Cerita yang saling bertautan di atas kapal
itu dituliskan oleh penulis dengan alur maju. Penulis menceritakan kejadian-kejadian
secara detail pada bagian tertentu, dan sekilas saja, pada bagian lain yang
tidak terlalu penting. Penulis
yang baik tahu di bagian mana harus diberikan pemaparan lebih, mana yang tidak
perlu.
Meskipun penulis menyodorkan banyak kota
tempat transit, beserta segala suasana dan kebudayaannya, tetap saja, sebagian
besar cerita bertempat di atas kapal. Namanya saja di atas kapal, pasti
aktivitas berjalan secara rutin hingga mendekati “membosankan”. Misalnya saja, saya ambil contoh kasus aktivitas
Anna. Pagi: bangun, shalat shubuh, mandi, sarapan, sekolah. Siang: selesai
sekolah, makan siang, bermain, atau melakukan hal lain. Sore: belajar mengaji,
menonton sajian pemandangan hewan laut (jika ada), bermain, singgah ke kabin Gurutta, kembali ke kabinnya sendiri,
mandi. Malam: makan malam, membaca, tidur. Keesokan harinya, jika masih berada
di tengah laut, aktivitas itu akan berulang kembali.
Bahkan, mungkin saking hafalnya akan urutan
aktivitas para penumpang, penulis tidak sengaja menulis kalimat yang sama dua
kali.
“Di
luar terik matahari menyengat ubun-ubun. Tidak ada yang berminat berdiri atau
duduk di dek melihat pemandangan.”
(halaman 144)
|
“Di luar
terik matahari menyengat ubun-ubun. Tidak ada yang berminat berdiri atau
duduk di geladak melihat
pemandangan.” (halaman 154)
|
Dari kedua kalimat tersebut,
perbedaan hanya terletak pada “dek” dan “geladak”.
|
Namun, penulis dengan lihai mengalihkan
kebosanan pembaca dengan memunculkan beberapa teka-teki, yang dibuka
petunjuknya sekeping demi sekeping. Tapi, menurut saya, ujung dari 5 teka-teki
itu bisa saya tebak dengan cukup mudah, kecuali teka-teki si Ambo. Kebosanan
pembaca yang mungkin muncul juga dapat diminimalisasi dengan membagi cerita
menjadi bab-bab yang pendek. Salah satu hal teknis yang membuat saya betah
membaca novel ini, ya, itu, bab-bab yang pendek. Hehehe.
Sayangnya, ini adalah kali pertama saya
membaca novel Tere Liye, sehingga belum terbiasa dengan istilah-istilah islami
yang sering digunakan penulis, dan tidak saya mengerti artinya. Mungkin penulis
bisa membikin hal ini menjadi lebih general, sehingga pembaca yang awam dalam bahasa Arab dapat mengerti maksudnya. Atau, mungkin penulis
memang ingin agar pembacanya lebih aktif mencari sendiri arti istilah-istilah
tersebut, seperti masbuk dan Qari. Dari melihat konteks kalimatnya,
saya bisa mengira bahwa masbuk
berarti “terlambat”. Sementara itu, Qari
ternyata adalah orang yang mendeklamasikan Alquran dengan kaidah pengajian yang
tepat (Wikipedia).
Saya juga mengapresiasi teknik yang
digunakan penulis untuk menjelaskan arti bahasa Belanda yang sering digunakan
dalam cerita. Alih-alih menggunakan catatan kaki, penulis memilih menjelaskan
secara implisit melalui narasi. Dengan begitu, pembaca tidak merasa dianggap
bodoh, bisa menangkap sendiri artinya berdasarkan konteks. Saya pernah membaca suatu novel sejarah dengan istilah bahasa Belanda bertebaran, dan si penulis
sering mengulang catatan kaki yang berisi arti istilah-istilah tersebut. Saya jadi
merasa sedikit terganggu dan dianggap pelupa atau bodoh oleh penulis. Hohoho. Tapi,
sayangnya, ada beberapa istilah yang oleh Tere Liye tidak dijelaskan artinya
sama sekali.
Pemilihan menulis dengan sudut pandang orang
ketiga serba-tahu membuat penulis dapat lebih luas mengeksplorasi
pikiran-pikiran para tokoh, dan motif tindakan mereka. Hal ini menguntungkan,
karena pembaca dapat lebih mendalami karakter para tokohnya. Dalam novel
ini, cara tersebut berhasil menghidupkan karakter-karakter yang kuat.
Dari membaca novel ini, saya dapat menangkap
suatu gaya khas cara menulis Tere Liye. Beliau gemar menggunakan kalimat yang
dimulai dengan “Bilang…” alih-alih
semacam “Dia mengatakan bahwa…”.
“Bilang
masak di kabin.”
|
Halaman
104
|
“Bilang berselera tinggi.”
|
Halaman
128
|
Juga, penulis suka menggunakan keterangan
waktu “besok lusa”, yang awalnya
saya kira artinya benar-benar lusa, hari sesudah besok (besok
beneran, lho, bukan “besok”-nya orang Jawa. Hehehe). Ternyata, yang dimaksudkan
penulis dengan “besok lusa” adalah “nanti, kapan-kapan”.
