25 November 2015

[Resensi] JUST THE SEXIEST MAN ALIVE

Judul: Just the Sexiest Man Alivw
Penulis: Julie James
Penerjemah: Eka Budiarti
Penerbit: Elex Media Komputindo
Cetakan: II, 2012
Tebal: 408 halaman
ISBN: 978-602-00-1404-3
Harga: Rp 54.800,00
Rating saya: 3/5
Taylor Donovan adalah seorang associate litigasi paling pekerja keras--menurut anggapannya sendiri, sih--di kantor Chicago Gray & Dallas. Firma hukum tersebut mengirimkannya ke LA untuk menangani kasus gugatan kelompok atas pelecehan seksual. Suatu hari, Sam Blakely, kepala kelompok litigasi di LA, memberinya tugas baru, yang mewajibkannya menggeser semua urusan sidang ke poin prioritas nomor 2. Tugas apa yang sedemikian pentingnya, dan harus dilimpahkan Sam pada associate litigasi terbaik Gray & Dallas? Mungkinkah kasus yang bernilai lebih tinggi dari kasus sebelumnya? Well, bisa jadi iya, karena ini menyangkut seorang aktor Hollywood. Bukan sekadar aktor, melainkan Lelaki Terseksi di Dunia, Jason Andrews.

Lelaki Terseksi di Dunia mendapatkan peran baru sebagai pengacara dalam sebuah film thriller hukum. Nah, aktor tersebut minta agar salah satu litigator Gray & Dallas membantunya memahami bagaimana pengacara beneran bertindak dalam ruang sidang. Jika Taylor bukan Taylor, melainkan salah seorang dari wanita AS kebanyakan, yang tak bisa tidak mengidolakan Jason, maka Taylor pasti akan mengorbankan apa pun untuk bisa berduaan bersama sang aktor. Tapi, ini Taylor Donovan, yang mungkin hanya menonton film dua kali setahun kalau nggak lagi sibuk mempersiapkan mosi sidang. Ini adalah Taylor, si wanita kuat yang telah berhasil mengenyahkan segala pengaruh pria mana pun, termasuk mantan tunangannya yang berselingkuh, Daniel Lawry.

Awalnya, Taylor menolak, karena tiga minggu lagi ia ada sidang. Namun, Sam bersikeras, sehingga mau tak mau Taylor mengiyakan. Semenjak itu, para sekretaris di kantor selalu cekikikan tiap Taylor lewat, bahkan Linda, sekretarisnya, membawa sebuah televisi di mejanya, sehingga ia dan para sekretaris lain bisa menonton acara Jason bersama-sama.

Di pertemuan pertama yang dijanjikan, Jason membuat Taylor bete berat, karena telah menyia-nyiakan waktunya dengan tidak datang. Setelah melewati masa-masa penuh sinisme dan dialog pertengkaran dalam "latihan akting", Jason, yang hobi menaklukkan aktris-aktris cantik dan meninggalkan mereka kapan pun ia mau, akhirnya jatuh cinta! Jatuh cinta pada Taylor Donovan. Hubungan mereka tak berlangsung mulus, apalagi dengan kuntitan sewaktu-waktu dari para paparazzi atau fans yang posesif. Namun, yang lebih mengganjal adalah perbedaan di antara mereka berdua, dan pesimisme Taylor akan cinta seorang playboy kaya raya macam Jason. Kemudian, di tengah segala keraguan itu, muncullah Scott Caset, aktor saingan Jason, yang mampu menaklukkan Taylor. Mereka berkencan, dan.... apakah Taylor memang telah takluk oleh pesona Scott? Atau...?

***

Ini adalah novel contemporary romance kedua karya Julie James yang saya baca. Sebelumnya, saya memberikan rating 4 untuk Practice Makes Perfect, karena kisah cintanya yang manis, tokoh utamanya yang loveable, persaingan ketat antara kedua tokoh utamanya yang sangat seru, dan permasalahan yang cukup kompleks. Namun, mungkin juga karena Just the Sexiest Man Alive ditulis lebih dulu sebelum Practice Makes Perfect, sehingga tidak sebagus novel itu, saya hanya memberikan rating 3 bintang untuknya. Mungkin saya tidak bersalah jika sedikit membandingkan yang ini dengan sebelumnya, karena sama-sama mengambil setting di dunia hukum, dengan tokoh utamanya seorang pengacara berprestasi dan ambisius.

