Penulis : Miko
Santoso
Tebal : 280
halaman
Penerbit/cetakan : Divapress/Cetakan pertama, Agustus 2014
ISBN : 978-602-296-001-0
“Mimpi mereka berbelok, tapi bukan berarti gagal. Kegagalan itu sendiri nyatanya hanyalah sebuah permainan persepsi.” (halaman 276)
Passion saya adalah menulis. Menjadi penulis yang berkarya secara kontinu, yang
mampu menulis apa saja. Tapi, rencana Tuhan meletakkan saya dalam fakultas
terbesar di UGM, di jurusan Teknik Fisika. Lantas, apakah saya gagal menjadi
penulis? Apakah seorang penulis harus mendalami ilmu bahasa atau sastra?
Tentu
saja tidak. Saya percaya bahwa ilmu eksak yang saya pelajari di kampus (doakan,
semoga cepat lulus!) bermanfaat untuk karier menulis saya. Bisa, dong, saya
nulis novel sci-fi tentang anti-matter, misalnya? Kalau yang nggak
familiar dengan ilmu eksak, pasti kesusahan nulis begituan. Saya
saja kelimpungan. Hehehe.
Tokoh
utama dalam novel ini, si “aku”, juga percaya bahwa banyak cara untuk sampai ke
tujuan, mimpi utama kita.
***
Qiana,
si “aku”. Cewek, awam dalam hal perawatan tubuh, fashion, dan berdandan. Saking kucelnya, saat pertama bertemu, Onne
mengira dia pembantu. Waktu mau kondangan pun—menurut Qiana, penampilannya sudah
cukup “cantik”—dia dikira
hendak pergi ke warung. Posturnya tinggi besar (saya belum bisa bayangin dia
sebesar apa) dan makannya banyak. Lulusan
SMA. Mengapa nggak lanjut kuliah? Nah, pasti banyak yang ingin menanyakan hal
ini.
Orbitnya
berantakan semua. Semenjak itu, ia mengalami “antivisi”, membuatnya seperti tak
punya tujuan hidup. Itu juga yang membuatnya malas melanjutkan studi.
Pengangguran, itulah
statusnya. Rumah peninggalan Ayah-lah benda paling berharga yang ia miliki. Itu
pun, kalau sertifikatnya sedang tidak dijadikan jaminan pinjaman bank.
Di
saat Qiana benar-benar sekarat, datanglah seorang saudaranya, yang akan kuliah
di STAN, menyewa salah satu kamar di rumahnya untuk mengekos. Namanya Gili.
Meskipun jauh lebih ndeso, gadis itu
lebih pintar dan optimistis, dibandingkan Qiana si anak kota. Ketika Tuhan
membelokkan jalur perjalanan Gili sebagai calon ahli keuangan, gadis itu
berusaha mencari pekerjaan agar tak jadi pengangguran. Ada satu kesempatan
menarik untuk bekerja di sebuah kafe besar. Tapi, Gili tak punya pengalaman
sama sekali dengan mesin pembuat kopi, padahal dia ingin jadi barista. Qiana,
yang sudah lama tak menyentuh Miss Silvia, mesin pembuat kopi peninggalan
ayahnya, mengajarinya secara kebut semalam. Dasar cepat belajar, Gili diterima
di kafe itu, meskipun bukan di posisi barista.
Di
tengah-tengah kisah, muncullah Onne, teman kuliah Gili dulu, yang
juga ingin mengekos di
rumah Qiana. Onne ini anak orang kaya asal Malang, tapi hidupnya kurang kasih
sayang. Setelah lulus dan bekerja, hati nuraninya terguncang. Ia merasa bimbang akan jati
dirinya. Ia ingin melepas pekerjaannya karena tawaran suap dan rekayasa
anggaran selalu membayanginya. Di sisi lain, ia ragu, jika ia keluar, lantas
kerja apa?
Tiga
jalur searah itu bermuara pada satu jalan besar, di mana mereka bertiga
akhirnya bergandengan tangan untuk menyeberang. Rumah Qiana disulap menjadi
sebuah kafe, bertajuk Kopiss. Meski neraca keuangan mereka sering kembang
kempis, Kopiss masih sanggup bertahan. Tapi..., sampai kapan? Belum lagi
masalah yang menerpa masing-masing pengelolanya. Qiana, yang patah hati dan
belum bisa move on dari Zydna. Gili,
yang menjalin hubungan dengan bosnya, si duda-kemarin-sore. Onne, yang masih
bingung dengan jati dirinya. Sanggupkah Miss Silvia bekerja rodi di bawah pemerintahan
tiga orang tersebut?
