Judul: Drunken Monster
Penulis: Pidi Baiq
Editor: Doel Wahab dan Ahmad Mahdi
Penerbit: Pastel Books
Cetakan: II, 2013
Tebal: 292 halaman
ISBN: 978-602-7870-07-9
Harga: Rp 34.000,00
Rating saya: 4/5
|
Awalnya, saya adalah bagian dari kebudayaan
yang meminggirkan semua itu. Entah kenapa, salah seorang teman kuliah—menurut
saya dia berpotensi untuk sama jayusnya dengan Pidi—sangat ngotot meminjamkan
buku ini dan lebih ngotot lagi menyuruh saya membacanya.
“Frid, pokoknya lu harus baca buku ini! Buku ini beda dari buku-buku yang biasanya lu baca!”
Saya penasaran, kan, memang dia tahu
buku-buku apa yang biasanya saya baca? Huehehehe. Tapi begitu melihat bentuk
buku dan membaca blurb-nya, saya jadi
skeptis; menganggap buku ini hanyalah buku banyolan yang tidak memenuhi
kualifikasi buku untuk saya baca *wih, sombong sekali, ya, saya ini*. Buku ini
baru saya baca beberapa bulan setelah ia pinjamkan, karena banyak buku lain
yang harus saya baca. Lalu tibalah suatu waktu saat keberanian saya terkumpul di
ujung tangan dan meraih buku ini kemudian membuka sampulnya, lalu saya
terkejut. Betapa tidak, kata pengantar pertamanya berjudul “Ini Buku
Berbahaya”. Begitu mulai membaca kedua kata pengantar yang keduanya ditulis
oleh dua orang doktor, pandangan saya mulai bergeser. Saya merasa tersindir.
Catatan harian Pidi Baiq yang di-republish ini memang “kumpulan kisah
tidak teladan” karena semuanya berisi keisengan Pidi yang patut ditiru asal
siap menanggung risiko malu atau dicap jayus. Kedelapan belas ceritanya berisi
tentang keisengan Pidi; hidup sehari-harinya yang sarat drama yang dibikin
sendiri. Hal-hal yang tak pernah terpikirkan oleh saya!
Masuk ke cerita pertama, saya sudah
disambut keisengan parah. Cerita berjudul “Air Lembang Panas” ini berkisah
tentang suatu malam minggu, saat Pidi dan karyawannya pergi ke pemandian air
panas di Lembang. Sampai di loket tiket, ia berkata pada si penjaga, “Saya
dari rombongan rumah sakit jiwa! Ini, saya bawa pasien, Pak. Mau mandi di sini.
Mau terapi. Bisa ya?” (hal. 28) Lalu setelah itu ia bicara lain pada si
atasan penjaga tiket, mengungkit masalah SARA (ia sengaja melakukannya untuk
melihat reaksi si lawan bicara jika diajak bicara mengenai SARA).
Pidi : Gini, Pak. Kami ini kan rombongan dari Medan.Pak Handi : Iya?Pidi : Nah, tadi saya nanya sama siapa itu, bapak-bapak di situ, orang Medan boleh gak mandi di sini?[...]Pak Handi : Ya boleh. Ini pemandian untuk umumlah. Siapa saja boleh. Suku apa saja boleh.(hal. 32)
Pidi memang suka memutar-balikkan omongan,
menimbulkan kesalahpahaman, tapi tetap nggak bikin saya kesal. Malah saya suka
akan kreativitasnya ini. Hahaha. Contohnya, percakapan pada cerita favorit saya
di buku ini, “Oh, Kerja”. Di cerita ini, Pidi mencoba jadi tukang becak,
sementara Mang Ikun, si tukang becak dikasih pinjam motornya. Eh, tapi Pidi
bilangnya begini ke rekan-rekan Mang Ikun, “Itu, si Mang Ikun, biasalah. Katanya pengen
bawa motor saya ke rumah. Saya disuruhnya pake becak. Dasar!” (Oh, Kerja, hal. 182)
“Oh, Kerja” jadi favorit saya, karena Pidi
memberi pesan bagi orang-orang yang suka mengeluh seperti dirinya. Bahwa
orang-orang yang hidupnya lebih susah (secara materiil) daripadanya saja tidak
pernah mengeluh. Sebelum mencoba mengayuh becak, Pidi suka menggerutu tentang
pekerjaannya (lihat hal. 172).
“Dulu, saya kira mudah membawa becak, ternyata salah. […] Hai, Mang Ikun, saya mau nanya, apakah Mang Ikun suka mengeluh?”
(hal. 184)
Di cerita berjudul “Drunken Monster”, ada
lagi, nih, “ada-ada aja”-nya Pidi. Untuk menghibur istri yang marah, barangkali
jarang sekali suami yang melakukan ini, dia mendongeng ngawur. Katanya ia telat
pulang ke rumah gara-gara dicegat monster. Monster yang mencegat suami setia.
Alhasil, sang istri tidak jadi marah-marah karena udah nggak tahan ngempet
ketawa. Di balik cerita amat tidak seriusnya ini, Pidi sesungguhnya ingin
berpesan serius.
“Saya kira malam indah seperti ini tak akan pernah ada, kalau saja tadi begitu sampai rumah, saya langsung memasang muka perang untuk membuat istri tidak berani menegur. Atau kalau dia menegur, saya langsung balik marah dan memberinya tamparan karena menilai dia sudah berani ngatur suami.”
