Penulis: Rita Kartomisastro Editor: Ainini Penerbit: Senja Cetakan: I, Mei 2015 Tebal: 224 halaman ISBN: 978-602-255-880-4 Harga: Rp 38.000,00 Rating saya: 3/5 |
"Kamu masih belum ngelupain aku, Al?
"Iya."
"Kalau begitu, bisakah kamu memberiku waktumu selama seminggu?"
"Untuk apa?"
"Untuk membuatmu melupakan aku."
(halaman 130)
Siapa sangka bahwa Alea Pita alias Alya, seorang artis cantik yang sedang naik daun, ternyata memiliki seorang ibu penjual gorengan? Siapa sangka, di balik penampilan fisiknya yang mengisyaratkan seharusnya ia bisa mendapatkan lelaki mana pun yang ia inginkan, ternyata ia masih belum bisa melupakan sang mantan? Pun, sang mantan itu, Wisnu, meninggalkannya tanpa pamit untuk melanjutkan studi ke Jakarta, kemudian kuliah ke Australia. Sementara, di sebuah SMA Karawang, Alya berjuang mengobati rasa sakit hatinya, hingga ia lulus dan menjadi artis terkenal empat tahun kemudian.
Nyatanya, kehidupan memang menyerupai sebuah roda. Setelah ayahnya meninggal, sang ibu berjualan gorengan di SMA tempat Alya bersekolah. Hidup dalam kemiskinan membuatnya menjadi sesosok gadis cupu yang sering dijahili oleh teman-temannya yang sombong. Kemudian, Wisnu dan Sandra hadir membelanya di hadapan mereka. Ia dan Wisnu menjadi makin dekat, hingga akhirnya mereka jadian. Beberapa hari kemudian, Wisnu menghilang, meninggalkan Alya dan sekerat luka hatinya. Inilah titik nadir roda kehidupannya.
Selepas SMA, Alya berjuang hingga menjadi artis terkenal dengan nama beken Alea Pita--saat ini. Inilah titik zenith kehidupannya. Ia tinggal bersama Meyta, temannya sejak SMA, yang kini menjadi manajernya, sedangkan ibu dan adiknya tetap tinggal di kampung. Alya bukan sengaja menyembunyikan keluarganya yang sangat sederhana, atau "kampungan". Semata-mata ini karena ibunya menghendaki begitu.
"Ibu ini orang kampung, Nak. Kalau Ibu tinggal di sana, bagaimana Ibu bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan orang berada seperti di sana? Nanti malah membuatmu malu."
(hal. 27)
Sebagai seorang artis terkenal, Alea tetap memiliki rahasia, terutama yang ia dokumentasikan dalam bentuk tulisan-tulisan dalam buku diary-nya. Apa lagi isinya, jika bukan curhatan tentang sang mantan?
"Dear diary,
Aku meliriknya dari sudut mataku dengan ragu.
Berharap dia menoleh ke arahku.
Tetapi jantungku berdegup kencang eperti sedang berlari.
Ketika dia tidak hanya menoleh, tetapi juga tersenyum manis sekali."
(hal. 31)
Kondisi gawat darurat, terlebih saat itu seharusnya ia sedang (berpura-pura) "pacaran" dengan sesama artis, Arlan Peters. Lalu, mendadak Wisnu muncul. Tiba-tiba posisi Alea mulai tergelincir ke bawah--buku diary-nya hilang dan dunia hiburan gempar! Mengingat perlakuan Sandra yang terlihat sangat membencinya (ya, Sandra teman SMA-nya dulu, kini menjadi rivalnya dalam dunia hiburan), Alea langsung mengkambinghitamkannya...
***
Pertama kali membaca judul buku ini, saya syok. Di tengah dunia yang sedang gencar-gencarnya mem-bully kaum jomblo dan di antara banyak orang dengan status Facebook galau tentang mantan, buku ini seperti seekor lebah kelaparan yang tersesat ke sebuah taman penuh bunga sedap. Tanpa sadar, selarik ekspektasi tergaris di otak saya--jangan-jangan ini novel alay, tentang anak labil yang susah move-on.
