(Sebelumnya, bagian 1)
Buku ke-13 karangan Tere Liye yang diterbitkan oleh Republika ini masih mengusung tema yang selama ini selalu digarap beliau, tentang kehidupan nyata dengan segala macam aspeknya. Kali ini, bagian dari kehidupan yang ingin diolah beliau adalah seputar kerinduan yang dipadukan dengan sejarah bangsa Indonesia. Awalnya, ketika membaca sinopsis yang terukir di punggung putih buku itu, saya mengira akan menjumpai kisah cinta antara sepasang manusia lelaki dan perempuan. Hah, tentunya saya terlalu picik menilai arti kata “rindu”. Meskipun ternyata salah satu dari lima kisah di dalam novel ini memang tentang kisah cinta antara seorang pemuda dan gadis yang dicintainya, tapi tema besarnya adalah kerinduan para calon haji di atas kapal itu untuk menginjak Tanah Suci dan menatap Ka’bah.
Buku ke-13 karangan Tere Liye yang diterbitkan oleh Republika ini masih mengusung tema yang selama ini selalu digarap beliau, tentang kehidupan nyata dengan segala macam aspeknya. Kali ini, bagian dari kehidupan yang ingin diolah beliau adalah seputar kerinduan yang dipadukan dengan sejarah bangsa Indonesia. Awalnya, ketika membaca sinopsis yang terukir di punggung putih buku itu, saya mengira akan menjumpai kisah cinta antara sepasang manusia lelaki dan perempuan. Hah, tentunya saya terlalu picik menilai arti kata “rindu”. Meskipun ternyata salah satu dari lima kisah di dalam novel ini memang tentang kisah cinta antara seorang pemuda dan gadis yang dicintainya, tapi tema besarnya adalah kerinduan para calon haji di atas kapal itu untuk menginjak Tanah Suci dan menatap Ka’bah.
Sebenarnya, tema kisah ini sederhana.
Tentang sebuah perjalanan panjang menaiki kapal. Hanya saja, jika diolah oleh
seorang penulis berpengalaman, maka tema ini menjadi terasa spesial.
Mengapa sedemikian
besar rasa rindu untuk naik haji di zaman itu—pada masa penjajahan Belanda?
Dijelaskan oleh sang penulis, bahwa di masa
itu, biaya untuk naik haji sangatlah mahal, ditambah lagi dengan berbagai
risiko yang menghadang selama perjalanan panjang. Sekarang, naik pesawat dari
Jakarta ke Jeddah (hanya) membutuhkan waktu sembilan jam. Namun, pada masa itu,
dibutuhkan waktu 30 hari naik kapal. Haduh, baru sekali saja saya naik kapal
dari Pontianak ke Semarang selama 36 jam, dan menurut saya itu sudah super
sekali goncangannya, mengena di hati dan perut, tentunya. Nah itu, bagaimana
jika 30 hari berada di dalam kapal?
Nusantara Versi Mini
Mungkin saya akan tidak terlalu bosan jika
sebelah kabin saya dihuni keluarga Daeng Andipati, terutama karena keberadaan
Elsa dan Anna, yang pastinya mampu membuat suasana ceria. Elsa, yang selalu
berusaha sok dewasa dengan mengatur dan memarahi adiknya. Tapi sebenarnya, dia
gadis 15 tahun yang cerdas. Ia dapat menduga bahwa kapal sudah mendekati sebuah
pulau ketika ia melihat burung camar beterbangan (halaman 103 akhir – 104
awal). Ia juga berhasil mengkhatamkan bacaan Alquran-nya di hari ke-28.
Lain dengan Anna, meski selalu berisik dan
penuh rasa ingin tahu, ia adalah sosok bocah yang ramah dan menyenangkan. Cara
berpikirnya yang polos seringkali membuat senyum saya mengembang. Terlebih ketika dia terlibat obrolan melelahkan yang penuh salah-paham dengan Mbah Kakung. Hehehe.
“Orang dewasa kenapa rumit sekali... kenapa mereka mencemaskan banyak hal (?)” – pikiran Anna (halaman 199)
Atau ketika Anna terjebak di antara
kericuhan massa pasca pemberontakan pribumi di Surabaya. Meski habis hilang di tengah keramaian, Anna tetap saja memikirkan terus
baju barunya yang untungnya tidak hilang. Dasar bocah, haha!
(halaman 134)
Sebelumnya, ketika
pertama kali penulis memperkenalkan kedua tokoh bocah ini, saya langsung
curiga. Mengapa penulis menamai mereka Elsa dan Anna? Otak saya langsung
menghubungkannya dengan film animasi Frozen,
yang sempat menyabet sederet penghargaan festival film internasional. Tentunya
Anda ingat, bukan? Tokoh utama dalam film itu adalah sepasang kakak-beradik,
yang bernama Elsa dan Anna. Dalam film itu, kedua orang tua mereka meninggal di
atas kapal di tengah laut. Nah, novel ini pun kisahnya mondar-mandir di dalam
kapal di tengah laut.
