Judul: Meant
To Be
Penulis:
Zee
Editor: Diaz
Penerbit:
PING!!!
Cetakan: I,
2015
Tebal: 232
halaman
ISBN:
978-602-7695-95-5
Harga: Rp 38.000,00
|
“Yang pasti, satu kata itu membawaku ke sini, ke perubahan yang menyenangkan. Satu kata itu: “Hai”.
(Reo, hal. 83)
Reonalda Andika, atau lebih akrab
dipanggil Reo, adalah tokoh “aku” dalam novel remaja ini. Cowok kelas X itu
bertubuh kecil dan kurus dengan rabun mata presbiopi parah. Iya, dia masih lima
belas tahun, tapi sudah terserang presbiopi sejak umur 13 tahun. Aneh, ya?
Presbiopi, kan, biasanya menyerang orang tua. Cowok intorver ini punya teman
dekat yang juga sepupunya, Faris. Faris sudah kuliah di jurusan kedokteran
(jurusan yang juga Reo inginkan saat kuliah nanti), dan dia sosok lelaki pujaan
wanita. Sebenarnya, Reo membencinya, karena Faris memacari semua cewek yang ia
suka. Pun karena ia tak bisa melampaui Faris, dan selalu tersembunyi di balik
bayang-bayangnya.
Suatu saat, ketika sedang menunggu Faris
di kafe The Roasts, mata Reo menangkap sesosok gadis yang menarik perhatiannya
dan membuat adrenalinnya terpacu. Ia harus memutuskan di antara dua pilihan.
Keputusan mana
pun yang dipilih Reo, kehidupannya akan berubah.
***
Novel remaja ini diceritakan dengan cara
yang unik. Penulis menawarkan dua plot cerita, yang membuat saya teringat akan
buku cerita bergambar Princess Aurora yang saya baca waktu kecil. Buku cerita
itu memiliki banyak pilihan alur cerita, tergantung cerita seperti apa yang
kauinginkan. “Jika kau ingin pangeran bertemu dengan penyihir, pergilah ke
halaman 13. Jika kau ingin bertarung bersama pangeran, pergilah ke halaman 15.”
Lain dengan film Butterfly Effect, yang tokoh utamanya bisa mengubah jalan cerita di
masa lalu, tokoh Reo ini berusaha membuat skenario akan kejadian-kejadian di
masa depan. Namun, tidak seperti buku cerita Aurora
itu, novel ini menceritakan dua plot secara berkelanjutan satu sama lain, tidak
terpencar-pencar. Tapi, pembaca tidak akan bingung, kok, lantaran penulis
selalu menyelipkan subjudul dan kalimat ini di awal adegan dengan plot berbeda,
“Kalau aku memutuskan menyapanya ketika itu....”, atau “Kalau aku memutuskan
tidak menyapanya ketika itu....”
Cara penulisan seperti ini cukup kreatif
dan membuat rasa penasaran saya tetap terjaga sampai akhir.
Tentang tokoh Reo, entah mengapa awalnya saya mengira dia seorang cewek. Ketika ia menceritakan tentang dirinya di awal,
dalam benak saya tergambar sosok cowok ceking dan nerd alias cupu. Kemudian, saya agak terkejut ketika Vali berkata seperti
ini pada Reo.
“Kamu tahu, nggak? Kamu lumayan terkenal, lho, di sekolah. Katanya, kamu tuh... cakep, cool, tajir, pinter lagi.”
(hal. 25)
Lalu, setelah Vali mengenalkan
teman-temannya dengan Reo, ketahuanlah bahwa selama ini banyak cewek kelas XII
yang ngefans dia. Nah, lho, jadi, penulis yang tidak konsisten, atau memang si
Reo terlalu memandang rendah dirinya?
Elemen saksofon yang melekat di diri Reo
memberi sentuhan keunikan tersendiri. Jarang banget ada remaja cowok 15 tahun
jago main saksofon. Oleh karena itu juga, di dalam novel ini bertebaran
lagu-lagu jazz yang tidak familiar
bagi saya, lantaran saya bukan penggemar jazz.
Tapi saya mengapresiasi jenis lagu kesukaan Reo ini. Musik jazz terdengar lebih elegan dan dewasa dibandingkan lagu pop
Indonesia yang alay, misalnya. Hehehe.
Tentang tokoh Faris, sifatnya tergambarkan
dengan baik, sebagai sosok lelaki yang suka seenaknya, dominan, supel, pintar,
bisa main gitar. Namun, di skenario nomor 1, Faris ternyata menyimpan perhatian
dan rasa sayang yang besar terhadap Reo. Ia juga melakukan sesuatu yang so sweet untuk Reo. Tapi, di skenario
nomor 2, Faris menunjukkan sisi buruknya dengan merahasiakan sesuatu yang jahat
di belakang Reo. Meski tak bisa dimungkiri bahwa berkat Farislah, yang mengajak
Reo pertama kali ke jam session di
Garasi milik Alex, Reo bisa direkrut oleh The Black Kit.