Gaya penulis untuk memaparkan sesuatu terkadang melibatkan
penggunaan analogi yang cukup kreatif.
“Seperti kartu yang didirikan berbaris lantas roboh satu per satu, perintah singkat itu segera menyebar ke seluruh kapal.” (halaman 466)
Gado-gado
Pengetahuan
Beragam suku, bahasa daerah, perangai
penumpang berdesakan dan membaur jadi satu dalam kapal itu selama kira-kira 30
hari perjalanan ke Jeddah. Mulai dari suku Bugis, Jawa, Minang, Aceh hingga
orang Tionghoa. Penulis pun menyebut Kapal BLITAR HOLLAND sebagai perwujudan
Nusantara versi mini. Indonesia yang benar-benar bhinneka tunggal ika; kerukunan dan solidaritas terjalin tanpa
cela, yang saya rasa belum terwujud dengan baik di dunia nyata sekarang ini.
Lihat saja, para awak kapal yang nyaris semuanya beragama Kristiani,
menghormati para penumpang. Begitu pula, ketika para awak kapal merayakan Natal
bersama, para penumpang pun menghargainya.
Salah satu tujuan seorang penulis menulis
adalah untuk memberikan pengetahuan kepada pembacanya. Nah, lewat novel ini,
Tere Liye menyuguhkan pada saya banyak pengetahuan baru. Tentang sejarah, tentu
saja. Cerita tentang Sultan Hasanuddin yang pernah saya baca waktu pelajaran
IPS dulu, disodorkan kembali di depan hidung saya. Bukan hanya sejarah. Tentang
cara kerja mesin uap secara umum pun disajikan penulis. Sebagai seorang
mahasiswa teknik, saya mengapresiasi hal ini.
Pandangan baru
yang saya dapatkan: ternyata tak semua “balas-budi” itu benar, yah, meski
terlihat baik. Seperti ketika Daeng Andipati hendak membalas-budi terhadap
Ambo, tapi dilarang oleh Gurutta.
Pengetahuan tentang obat-obatan herbal juga diselipkan oleh penulis, seperti
minuman jahe yang berkhasiat membantu meredakan mabuk laut (halaman 64). Penulis juga
menyelipkan suatu ironi, bahwa pada suatu kesempatan, orang pribumi pun bisa memerintah
para penjajahnya (ketika Ambo memimpin pemasangan layar kapal di halaman 526).
Sayang Sekali….
Berbanding lurus dengan banyaknya
pengetahuan yang dituliskan penulis, sedemikian banyak juga kesalahan penulisan
yang sedikit membuat saya kesal.
Bagaiman jiak Anda di minta membca kslimat srperti ini?
Anda memang dapat menangkap artinya, tapi tetap saja,
kenikmatan membaca telah berkurang, bukan?
Contoh Kasus Kesalahan Penulisan atau Kebingungan yang
Saya Alami
|
Paragraf ke-
|
Halaman
|
Kapalan à kapal-kapalan.
“.... Kapal Blitar Holland seperti kapalan kecil...”
|
3
|
285
|
Kata “semua” cukup ditulis satu kali.
“Tapi itu semua sifatnya adalah pemberhentian semua...”
|
2
|
284
|
Saya bingung akan maksud kalimat ini.
“Ijah juga mabuk laut. Dia sejak kecil, sekali pun
belum pernah menginjakkan kaki di perahu.” – Istri Daeng Andipati.
Variasi terjemahan saya:
1. “Ijah juga mabuk
laut. Sejak kecil, ia sekali pun belum pernah
menginjakkan kaki di perahu.”
à sekali pun = satu kali pun
2. “Ijah juga mabuk laut
sejak kecil, sekalipun belum pernah
menginjakkan kaki di perahu.” Ã sekalipun = meskipun
Sepertinya, maksud
penulis seperti yang nomor satu.
|
2
|
50
|
“Cantik sekali
bukan.” – Ruben
Cantik sekali, bukan?
|
5
|
88
|
“Masih ada sisa makan
malam, Ambo.” – Gurutta
Masih ada sisa makan malam, Ambo?
|
terakhir
|
97
|
“Masalah itu siap
tiba (di) Kapal...”
|
terakhir
|
516
|
***
Bacaan yang baik adalah yang mampu memberi pengetahuan baru dan mengubah cara pandang para pembacanya. Penulis yang baik mampu mengolah tema sederhana menjadi kisah istimewa nan menyentuh. Untuk hal ini, Tere Liye adalah salah satu jagonya. Kepiawaian sang penulis menjadikan novel "Rindu" ini dapat dinikmati para pembaca berbagai umur dan lintas kalangan. Saya jamin, tak akan menyesal Anda meluangkan waktu untuk membacanya ^^.
0 komentar:
Post a Comment
Your comment is so valuable for this blog ^^