***
Setelah
membaca novel “Rindu” karya Tere Liye, saya merasa gamang. Pasalnya, kehidupan
yang digambarkan dalam novel itu terasa sangat ideal. Masalahnya, kondisi ideal
itu biasanya hanya digunakan sebagai asumsi para pemuja ilmu fisika dan teknik untuk
menyederhanakan masalah, supaya bisa dicari solusinya. Para ilmuwan
dan insinyur saja tahu, nggak
ada di dunia ini yang “ideal”.
Berkebalikan
dengan “Rindu”, “Kopiss” menghadirkan kehidupan dengan rasa original. Malah, mendekati jenis
“kehidupan” yang “amit-amit, deh”. Kegagalan demi kegagalan selalu mewarnai
hidup Qiana. Di saat saya kira kali ini ia akan berhasil, eh, berikutnya
ternyata ada tantangan lain muncul lagi. Namun, menurut persepsi Qiana dan
Gili, itu bukanlah kegagalan,
melainkan hanyalah belokan, atau tikungan. Tujuannya tetap, hanya saja,
jalan yang ditempuh untuk menuju ke sana yang beda. Saya merasa.... lega, seperti
punya teman seperjalanan yang sering terkena belokan.
Persahabatan,
kegagalan, pencapaian mimpi menjadi warna utama novel ini. Gaya persahabatan
Qiana, Gili, dan Onne membuat saya tertarik, karena mirip dengan persahabatan
saya di dunia nyata. Saling mengolok, jarang melemparkan kata-kata manis. Tapi,
di balik itu, mereka saling mendukung, dan selalu menunjukkan rasa sayang
dengan tindakan nyata. Ketiga tokoh tersebut juga menarik hati saya karena
mereka mewakili pemuda Indonesia yang tidak mudah menyerah dan kreatif.
Penulis
laki-laki menuliskan cerita dengan sudut pandang orang pertama perempuan.
Gampang-gampang susah. Tapi, menurut saya, banyak susahnya. Meski susah, bukan
tak mungkin. Nah, sudut pandang “aku”-nya Kak Miko ini cukup “cewek”, meski menurut
saya, kalau penulis nggak menyebutkan bahwa tokoh “aku” cewek, pembaca bisa
mendapatkan kesan ambigu. Jenis kelamin universal. Cara pikir Qiana itu khas
cewek, tapi bisa cowok juga. Hmm, mungkin gara-gara di benak saya tertancap
sosok Qiana yang tomboi, dengan tubuh besarnya, jadi terkesan agak “cowok”.
Namun,
meski penulis menggunakan sudut pandang orang pertama, tak sedikit pun rasa
bosan menghinggapi saya. Mengapa? Semua karena teknik bercerita dengan bahasa
yang ringan dan humoris. Saya mengapresiasi selera humor Kak Miko—lantaran saya
sendiri nggak jago nulis humor, sehingga saya kagum terhadap penulis yang
humoris, dan humornya nggak garing. Yah, bolehlah sedikit garing, asal masih
bisa dikunyah. Kres, kres. Atau krip, krip (malah kayak merk snek).
“Satu lagi pertanyaan dari saya, kenapa putri saya?” – Ayah Qiana“Ka...karena putri Bapak perempuan.” – Zydna (halaman 36)
Bahkan, analogi ataupun metafora
yang digunakan penulis juga mengandung—eh, mengundang—tawa, lho.
“Lulus dari SMA bagaikan baru keluar dari ketiak hantu wewe.” (halaman 48)
Atau yang ini, jayus banget.
“Memangnya, berak bisa ditunda?” – Onne (halaman 161)
Ada lagi yang jayus: tebak-tebakan seputar kulkas berisi
gajah, jerapah, dan panda.
Tebak-tebakan nggak penting ini sering muncul di dalam novel “Kopiss”, lho, dan
penulis dengan piawai menyulapnya menjadi sarana ilustrasi isi hati Qiana.
Bahkan, tebak-tebakan ini yang mengisi bagian ending.
Karakter
Qiana memberikan sentuhan humor tersendiri, akibat sifatnya yang sering
kepedean (coba lihat halaman 29). Atau, dengan singkatan-singkatan aneh yang
diucapkan tokoh. Cantik = cacat genetik.