Taylor Donovan agak mirip Payton di Practice Makes Perfect, dalam hal kemandiriannya, prestasi dalam profesinya sebagai pengacara, berani, dan galak. Taylor adalah wanita kuat yang berprinsip "tidak ada tempat untuk tangisan", yang diadopsi dari quote dalam film favoritnya, A League of Their Own,

"Tidak ada tempat untuk tangisan dalam bisbol." (hal. 15)

"[...] satu-satunya cara agar anak lelaki menutup mulut dan bermain adil adalah dengan menunjukkan kepada mereka bahwa kau tidak mau direndahkan siapa pun." (hal. 15)

Sisi feminis Taylor terlihat di segmen ini. Pelajaran yang ia peroleh sewaktu kecil ketika bermain dengan abang-abangnya, dan ia harus tidak mau kalah jika ingin dihargai, ternyata bermanfaat saat kini ia bekerja di firma hukum dengan "jumlah perempuan kurang dari 15% dari seluruh partner meski faktanya perempuan pada umumnya, dari tahun ke tahun, meliputi setengah dari jumlah kelas associate yang masuk di tahun pertama. Di tengah perjalanan, para wanita ini terhambat, diabaikan, mengundurkan diri, atau memilih jalur karir yang berbeda." (hal. 15-16)

Dari kutipan tersebut, nyata sekali bahwa firma hukum AS belum lepas dari diskriminasi terhadap kaum perempuan sebagai pengacaranya. Namun, setidaknya di zaman modern ini tidak sengeri zaman novel The Firm ditulis oleh John Grisham, yang menceritakan bahwa semua pengacara di firma Benedict, Lambert, dan Locke adalah laki-laki. Mereka memang tidak pernah lagi merekrut pengacara perempuan karena suatu alasan.

Namun, mulut sarkastis Taylor terasa nanggung jika dibandingkan mulut Payton, padahal salah satu favorit saya dari novel Julie James adalah dialog-dialog cerdas antartokoh yang sarkastis. Yah, kecuali dalam adegan pertemuan pertama Taylor dengan Jason. Saat itu, Taylor mengerjai Jason lewat pemeriksaan silang di ruang sidang, tentang alasan mengapa Jason tidak datang di janji sebelumnya, yang membuat Taylor berang.

"Kau tahu, kalau kau mencoba menandai wilayahmu, seharusnya kau kencingi saja aku sebelum aku datang ke sini dan kita berdua tidak perlu membuang-buang waktu." (Taylor, hal. 255)

Jason Andrews, untuk ukuran aktor ter-hot di Hollywood pada masa itu, yang playboy, dan menganggap wanita hanya mainan, terlalu mudah jatuh hati pada Taylor. Ke-playboy-an  Jason ini tentunya melukai sisi feminis Taylor, dan itu salah satu penyebab ia tak menyukai Jason.

"Filosofiku adalah hubungan harus diperlakukan sama seperti suatu naskah baru. Bila aku tidak lagi tertarik setelah satu jam, maka aku tidak akan membuang-buang waktu untuknya." (Jason, hal. 38)

Wow! Haha. Saya juga ikutan sebal. Tapi, setidaknya ia termakan omongan sendiri setelah jatuh cinta pada Taylor. Segala hal tentang Jason terasa tidak nyata, semua tentang Hollywood itu.... Untunglah ada Jeremy, sahabatnya, yang bagi Taylor, membuat Jason terlihat nyata. Sikapnya yang sungguh baik dan tulus pada orang-orang terdekatnya itu terlihat jelas.

Menurut saya, konfliknya kurang kompleks, dan untuk novel setebal ini, rasanya terlalu sederhana. Konflik minor terpicu oleh persaingan antara Scott dan Jason, dalam "memperebutkan" Taylor. Selain itu juga oleh reputasi Jason dan risiko Taylor muncul di media akibat tertangkap kamera sedang bersama sang bintang. Mantan tunangan Taylor, Daniel, yang seharusnya bisa muncul untuk memanaskan konflik pun, hanya muncul lewat kenangan dalam kepala Taylor, lewat buket bunga, dan lewat telepon-telepon mengganggu. Namun, lucu juga, karena konflik klimaksnya justru disebabkan oleh tulisan di kartu pesan dalam buket Daniel. Meski begitu, saya menyukai adegan romantisnya, terutama ketika Jason rela meninggalkan lokasi syuting untuk menjemput Taylor di rumah sakit pasca-kecelakaan.

Saya juga mulai familiar terhadap istilah-istilah hukum, lantaran setelah baca Practice Makes Perfect, saya baca ini, lalu nonton film Ted 2, yang ternyata juga ada bagian tentang aktivitas pengacara dan adegan persidangan, kemudian sekarang saya sedang membaca The Firm karya John Grisham. Well, well... Untuk ukuran novel contemporary romance, novel ini sangat minim adegan hot, dan lebih menekankan keromantisan yang tampak dari interaksi Jason - Taylor. Akhir kata, bintang tiga saya berikan untuk novel ini.

0 komentar:

Post a Comment

Your comment is so valuable for this blog ^^

bloggerwidgets