24 January 2016

[Resensi] Circo de Patrimonio

Judul: Circo de Patrimonio
Penulis: Sylvee Astri
Editor: Dyas
Penerbit: de TEENS
Cetakan: I, November 2015
Tebal: 268 halaman
ISBN: 978-602-0806-36-5
Harga: Rp 40.000,00
Rating saya: 3/5


Dua bulan sejak kepindahannya ke Bilbao, Stella Gauthier akhirnya menemukan sepercik pertanda eksistensi sirkus di kota bekas industri di utara Spanyol itu. Pertemuan tak sengaja dengan Frene, seorang pemuda berambut pirang kusam panjang, yang melibatkan lemparan pisau dan serentetan omelan Stella, berbuah selembar brosur bertuliskan "Circo de Patrimonio". Antusiasme langsung bangkit, mementahkan segala kekecewaannya yang selama ini bercokol akibat tidak adanya sirkus di Bilbao. Tidak seperti di Quebec dan Paris, dua kota tempat Stella tinggal sebelumnya, yang selalu bisa memanjakannya dengan pertunjukan sirkus. Stella masih belum tahu, mengapa orang tuanya saat itu menabukan sirkus, padahal dulu mereka sangat mencintainya? Itulah juga alasan Stella terpaksa pindah ke Bilbao: menurut orang tuanya, tidak ada sirkus di kota itu.

"Sirkus? Ada sirkus di sini?"
"Yap. Baru tahu?"
"Aku tanya serius. Ada sirkus di Bilbao?"
"Ada. Betulan."
(Stella dan Frene, hlm. 11-12)
Sejak menerima brosur itu, Stella meminta izin Frene untuk berkunjung ke tempat mereka latihan sirkus. Casa de Patrimonio, kompleks yang terdiri dari beberapa gedung termasuk tempat latihan sirkus itu sebenarnya lebih dikenal sebagai panti asuhan. Banyak hal terjadi menjelang pertunjukan perdana Circo de Patrimonio. Stella, yang dulu pernah belajar aerial straps, kini mencoba berlatih lagi, dengan ditemani aerialist di situ, Ciro dan Joana. Lama-lama orang tua Stella mengetahui apa yang ia lakukan, dan tak mengizinkannya berlatih lagi. Namun Frene datang membantu berbicara pada ayahnya.
"Bagaimana kalau Anda memberi kesempatan pada Stella untuk membuktikan bakatnya? Circo de Patrimonio akan tampil akhir bulan ini. Biarkan Stella ikut main di sana. Bisa saja setelah merasakan tampil di sirkus, Stella sadar bahwa sirkus bukan dunianya, kan? Biar Stella yang memutuskan. Memberi kesempatan pada anak untuk memutuskan hidupnya sendiri adalah tugas orang tua juga, kan?" (Frene, hlm. 153-54)

Luce, cewek yang disukai Frene, seharusnya adalah tokoh utama dalam pertunjukan sirkus nanti. Namun, sebuah kecelakaan di dalam tenda sirkus mematahkan tangan kanannya. Meski Luce adalah pemain pedang terbaik di Casa de Patrimonio, tapi apalah artinya dengan tangan kanan yang patah? Merasa kecewa dengan disabilitas sementaranya, Luce memutuskan untuk pindah dan tinggal bersama ayah kandungnya yang baru-baru ini menemukannya. Namun, belum lama menikmati waktu bersama, Luce dan ayahnya terlibat dalam satu insiden dengan mafia. Cent, si juggler, datang menolong dan terluka karenanya.

Berkebalikan dengan Luce, yang ingin sekali tinggal dengan orang tua kandungnya, Frene sama sekali tak berminat. Menurutnya, orang tua yang membuang anaknya memang tidak layak menjadi orang tua. Oleh karena itu, mengapa mencoba lagi menjadi orang tua? Itulah yang ia katakan ketika tiba-tiba ayah kandungnya muncul. Frene bersikap acuh tak acuh dan enggan menanggapi keinginan ayahnya untuk tinggal bersama. Kemudian, siapa sangka, ternyata ayah Stella tidak benar-benar mengizinkannya? Ia menjadi salah satu provokator agar dewan kota Bilbao melarang pertunjukan sirkus. Salah satu cara agar Circo de Patrimonio tetap bisa tampil adalah Frene harus meminta bantuan ayahnya, salah satu anggota dewan kota. Namun, ego Frene yang begitu besar, akankah menyanggupinya?

Terlepas dari itu, Frene-Luce-Cent terlibat dalam cinta segitiga. Namun, kenapa tiba-tiba Cent menyatakan cinta pada Stella? Dan mengapa Frene terlihat tidak suka dengan tindakan Cent itu? Stella bukannya tidak menyukai Cent, sih, tapi mengapa ada yang terasa tidak pas? 


Saya belum pernah menonton sirkus secara nyata dengan mata kepala sendiri. Paling banter, saya menonton lewat layar televisi. Salah satu yang paling berkesan adalah pertunjukan sirkus di film Madagascar 3: Europe's Most Wanted, dengan visual effect yang sangat bagus dan penuh warna, plus perut Gloria yang selalu bergoyang-goyang menggoda tawa tiap kali dia berlatih atraksi berjalan di atas tali.


Barangkali seperti tiap tokoh dalam Madagascar 3, tiap tokoh dalam novel ini juga memiliki masalahnya masing-masing berkaitan dengan sirkus.