Eeiiitss, tunggu dulu. Di balik kejayusan itu, penulis
serius, lho, menuliskan berbagai pengetahuan seputar kopi. Wah, (saya awam
dalam bidang ini) ternyata masalah kopi tidak sesederhana “tuang kopi sachet ke
dalam cangkir, lalu tambahkan air panas 150 cc”. Tidak. Proses menghasilkan
secangkir kopi yang lezat ternyata memakan waktu dan tenaga yang besar. Rantai
ini membentang dari penanam pohon kopi,
hingga barista. Berbagai pengetahuan baru saya dapatkan. Istilah-istilah di
dunia perkopian ternyata cukup memusingkan. City
roast, endothermic (jadi teringat mata kuliah Termodinamika, hehe), first crack, second crack, maillard, roast
stage. Spherification, froathed milk?, crema. Dengan begitu,
profesionalisme tokoh barista dalam novel ini tergambar dengan baik. Bisa, nih, novel ini dikategorikan
novel profesi.
Salah satu hal yang membuat saya terkejut adalah harga
Marjoko yang mahal sekali—siapa
itu Marjoko?—sampai
tembus 9 digit! Maaf, saya memang awam di bidang ini. Hehehe.
Selain tentang kopi, penulis juga berkoar di ranah
pemrograman komputer dan teknologi informasi, melalui kakak-beradik Zydna dan
Syams. Warez, bandwith, mainframe,
kopimist/kompimits? (halaman 207-208).
Juga dilematiknya dunia kerja para lulusan STAN, diceritakan secara
blak-blakan.
Ada beberapa istilah yang tidak diberi penjelasan,
seperti tambulampot (oke, setelah merenung, akhirnya saya tahu bahwa itu
singkatan dari “tanaman buah dalam pot”) dan mebelair. Hmm, setelah mencari-cari informasi, ternyata "mebelair" ini seharusnya ditulis "meubelair". Selain itu, terdapat
beberapa kesalahan penulisan, yang untungnya tidak merusak kenyamanan membaca.
Misalnya, “sekejab” (halaman 13) dan “out
date” (halaman 24).
Bicara tentang mimpi, penulis juga serius, lho,
menyampaikan pendapatnya tentang mimpi dan kegagalan, lewat tokoh-tokohnya.
Bahkan, gara-gara ini, Qiana jadi bijaksana kadang-kadang.
“Manusia yang terbelenggu oleh ketakutan dan kekhawatiran tentang hidup justru sebenarnya telah mati, atau bahkan belum terlahir.”
“Hanya yang berani mendengar panggilan hatinya yang benar-benar dapat menunggangi waktu. Benar-benar jadi pengatur dunia, bukan sebaliknya.” – Qiana (halaman 193)
Saat menghadapi pengakuan Gili akan hubungannya dengan
Shilo, bosnya, Qiana-lah yang pertama kali menanggapi dengan bijak (halaman
161).
“Sekarang lihat, deh, apa bedanya lo sama tukang parkir nekat itu? Kalian sama-sama ngehargain murah untuk hidup kalian.” – Qiana (halaman 188)
Selain itu, Qiana juga bisa menjadi
sosok yang cerdas, seperti pada paragraf terakhir di halaman 247.
Setting tempat yang dipakai penulis tak hanya di Jakarta, tetapi juga di Malang, ketika Onne pulang kampung ditemani Qiana. Penulis juga sedikit mengeksplorasi tempat-tempat di kota Malang dan sekitarnya.
Novel ini akan menjadi penghibur di kala kita ingin santai sejenak, sekaligus ingin mendapatkan motivasi yang disampaikan dengan cara yang ringan dan tidak bertele-tele. Apalagi, lebih nikmat kalau dinikmati sembari duduk di bay window. Hehe.
Contoh bay window, seperti di rumah Qiana, yang dimanfaatkan sebagai etalase kue. http://www.statewideenergysolutions.com/files/5470/590337.jpg |
halo salam kenal, Mbak :D
ReplyDeleteunik juga ya buku ini ternyata. nyoba cari2 ke toko buku aah
btw, kalo di tempat saya, cacat justru kepanjangannya: calon cantik. hahaha :D
Iya, buku ini cukup unik, saya rekomendasikan lah...
DeleteWah ternyata banyak kepanjangan "cacat", mungkin saya yang kuper krn baru tahu haha