Tentang tokoh Vali, gadis cantik itu bersikap
sangat manis kepada Reo. Berkatnyalah Reo bisa memiliki teman-teman baru dan
merasakan asyiknya hang out bareng. Berkatnyalah
Reo menjadi orang yang lebih terbuka. Namun, di skenario nomor 2, Vali terlihat
lebih seperti hanya memanfaatkan Reo sebagai pelampiasan setelah patah hati
oleh sang mantan.
Selayaknya novel remaja, setting tempat yang digunakan berkisar
antara sekolah (jarang, sih, adegan di sekolah); di rumah Reo, Vali, Faris,
Zora; di Garasi; di beberapa panggung tempat The Black Kit tampil; dan
tempat-tempat lain seperti rumah makan dan kafe. Sementara itu timeline berjalan dalam rentang cukup
lebar, karena di bagian akhir tiba-tiba sudah berbulan-bulan sejak pertama kali
Vali dan Reo berkenalan. Tahu-tahu, mereka telah melewati ulang tahun Vali, tahun baru,
hari Valentine, sampai kelulusan SMA.
Ada juga tokoh Siska, teman Vali, yang
juga adalah kakak kelas Reo waktu SMP. Cewek bertubuh besar itu berisik dan paling
banyak menyumbang kelebayan, tapi selalu membawa keceriaan. Ia punya
pengetahuan lengkap seputar tempat nongkrong di sekitar sekolah mereka. Pada
skenario nomor 2, Siska menjadi salah satu teman curhat Reo, sebelum Reo sadar
bahwa nasihat ibunya pasti lebih bisa dipercaya dibandingkan nasihat Siska yang
suka ngawur.
Semua tokoh dalam novel ini adalah
anak-anak borju. Bahkan anggota band The Black Kit, Mario, Angga, dan Zora,
masing-masing punya mobil keren. Entah mengapa penulis membuatnya seperti itu.
Saya awalnya juga agak pesimis dengan usaha Siska dan teman-teman seangkatannya
untuk mengadakan pesta dansa gratis bagi para remaja yang tidak mampu dan kurang
beruntung. Saya setuju dengan pemikiran Reo,
“Memang bagus, sih, ide mereka secara teori, tapi uang yang habis sepertinya sayang, padahal bisa langsung mereka sumbangkan saja. Jujur saja, kupikir acara ini memang agak sia-sia. Habis, nggak ada pengaruhnya dengan kehidupan anak-anak kurang beruntung ini, kan?”
(hal. 167, 171)
Namun ternyata acara itu mendapat sambutan
baik. Anak-anak yang kurang beruntung itu selama ini memang sudah banyak yang
memberikan bantuan, tapi kebahagiaan mereka terlupakan. Nah, acara prom itu
memberi kesempatan semalam untuk mereka berbahagia sebagai remaja apa adanya.
***
Ada beberapa kalimat yang kurang bisa saya
pahami:
- “Aku tidak mengerti bagaimana dunia
bekerja, tapi kadang-kadang ada orang yang sangat jelek dan ada juga yang
sangat keren, meskipun cuma memakai kantong sampah
hitam.” (hal. 13)
- “’Wow,’ sambut Nuri, tampak terkesan, menghiraukan kedua temannya yang salah usia, ‘hebat
banget. Sudah berapa lama belajarnya?’” (hal. 39)
“Aku menghela napas, menghiraukan Vali yang sedang menatapku dengan wajah penasaran.” (hal. 89)
Penulis beberapa kali menggunakan kata “menghiraukan” yang seharusnya “tidak menghiraukan”. Di KBBI, arti kata itu adalah “memedulikan; mengacuhkan; mengindahkan; memperhatikan”. - “Dia satu dari sekian cewek yang tidak
kuketahui pernah jadian dengan Faris dan kenyataan bahwa dia menjadi salah satu cewek yang meminta bantuanku untuk
balikan dengan Faris rasanya menohok.” (hal. 113) à seingat saya Vali tidak meminta bantuan
Reo untuk balikan dengan Faris, deh.
- “Takjubkan, meskipun dari tiga angkatan masing-masing perwakilan pengunjungnya tidak bisa dibilang sedikit, halaman rumah Ira belum juga meledak.” (hal. 147).
Untuk sekelas novel remaja, novel ini
pantas dinikmati oleh pembaca segala umur karena ceritanya tidak cengeng dan
menyampaikan pesan-pesan berharga, terutama tentang makna kebahagiaan dan
skenario hidup.
“Itu yang bakal lo dapat dari bermusik. Kebahagiaan. Gue rasa, lo butuh itu. Yang paling penting dari hidup bukan tanggapan orang, bukan nama, bukan gengsi. Tapi, lo bahagia atau nggak.”
(Faris, hal. 92)
“Some things are meant to be.”
(Zora, hal. 104)
“Siapa sangka, ketika kita memberanikan diri menggunakan kesempatan, kesempatan itu akan membuka ratusan pintu lain dengan berbagai kesempatan lain yang lebih besar lagi.”
(Reo, hal. 154)
“Hidup punya skenario. Skenario-Nya selalu misterius. Dan, sutradaranya adalah sutradara terbaik yang bisa kauharapkan: Tuhan.”
(Reo, hal. 229)
0 komentar:
Post a Comment
Your comment is so valuable for this blog ^^