Hal kedua yang
membuat saya curiga adalah, di zaman itu, mungkinkah pasangan suami-istri Bugis
menamai anaknya dengan nama khas Eropa? Baru saja saya menelan pertanyaan itu,
eh, penulis seolah bisa membaca isi kepala saya. Di halaman 72, saya dipuaskan
oleh penjelasan Daeng Andipati tentang makna nama kedua putrinya.
Anna, berkat
keceriaannya, bisa dibilang satu-satunya bocah yang dapat membuat Ambo Uleng
tersenyum di hari-hari terberatnya. Ambo Uleng, pemuda bertubuh kuat dan
berkulit legam khas seorang pelaut itu beberapa kali menolong Anna dan Daeng
Andipati. Meskipun pendiam, tapi Gurutta tahu bahwa ia seorang pemuda yang
berbudi baik.
“Dia tidak akan mau mengambil kesempatan hanya karena ada orang berhutang budi padanya.” – Gurutta (halaman 274)
Namun, Ambo patut
bersyukur lantaran teman sekabinnya adalah Ruben, seorang kelasi senior yang
ramah dan ceria. Ia selalu suka bercerita, meski Ambo hanya menanggapinya
dengan diam (misalnya, di halaman 88). Selanjutnya, tokoh Ruben ini juga
menjadi salah satu tokoh yang cukup sering muncul, terutama di adegan makan
bersama malam-malam di kantin kapal bersama Gurutta.
Malah, Ruben pernah menanyakan arti kebahagiaan sejati kepada Gurutta, yang sebenarnya juga ingin
ditanyakan oleh Daeng Andipati.
Tokoh berikutnya,
adalah Bonda Upe, yang memiliki masa
lalu kelam. Awalnya, ia malu-malu menawarkan mengajar anak-anak mengaji, karena
merasa bahwa pengalamannya masih teramat sedikit. Tapi, Gurutta tidak mempermasalahkan hal itu.
“Mata air yang dangkal, tetap saja tetap saja bermanfaat jika jernih dan tulus. Tetap segar airnya.” – Gurutta (halaman 57)
Namun, parasnya
yang cantik, suaranya yang lembut, dan perangainya yang kalem membuat anak-anak
menyukainya, terutama Anna.
Mbah Kakung dan
Mbah Putri yang baru muncul setelah kapal mencapai Semarang pun memberi warna
baru dalam cerita. Warna kemerah-mudaan khas romantisme pasangan suami-istri.
Meski sudah uzur, bahkan Mbah Kakung lebih tua daripada Gurutta, rasa cinta dan romantisme antara mereka berdua terlihat
tak pernah surut. Sikap romantis dan penuh perhatian kepada pasangan ini
memberi inspirasi tersendiri kepada para penumpang lain, tak terkecuali Daeng
Andipati. Pria itu jadi lebih romantis terhadap istrinya, terutama untuk
mengatasi penyakit “cepat marah, mudah
cemas, gampang salah-paham” (halaman 266).
Gurutta sendiri, berari “guru kami” (seperti dijelaskan oleh penulis), memegang
peranan penting dalam seluruh cerita ini. Bisa dibilang, sesungguhnya beliaulah
tokoh yang benar-benar berada di pusat cerita. Seluruh pertanyaan yang diajukan
padanya, akhirnya membuat beliau bertanya pada diri sendiri tentang jati
dirinya. Jangan salah, seorang tua yang memilki banyak pengalaman, merupakan
salah satu guru agama termasyhur di penjuru Nusantara itu pun pernah mengalami
kebimbangan akan dirinya sendiri. Sehebat apapun terlihat, seseorang pasti
pernah mempertanyakan kebenaran tindakannya selama ini.
Aktivitas Gurutta tak melulu mengajar agama dan
menulis buku. Beliau juga suka bermain dengan anak-anak, terutama Elsa dan
Anna. Juga suka mengobrol dengan para penumpang lain. Yang paling sering,
beliau mengobrol dengan Ruben, Ambo, Daeng Andipati, dan Chef Lars di kantin
kapal, setiap ia datang terlambat makan malam. Seringkali, beliau juga terlibat
pembicaraan dengan Kapten Phillips dan dua orang guru sekolah sementara di
kapal, Soerjanto dan Mangoenkoesoemo. Gurutta
merupakan sosok yang memperhatikan orang-orang di sekitarnya. Ketika Bonda Upe mengurung diri dalam kabin,
setiap hari Gurutta menjenguknya,
hingga wanita itu siap menemuinya. Betapa rendah hati guru ini. Benarlah
pepatah ini: makin berisi, padi makin
merunduk.
