”, sehingga begitu saya sampai di rak “buku terbaru” Togamas, saya langsung meraih “Rindu” dari tumpukan teratas. Saya tidak berlama-lama membaca sinopsis di punggung buku, lantaran penggalan-penggalan kalimat itu tak menuntun satu titik terang ke hadapan saya: tentang apa sebenarnya buku ini. Satu yang berhasil menyembul di tengah kegelapan adalah kalimat kunci ini, “Lima kisah dalam sebuah perjalanan panjang kerinduan.”

***

1938. Tujuh tahun sebelum Indonesia merdeka. Tanggal 1 Desember tahun itu, sebuah kapal haji milik Belanda, BLITAR HOLLAND, berangkat dari pelabuhan Makassar, mengangkut para calon haji. Banyak penumpang dari berbagai asal dan kalangan menjadi penumpang, disatukan oleh satu niat berlandaskan kerinduan: menunaikan ibadah haji di Tanah Suci. Siapa sangka, di atas kapal itu Tuhan mempertemukan lima kisah, yang menimbulkan lima pertanyaan terpenting dalam hidup mereka, dan saling bertautan?

Daeng Andipati
Adalah Daeng Andipati, seorang pedagang kaya raya di Makassar, pria jebolan Universitas Rotterdam, yang pandai berdiplomasi. Ia termasuk orang terpandang. Semua orang mengira ia adalah penumpang yang paling bahagia di kapal itu, begitulah kata Ruben suatu saat, seorang kelasi senior. Ironis. Dari luar memang ia tampaknya bahagia. Didampingi seorang istri yang cantik, dua anak perempuan yang ceria dan menyenangkan, Elsa dan Anna. Kekayaan dan budinya yang baik tak usah dipertanyakan. Seindah-indahnya sampul depan sebuah buku, tak akan ada yang tahu apakah isinya baik atau buruk, sebelum membuka dan membacanya. Ketika Daeng Andipati akhirnya bersedia membuka hatinya kepada Gurutta, terungkaplah bahwa luaran yang bahagia itu ternyata mengandung kebencian stadium akhir kepada orang yang seharusnya ia kasihi.
“Bagaimana mungkin aku pergi naik haji membawa kebencian sebesar ini?” – Daeng Andipati (halaman 371)

Gurutta Ahmad Karaeng
Gurutta Ahmad Karaeng, adalah seorang ulama besar yang termasyhur dan dihormati di Makassar, bahkan sampai di kota-kota lain di penjuru Nusantara. Sekali ulama berumur 75 tahun ini bicara, maka ribuan orang akan bergerak mematuhi kata-katanya. Satu kalimat dari orang yang tepat memang dapat menggerakkan massa sedemikian kuat. Di atas kapal itu, beliau adalah penumpang yang paling dihormati, bahkan oleh Kapten Phillips, sang kapitein. Sergeant Lucas, pemimpin pasukan tentara Belanda yang ditugaskan berjaga di atas kapal itu telah lama mengincar beliau, karena pamor beliau yang ditakuti akan mendoktrin masyarakat tentang paham-paham kemerdekaan melalui dakwah-dakwahnya. Saat pertama kali masuk kapal pun, sersan itu melarangnya dengan keras, takut jika nanti beliau menghasut para penumpang untuk membajak kapal. Namun, sersan itu tak bisa berkutik, saat Gurutta menyodorkan surat izin resmi dari Gubernur Jenderal de Jonge di Batavia.

Selama ini, ajarannya ia abadikan melalui tulisan-tulisan. Selama perjalanan di atas kapal, ia pun sempat menyelesaikan satu buku. Buku itulah yang nantinya, yang berkat judulnya yang mengembuskan propaganda kemerdekaan, menyeretnya dalam masalah. Selain itu, di kapal pun beliau aktif memimpin shalat di masjid kapal, mengajarkan agama, dan menjadi tempat bertanya tentang kehidupan. Selama menulis dan mendengarkan pertanyaan-pertanyaan orang lain itulah, Gurutta melihat ke kedalaman dirinya sendiri, dan mengalami keraguan. Selama ini ia hanya berani melawan penjajahan lewat tulisan, tanpa tindakan konkret. Benarkah tindakannya ini?
“Lihatlah seorang yang selalu pandai menjawab pertanyaan orang lain, tapi dia tidak pernah bisa menjawab pertanyaan sendiri..... Lihatlah seorang yang selalu punya kata bijak untuk orang lain, tapi dia tidak pernah bisa bijak untuk dirinya sendiri.” – Gurutta (halaman 316)
Tak diduga, si Ambo Uleng, anak baru kemarin sore dalam hal belajar agama, yang menyadarkan Gurutta akan jawaban pertanyaannya.
“Lawanlah kemungkaran dengan tiga hal. Dengan tanganmu, tebaskan pedang penuh gagah berani. Dengan lisanmu, sampaikan dengan perkasa. Atau dengan benci di dalam hati, tapi itu sungguh selemah-lemahnya iman.” – Ambo Uleng (halaman 532-533)
Manakah yang Gurutta pilih pada akhirnya? Tentu saja bukan pilihan ketiga.

