Sembilan
bulan (sudah kayak orang hamil saja) setelah membaca Divortiare, saya akhirnya membaca kelanjutannya, Twivortiare. Buku ini merupakan kumpulan
tweets dan direct message Alexandra melalui akun Twitter-nya, @alexandrarheaw . Jujur saja, saya tidak mem-follow
akunnya, sehingga membaca tweets si
Alex ini adalah hal baru bagi saya. Agak bersyukur karena saya terhindar dari
gejala kebosanan. Sudah nge-follow, baca tweets-nya tiap hari, baca lagi Twivortiare. Lama-lama kau ter-Alex-isasi (hehehe).
Sebagai pengguna Twitter yang juga sudah
selama Kak @alexandrarheaw (sejak 2011), saya tidak pernah terpikir untuk bikin
cerita berkesinambungan lewat tweets,
seolah itu kisah nyata. Oleh karena itu, saya mau kasih satu tepuk tangan dulu
buat Kak Ika Natassa atas ide kreatifnya. Pada bagian kata pengantar, Kak Ika
menceritakan bagaimana awalnya dia kepikiran bikin akun si Alex dan bercerita
lewat sana. Dia menyebutnya “twitterature”—akronim
dari twitter dan literature. Meskipun ini bukan hal baru—kata Kak Ika sudah ada
Harry Potter nge-tweet, juga buku “Shit My
Dad Says” yang dimulai dari akun @shitmydadsays —tapi bagi dunia literatur
Indonesia, ini hal yang inovatif.
***
Alex pertama kali nge-tweet setelah ia menikah
lagi dengan Beno (coba ingat lagi bagian akhir Divortiare yang mereka berdua makan bareng nasi goreng Sabang ->
sinyal-sinyal akan balikan lagi). Meskipun mereka sudah memutuskan untuk
menikah lagi, tidak berarti lantas kehidupan pernikahan mereka jadi adem ayem. Nobody can change instantly (just me
saying). Beno yang keras kepala, kaku, dan supersibuk di rumah sakit itu juga
masih seperti itu. Tapi, ia berusaha untuk lebih perhatian pada Alex, tak
seperti dulu, yang dinginnya minta ampun. Sementara itu, Alex yang
sedikit-sedikit marah dan kesal karena merasa tidak diperhatikan, merasa
dirinya nomor kesekian setelah urusan rumah sakit, kini mulai berusaha
memaklumi dan bersabar.
Pertengkaran-pertengkaran karena masalah
sepele terus membayangi, seolah mereka pasangan yang belum dewasa. Ampun, deh!
Contohnya, Beno cemburuan mampus, Alex didekati seorang nasabahnya, ia langsung
marah-marah, lalu bertengkar…. Coba hitung berapa kali dalam buku ini Alex
kabur ke rumah Kebagusan setelah bertengkar dengan Pak Dokter. Kemudian muncul
isu baru: pasangan yang dulu belum ingin punya anak itu kini pengin banget
punya anak. Sudah mencoba bikin berkali-kali, tapi belum berhasil juga. Dan
saya bosan karena isi tweets Alex
selalu tentang test pack-nya
menunjukkan satu garis, lalu ia sedih, bilang ke Beno yang juga terlihat sedih,
lalu Alex menyalahkan diri sendiri. Haaaah, rangkaian kejadian ini berulang
terus. Untung saya adalah tipe pembaca yang selalu menyelesaikan buku apa pun
yang saya baca meski bosan nggak ketulungan. I’m quite a dedicated reader *senyum bangga*.
Akibat bentuk buku yang merupakan kumpulan tweets Alex, di sini, tokoh Alex terkesan sangat self-centered. Ia juga sering nge-tweet ulang bagian cerita hidupnya (misalnya, tentang peristiwa 'pelamaran' yang dilakukan Beno di mobil. Dua kali dia ceritain lengkap dari awal sampai akhir. Mungkin Alex memang berniat bikin saya hafal, kali, ya. Hal ini mungkin bisa dimaklumi karena (ceritanya) si Alex nge-tweet tentang hidupnya sehari-hari, jadi bisa saja dia mengulangi cerita yang sama.
Lupakan segala kebosanan itu. Saya terhibur oleh gaya ceplas-ceplos Alex dan caranya menceritakan tentang Beno
dengan cara yang lucu. Pak Dokter itu memang kadang norak banget! Belum lagi mentions dari followers yang sering jayus, dan tanggapan Alex yang juga jayus. Di
dunia Twitter ini, Wina, sahabat
Alex, juga aktif berinteraksi dengan Alex. Seringnya lewat direct message, karena hal yang mereka obrolin adalah topik pribadi
(wah, asyik, saya bisa tahu isi DM mereka hihi). Seperti ketika membaca
Divortiare, saya suka tokoh Wina. Kalau Alex adalah piano, maka Wina ahli
tuning-nya. Saat suara Alex sudah out of
tune, Wina yang bertugas membimbingnya ke jalan yang benar, meski jalan itu
pahit. Wina juga—dan Riza—yang berusaha mendekatkan Alex dan Beno kembali
hingga mereka balikan. Jasa Wina patut dihadiahi nobel perdamaian, lantaran
berhasil mendamaikan dua orang paling gengsian sedunia. Hehehe.
“There’s no love that is stronger than being in love with someone you can’t stand.” (Wina, page 273)
Seperti biasa, buku Kak Ika bisa disebut buku
kumpulan quotes bagus dan menyentuh
hati. I love how she wrote her story so
real like a real life.
Picture source here, edited by me. |
“It’s easy to find someone whom you can laugh with, but it’s not easy to find someone whom you can endure the sadness together with.” (Alex, page 343)
Sebelum menutup resensi ini, maaf, saya ingin
menuliskan pesan bagi para pembaca yang hendak membaca buku ini dan belum
percaya diri akan kemampuan membaca bahasa Inggrisnya. Sebaiknya baca buku ini
ditemani kamus Bahasa Jawa - Indonesia. Eh, bukan, kamus Inggris - Indonesia,
maksud saya.
Mengapa saya memberikan rating bintang 3 untuk
Twivortiare? Meskipun saya kagum
dengan cara Kak Ika menulis, saya juga sudah dengan rela dibikin muak oleh
pertengkaran-pertengkaran Alex-Beno yang sangat childish. Belum lagi isu “pengin punya anak” itu *nunduk*. Tapi,
bagaimana pun juga, buku ini gampang dan enak dikunyah-kunyah. Coba saja! Dan yah, banyak bagian yang menyentuh, seperti surat cinta pertama buatan Beno untuk Alex itu :'(
“It’s impossible for us to find a perfect spouse if we model him/her toward someone, atau toward our own sets of criteria. The world just doesn’t work that way.” (page 129)
0 komentar:
Post a Comment
Your comment is so valuable for this blog ^^