Satu sifat lain Gurutta yang saya sukai adalah ia tak
suka berbasa-basi. Memang, ia bukan orang Jawa, jadi wajarlah tak suka
basa-basi. Hehehe. Dan untuk urusan makanan, beliau mirip dengan
saya. Ambil saja selagi
ada, tak usah malu-malu. Haha. Toh, nantinya beliau juga membagikan
makanan itu pada orang lain.
“Kau tidak basa-basi, kan? Karena jangan pernah menawari orang tua ini makan, aku akan ikut makan sungguhan.” – Gurutta (halaman 283)
Contohnya, ketika
ia meminta makanan di ruang perawatan Ambo. Atau setiap kali ia
datang ke kantin untuk minta diambilkan makanan atau dimasakkan oleh Chef Lars.
Nah, sang koki kapal ini memang galak dan kata-katanya pedas. Tapi, di balik
kulit tajam itu, ternyata tersimpan isi yang lembut. Pujilah masakannya—yang
memang enak—dan ia akan menunjukkan sifat aslinya yang menyenangkan! Memang, Gurutta sangat ahli membangun relasi dengan siapa pun.
“Masakan lezat selalu membuat orang kembali.” (halaman 272)
Bukan hanya koki kapal. Melainkan sang
kapten juga adalah orang yang menyenangkan. Kapten Phillips mungkin salah satu anomali bagi kebanyakan orang Belanda berjabatan tinggi. Ia tidak
angkuh dan tidak memandang rendah para pribumi. Dengan prinsip egaliter yang dijunjungnya,
ia menghargai semua penumpangnya.
Semua tokoh di atas bisa dibilang adalah
tokoh protagonis. Sementara itu, ada satu tokoh antagonis, yang saya bayangkan
tampilan fisiknya seperti penjahat konyol di film “Home
Alone”—siapa lagi kalau bukan Sersan Lucas. Namun, tokoh antagonis ini pun
di akhir cerita berubah haluan. Hei, siapa bilang kompleks cerita yang tidak
dihuni oleh tokoh antagonis murni itu tak seru? Lagi pula, manusia memang
merupakan sosok abu-abu, bukan?
A Journey Across The Seas
Rute perjalanan Kapal BLITAR HOLLAND. |
Dalam perjalanan menuju Jeddah, rombongan
dari Makassar itu mengalami delapan kali transit untuk, baik untuk “mengambil”
penumpang, maupun mengambil persediaan keperluan seisi kapal. Anna dan Elsa,
selalu bersemangat menantikan kapal merapat ke pelabuhan untuk transit. Mulai dari
di Surabaya.
Daeng Andipati sekeluarga pergi ke Pasar
Turi untuk membelikan Anna pakaian baru, lantaran tas biru berisi
pakaian-pakaiannya hilang saat masuk kapal pertama kali. Dari pelabuhan menuju
ke tempat tujuan, mereka menaiki trem listrik, yang kala itu pernah beroperasi
di Surabaya. Wah, ternyata Surabaya tidak kalah modern dengan kota-kota maju
lain di Eropa pada masa itu! Saya pun baru tahu akan sejarah ini.
Berikutnya, tentang Pasar Turi. Pasar yang
kerap mengalami pembangunan-ulang akibat diganyang kebakaran itu sudah mulai
berdiri cikal bakalnya sebelum tahun 1920. Saat itu, belum ada bangunan pasar,
hanya berupa lapak-lapak temporer.
Di kota selanjutnya, Semarang, keluarga
Daeng Andipati tidak turun. Berikutnya, mereka turun di pelabuhan terbesar
sejauh ini yang mereka singgahi—Batavia. Di kota ini pun terdapat trem listrik.
Di sebuah warung soto yang termasyhur itulah, sebuah adegan yang mengantarkan Bonda Upe ke titik balik kehidupannya
terjadi. Rute berikutnya, pelabuhan Lampung, Bengkulu, Padang, dan Banda
Aceh—sang Serambi Mekkah. Dari situ, kapal melaju kembali ke Kolombo. Saat itu, terjadi sesuatu
yang mungkin dapat menyebabkan seisi kapal terkatung-katung di tengah samudera.
Penulis selalu menyajikan gambaran
tempat-tempat yang penumpang singgahi dengan cukup deskripsi yang memadai. Ketika
di Batavia, penulis menyampaikan detail bangunan-bangunan bersejarah di sana,
meski hanya sebatas “tell”, bukan “show”. Ketika mereka sampai di kota
Kolombo, untuk menggambarkan suasana kota itu, penulis juga menyajikan makanan
khas dan alat transportasi khas.
Bicara tentang setting waktu, penulis dengan teliti menyebutkan tanggal-tanggal
penting secara konsisten. Terlebih karena beliau sedang menuliskan peristiwa
berbau sejarah, jadi harus tepat tanggalnya. Saya mengapresiasi atas
konsistensi ini, karena terkadang beberapa penulis teledor akan hal ini.
(Berikutnya: bagian 3)
0 komentar:
Post a Comment
Your comment is so valuable for this blog ^^