Ambo Uleng
Beberapa saat sebelum BLITAR HOLLAND melepas sauh dari pelabuhan Makassar, seorang pemuda bugis berkulit legam dan bertubuh gagah menghadap Kapten Phillips untuk melamar pekerjaan di atas kapal. Dari curriculum vitae-nya, Kapten Phillips tahu bahwa pemuda berusia 24 tahun ini adalah seorang pelaut berpengalaman, plus mampu berbahasa Belanda, dan cerdas. Semuda itu sudah pernah menjadi nakhoda Phinisi sampai ke Malaka, sebelum ia mengundurkan diri dan melamar kerja di sini. Aneh, menurut Kapitein. Tapi, Ambo tidak mau mengatakan alasannya.

Awalnya, Kapitein menolak merekrutnya, karena Ambo belum berpengalaman bekerja di kapal uap. Selama ini yang ia kemudikan adalah kapal layar. Namun, Ambo tetap ngotot.
“Aku hanya ingin meninggalkan semuanya, Kapten.... Pergi sejauh mungkin. Semakin jauh kapal ini pergi, semakin baik bagiku. Aku akan melakukan apa pun yang Kapten perintahkan. Tidak digaji sekalipun tidak masalah.” – Ambo Uleng (halaman 33)
Akhirnya, kapten itu berubah pikiran, dan menempatkan Ambo sebagai kelasi dapur.
“Hanya dua hal yang bisa membuat seorang pelaut tangguh berhenti bekerja di tempat yang ia sukai, lantas memutuskan pergi naik kapal apa pun yang bisa membawanya sejauh mungkin ke ujung dunia. Satu karena kebencian yang amat besar, satu lagi karena rasa cinta yang sangat dalam.” – Kapten Phillips (halaman 33)
Di hadapan Gurutta, Ambo akhirnya menumpahkan segala keresahan hatinya, yang makin lama menggerogoti fisiknya.
“...apakah itu cinta sejati? Apakah kau besok lusa akan berjodoh dengan gadis itu? Apakah kau masih memiliki kesempatan?” – Gurutta (halaman 491)

Bonda Upe
Wanita Tionghoa cantik yang selalu memakai cheongsam (pakaian berwarna cerah khas China) itu menyanggupi menjadi guru mengaji untuk anak-anak selama di dalam kapal. Di balik wajahnya yang memancarkan senyum setiap mengajar anak-anak itu, ia menyimpan luka masa lalu. Sebuah masa lalu pahit yang membuat ia lari selama bertahun-tahun. Yang membuatnya amat ketakutan ketika bertemu dengan seorang teman lama di sebuah warung soto, ketika kapal merapat di Batavia. Kecemasannya akhirnya terjadi. Padahal, selama di dalam kapal ia selalu menyembunyikan diri bersama suaminya di dalam kabin, takut kalau-kalau bertemu penumpang yang ternyata mengenalinya dari masa lalu, saat ia masih bernama Ling-ling.
Apakah Allah... Apakah Allah akan menerimaku di Tanah Suci?” – Bonda Upe (halaman 310)

Mbah Kakung
Sepasang kakek-nenek naik ke kapal itu dari Semarang, bersama putri sulungnya. Mereka tinggal di kabin sebelah kabin Daeng Andipati. Hampir setiap jam makan di kantin, mereka selalu duduk semeja. Suasana meja selalu menjadi lebih meriah dengan kehadiran kedua sesepuh itu. Elsa dan Anna pun menyukai Mbah Putri dan Mbah Kakung, meski Mbah Kakung sering sekali salah mendengar kata-kata Anna, lantaran pendengarannya memang sudah tidak tajam. Satu hal yang paling dikagumi Anna adalah keromantisan kedua pasutri yang sudah uzur itu.

Puluhan tahun kedua mbah itu menabung untuk dapat ke Tanah Suci berdua, sebelum ajal menjemput. Namun, sebelum sampai di Tanah Suci, terjadilah hal yang paling ditakutkan Mbah Kakung.
“Kenapa harus terjadi sekarang, Gurutta?” – Mbah Kakung (halaman 469)

***

Petualangan di atas kapal itu tak melulu soal bertanya-jawab dengan Gurutta. Kisah mesin rusak, terombang-ambing di laut, penyerangan terhadap Daeng Andipati, hilangnya Ambo Uleng, hilangnya Anna, hingga diserang perompak pun mewarnai. Apakah para penumpang BLITAR HOLLAND itu berhasil mengobati rasa rindu mereka untuk menginjak Tanah Suci?

(Berikutnya, bagian 2)

0 komentar:

Post a Comment

Your comment is so valuable for this blog ^^

bloggerwidgets