(hal. 51)
Kemudian, di cerita “Jalan ke Mana-mana”, nampaklah
bahwa Pidi hobi sok kenal sama orang tak dikenal. Seperti ketika ia menyapa
seorang penjual jagung rebus.
Pidi : Bapak!Penjual : Iya?Pidi : Ke mana aja?Penjual : *kaget*Pidi : Si Dadang masih di Jakarta?!Penjual : Dadang?! *bingung* Dadang mana?!Pidi : Masa’ lupa?!(hal. 61)
Nah, mudah sekali, ya, untuk memulai
percakapan akrab dengan orang yang tak dikenal? :D
Dalam cerita “Jalan-jalan Minggu”, Pidi
iseng banget waktu parkir motor. Kepada si Juru Parkir, ia minta diberi nomor
parkir cantik. Dan perdebatan tentang nomor cantik ini berlangsung cukup lama,
hingga Pidi ditinggal anak-istrinya yang sudah duluan masuk ke pasar Minggu.
Hah, ada aja, ya, cara unik untuk memulai percakapan dengan orang tak dikenal.
Pemikiran Pidi juga unik, rupanya, seperti
terlihat pada cerita “Pulang dari Jakarta”. Ketika hendak turun dari kereta dan
melihat ada tulisan “EXIT”—yang bagi saya dan banyak orang lainnya adalah hal
biasa saja—ia berpikir bahwa gerbang bertuliskan EXIT itu adalah “ide cemerlang
dari pihak PJKA”.
“Bayangkan saja seandainya PJKA tidak membuat gerbang EXIT, semua penumpang pasti akan menggunduk di dalam stasiun sambil terus pada teriak: ‘Keluarkan kami sekarang juga! Keluarga pada nunggu di rumah!’ Saya merasa takjub akan bagaimana bisa PJKA punya ide cemerlang seperti itu? Biasanya tidak.”
(hal. 130)
Selain hobi sok kenal, Pidi juga hobi bagi-bagi
duit pada orang tak dikenal! Contohnya, ke Tukang Rujak di cerita “Hari Senin”.
Diberinya uang 150ribu sebagai tanda terima kasih karena telah suka rela dan
tanpa merasa jadi korban keisengan Pidi, ups! Eh, enggak, maksudnya biar
Tukang Rujak itu bisa ngajak anak-anaknya main.
“Ajak anak-anak main. Saya serius, nih! Kasian mereka. Jangan dagang terus. Anak-anakmu mungkin butuh uang, tapi anak-anakmu juga butuh ayah.”
(hal. 171)
Saya juga suka cerita ketika Pidi iseng
terhadap polisi yang menilang dia karena dia pura-pura nggak bawa SIM. Saya
suka karena merasa dendam saya terhadap para polisi yang pernah nilang saya selama
ini terbalaskan *sekali-kali mau coba, ah* hahaha. Di sini tampak juga hobi
Pidi yang lain: ngeles. Setelah dia
memberi uang tilang dua puluh ribu, tiba-tiba si Pidi balik sambil bawa SIM.
“Pidi : Ini SIM-nya ada!Polisi : Ya, udah!Pidi : Uangnya, Pak? He he he, bisa diambil lagi gak? Kan, SIM-nya udah ada?Polisi : Enggak. Kamu sudah lalai!Pidi : Kirain tadi nggak kebawa, Pak. Beneran!”(hal. 180)
Kemudian, dalam
cerita “Noor Rosak”, Pidi menceritakan jalan-jalannya bersama teman lamanya, si
Noor Rosak, orang Timor Leste. Dalam cerita itu, ia menyindir kita sebagai
bangsa Indonesia.
Selain ceritanya yang bikin kaget, saking nggak
pernah kepikiran oleh saya akan melakukan hal-hal seperti yang dilakukan Pidi
(karena saya telah terjebak dalam kungkungan normalitas dan rutinitas), bahasa
penulisannya pun bikin kaget! Seperti kata Prof. Dr. Bambang Sugiharto, dalam
kata pengantar.
Kalimat-kalimatnya pendek-pendek, tidak
terstruktur selayaknya bahasa Indonesia yang baik dan benar. Seolah-olah menegaskan
bahwa Pidi memang ingin sepenuhnya mendobrak normalitas. Seperti ini contohnya:
“Selesai makan bubur, segera saya bayar. Selesai saya bayar, segera saya pergi. Selesai saya pergi, segera masuk mobil. Selesai masuk mobil, segera mobil maju, tetapi setelah pergi, mobil berhenti. Berhentinya di situ, di pinggir jalan, kira-kira beberapa meter tidak jauh dari si Tukang Bubur.”
(hal. 164)
“Di perjalanan, kami juga ngobrol. Ngobrol yang tidak penting diobrolkan. Tahu-tahu, sudah sampai di rumah, di rumah saya.”
(hal. 229)
Pada akhirnya, di luar ekspektasi, saya
malah menyukai buku ini. Terima kasih buat teman saya, yang telah memberi saya
liburan singkat gratis yang bermakna dengan membaca buku pinjaman ini. Bukan
hanya liburan haha-hihi, melainkan liburan sambil introspeksi, “Jadi,
sebenarnya, apa yang sudah saya lakukan selama ini? Tidakkah hidup ini sia-sia
jika hanya saya habiskan dengan melakukan rutinitas? Saya selalu memimpikan
hidup penuh petualangan layaknya di film-film, tapi saya sendiri tidak berani
memulai petualangan itu.”
0 komentar:
Post a Comment
Your comment is so valuable for this blog ^^