Hmm..., ternyata ekspektasi saya salah. Buku ini tidak lebay, meski tokoh utamanya masih labil. Ya, si Alya masa SMA adalah gadis yang cupu, pemalu, pendiam.... Lalu ia menjelma jadi seorang Alea yang sombong, gengsian, dan over-confident.
"Iya, kau tahu, kan, harga diriku mahal! Lebih mahal dari tas 1001 Night Diamond Purse keluaran House of Mouaward!"
(hal. 148)
Tas yang dimaksud oleh Alea, seharga 34,5 miliar rupiah. |
"Kamu tuh, kebiasaan. Hobi bikin orang jantungan. Kalau aku sakit, kamu mau kerja apa? Kamu pikir, lulusan SMA tanpa keahlian khusus gampang cari kerja zaman sekarang?"
(Alea ke Meyta, hal. 48)
Dan ia juga terkesan hanya mendekati Arlan saat ia tak punya lagi orang lain di sisinya. Kasihan banget si Arlan.
"Kemarin-kemarin nggak mau ngomong sama Mas Arlan, sekarang BBM dia terus...."
(Meyta, hal. 157)
Tapi, masalah demi masalah yang menimpanya akhirnya membuatnya sadar, bahwa selama ini ia adalah orang yang menyebalkan, dan berusaha mengurangi mulut berbisanya. Sementara itu, di masa lalu, penulis mampu menggambarkan dengan baik sifat pemalu dan gugup Alya saat bertemu dengan Wisnu, lewat ucapan-ucapannya yang kontradiktif dan menggelikan.
Tak hanya pada tokoh Alea penulis melakukan dinamika. Pada tokoh Sandra pun begitu. Dari yang awalnya teman Alya yang suka menolongnya, hingga berubah menjadi rival. Meski sebenarnya Alea-lah yang secara sepihak menjadikan Sandra rivalnya. Kemudian penulis juga menggunakan tokoh Sandra sebagai bagian dari twist cerita. Sayangnya, penggunaan sudut pandang orang pertama milik Alea membatasi gerak cerita ke arah tokoh Meyta dan Wisnu.
Tokoh Meyta yang sebenarnya merupakan tokoh penting selain Sandra, Wisnu, dan Arlan, menjadi kurang "terbaca" karena tokoh "aku" sangat sentral. Tapi di sisi lain, gaya narasi tokoh "aku" ini berhasil menegaskan sifatnya yang sombong dan mementingkan diri sendiri, seolah semesta berpusat pada dirinya.
Tokoh Wisnu pun mengalami hal yang sama. Sebagai sang mantan yang tak terlupakan oleh tokoh "aku", otomatis perannya menjadi penting dalam cerita. Sayangnya, sosoknya terlihat sangat kabur bagi saya. Yang saya tangkap hanyalah, Wisnu ini sosok laki-laki tampan dan percaya diri, terlihat dari keberaniannya menembak Alya di depan banyak orang, juga dari kata-kata manisnya yang menjadi favorit saya berikut ini.
"Apa aku keliatan keren banget?"
"Ngomong-ngomong, ngeliatin aku gratis, kok. Nggak ada yang marah juga. Jadi, kalau nanti mau ngeliat, nggak perlu sembunyi-sembunyi...."
(Wisnu, hal. 59)
Saya jadi percaya, novel ini akan menjadi lebih memuaskan pembaca jika penulis mengambil sudut pandang dari sisi masing-masing tokoh sentral, seperti yang dilakukan Winna Effendi dalam Remember When.
Sementara itu, Ibu digambarkan sebagai tokoh yang benar-benar putih. Suci. Sama sekali tak pernah merasa sakit hati atau pun kecewa pada Alea.
"Hanya dirimu sendiri yang bisa membuatmu jatuh, bukan orang lain. Kamu tidak akan pernah jatuh, jika kamu tidak mengizinkannya. Lagi pula, sekalipun seluruh dunia meninggalkanmu, Ibu masih akan selalu di sisimu, Nak."
(Ibu, hal. 164)
Sampai sini, saya merasa sebal pada tokoh Alea. Beruntung sekali ia jadi manusia! Seburuk apa pun kelakuannya, orang-orang di sekelilingnya selalu sigap menolongnya. Huh! Seperti Sandra, contohnya, yang membela Alea saat ia direndahkan orang-orang karena ibunya hanya penjual gorengan. Padahal Sandra berada di pihak yang dirugikan Alea, dan Alea bahkan menganggapnya sebagai musuh. Saya malah jatuh cinta pada tokoh Sandra.
"Orang yang bisanya hanya merendahkan orang lain adalah orang yang paling rendah."
(Sandra, hal. 176)
Meski begitu, saya mengapresiasi usaha penulis untuk memunculkan tokoh abu-abu. Semua tokohnya abu-abu, malah. Sandra yang terlihat sangat membencinya, sebenarnya punya maksud baik. Arlan yang terkesan sangat menyebalkan, ternyata sangat perhatian pada Alea.
Teknik alur bolak-balik, yang disorot dari dua ujung, saat Alya masih SMA (tahun 2010) dan saat ini (tahun 2014), berganti-ganti dengan adegan masa lalu dimunculkan tiap kali Alea teringat kenangan itu, sangat efektif dalam mengawal cerita dengan tempo cukup cepat tapi tidak membingungkan. Namun, penulis kurang piawai dalam menyembunyikan twist-nya. Pada sekitar 1/3 bagian awal novel, saya sudah bisa menebak siapa yang sebenarnya membuat buku diary Alea terekspos oleh media. Saya juga curiga, jangan-jangan Meyta pernah jatuh cinta pada Wisnu, karena kalimatnya ini, tapi sayangnya, tidak dielaborasi oleh penulis. Hmm, atau penulis memang sengaja membuat pembaca bertanya-tanya sampai akhir? Hohoho.
"Ah... aku rasa kamu harus jatuh cinta dulu, Mey. Baru kamu bisa mengerti perasaanku."
"I did, Alea. Tapi kamu nggak pernah tahu, kan?"
(hal. 133)
Sayang sekali, penulis tidak menuliskan bagaimana Alya bisa menjadi Alea; apa saja perjuangan yang ia lakukan? Penulis hanya menceritakannya sekilas dalam beberapa kalimat. Perjuangan Alea akan lebih nyata jika penulis menunjukkannya.
Ada perpindahan adegan yang tiba-tiba melompat, dari halaman 29 (ketika Alea sedang menikmati pemandangan kolam renang dari balik pintu kaca di ruang tengah) ke halaman 30, yang tiba-tiba ia sudah berada kembali di kamarnya. Sayang, cerita berakhir dengan terlalu cepat, hanya dengan selembar surat?! Memang, akhir menggantung itu sah-sah saja, malah saya cenderung suka yang begitu. Namun, ini bukan menggantung namanya, melainkan belum tamat! Iya, sesampai di akhir, rasa haus saya belum terpuaskan.
Saya menemukan beberapa salah penulisan dalam novel ini. Yang pertama, penggunaan kata "mendangak" di halaman 125. Mendangak adalah bahasa Jawa, yang kalau dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar, seharusnya "mendongak". Yang kedua, penggunaan bahasa Inggris dalam petikan berikut, yang terasa janggal.
"Kusebut dengan 'cara untuk bertahan hidup'. And... absolutely, it's work. As always."
(hal. 90)
Kayaknya itu seharusnya "it works", ya, bukan "it's work".
Lewat tokoh Alya alias Alea, penulis hendak mengatakan bahwa kesuksesan yang berhasil kita raih tidak berarti boleh kita jadikan sebagai alasan untuk menjadi sombong. Asal menuduh orang lain juga bukan hal yang bijaksana, lho, meski orang tersebut memang pantas dicurigai, apalagi sampai melakukan hal jahat padanya.
"Aku benci Wisnu, tapi aku lebih membenci diriku. Yang bahkan masih bisa mencintai seseorang yang kubenci."
(hal. 153)
0 komentar:
Post a Comment
Your comment is so valuable for this blog ^^