Stella, si pecinta sirkus, terutama aerialist dan pelempar pisau, harus menghadapi ketidaksukaan orang tuanya terhadap sirkus, tanpa ia tahu alasannya. Stella adalah gadis yang berani mencoba hal baru, selalu ingin tahu, dan siap mengambil risiko untuk hal yang ingin ia lakukan. Contohnya, ketika ia tak malu-malu meminta Frene membolehkannya datang ke Casa de Patrimonio, padahal perjalanan ke sana dari rumahnya "bisa mencapai satu jam, bahkan lebih. Sangat jauh." (hlm. 21). Atau ketika ia berlatih aerial straps bersama Cent dan mencoba gaya yang cukup rumit di udara. Selain itu, ia juga gadis yang bandel, dalam artian tetap terlibat dalam segala hal tentang sirkus meski tahu orang tuanya melarang. Di luar itu, Stella ternyata cukup polos dalam hal percintaan.

Aerial straps, sumber di sini.

Frene, atau lebih akrab dipanggil Ash, adalah seorang pelempar pisau yang sangat percaya diri dan suka melakukan hal seenaknya sendiri. Salah satu keisengannya adalah melakukan promosi sirkus dengan melempar pisau dan brosur di dekat orang yang lewat.
"Nadanya sombong saat berkata, 'Pisauku belum pernah meleset.'" (hlm. 11)
Namun, kadang keliarannya itu membuatnya tak berpikir panjang ketika melakukan sesuatu. Frene juga keras kepala, ditandai dengan sikap antipatinya yang tak tergoyahkan terhadap ayahnya. Selain itu, ia sosok yang terlihat santai. Lihatlah gayanya saat menjawab pertanyaan Stella ini:
"Jadi, kamu nggak punya orang tua?"
"Nggak punya. Ditinggal dari bayi di depan pintu." (hlm. 29)
Tokoh-tokoh lain, seperti Cent, Luce, Felix (salah satu pendiri Casa de Patrimonio), orang tua Stella dan masa lalunya, serta Nate (bocah lelaki biang gosip di Casa de Patrimonio), memiliki kisah sendiri-sendiri. Meski diceritakan secara minor, tiap tokoh tersebut memiliki peran tersendiri dalam perkembangan alur cerita.

Mengangkat tema sirkus, dipadukan dengan drama keluarga, dan sedikit semburat percintaan, membuat novel ini unik. Istilah-istilah khas sirkus bertebaran sepanjang novel. Sebut saja, aerial straps, juggling, trapeze, akrobatik, the big top (tenda besar, tempat pertunjukan utama sirkus dilaksanakan). Aktivitas latihan sirkus pun mengambil porsi terbesar dalam novel, jadi memang sangat terasa nuansa sirkusnya. Konsep panti asuhan merangkap sekolah sirkus pun unik.

Trapeze. Sumber di sini.
Agak mirip aerial straps, tapi trapeze menggunakan batang horizontal untuk bergelayutan, sedangkan aerial straps menggunakan tali-tali.
Juggling. Sumber di sini.

Latar tempatnya pun unik, karena di kota yang belum pernah saya dengar sebelumnya: Bilbao (mungkin saya yang kelewat kuper). Melalui nama-nama tempat, makanan-makanan khas, sedikit percakapan dalam bahasa Spanyol, dan budaya setempat yang disebutkan di dalam novel, latar tempat ini terbangun dengan baik. Ada taman Dona Casilda Iturrizar, Plaza Nueva, Bilbobus (bus khas Bilbao), pintxos (finger food), kalimotxo, torrijas (puding roti), churros, marmitako, perayaan Semana Santa (Kamis Putih hingga Minggu Paskah; semua orang merayakannya hingga banyak toko tutup), fenomena sosial cuadrilla.
"Orang-orang Bilbao, terutama kaum muda, biasanya sudah memiliki grup bersama orang-orang yang tumbuh besar bersama. Semacam fenomena sosial bernama cuadrilla yang membuat orang baru sulit bergabung, kecuali ia punya kekasih dan kekasihnya itu bagian dari cuadrilla." (hlm. 15)
Gaya bahasa yang digunakan penulis sudah cukup terasa seperti novel terjemahan, tapi beberapa dialognya kurang mengalir lancar. Mungkin di beberapa tempat tertentu penulis memang ingin menunjukkan betapa tokoh-tokohnya sedang mengalami kekakuan dialog karena nervous, mood yang sedang buruk, atau hal lain. Jika memang begitu, maka penulis berhasil. Dialog Frene-Stella beberapa kali terjadi seperti itu, contohnya ketika tiba-tiba Stella mengajak Frene untuk mencoba merasakan kuliah. Dialog yang terasa kaku tersebut karena memang Stella bingung mau mengatakan apa untuk membalas kebaikan Frene.

Penulis menggunakan alur progresif, diselingi dengan flashback. Misalnya saat Stella mengingat masa lalunya ketika menonton sirkus di Toronto dan bertemu dengan seorang bocah pelempar pisau andal, yang gaya pertunjukannya mirip dengan Frene. Namun, kemudian flashback ini tidak membawa peran penting dalam perkembangan cerita selanjutnya. Tempo cerita berjalan dengan cukup cepat dan padat, mengingat cerita yang cukup kompleks ini disajikan hanya dalam 268 halaman. Alur demikian tak membiarkan pembaca bosan. Namun, meski konflik utama dan beberapa konflik minor memperkaya cerita, saya tak menemukan twist yang membuat penasaran hingga ingin terus membaca. Yah, meski ada kejutan kecil di bagian epilog, sih. Hihi.

Melalui para tokohnya, penulis menyampaikan beberapa pesan pada pembaca. Yang saya tangkap dari tokoh Frene adalah pesan bahwa kebebasan yang kita miliki harus dilakukan secara bertanggung jawab.
"Yang paling sakit, kemarahan pada dirinya sendiri. Pada kebodohannya yang tidak memikirkan akibat dari perbuatannya. Pada kenaifannya, mengira bahwa semua orang menyukai apa yang disukainya." (hlm. 243)
Saya menyukai adegan saat Frene menyadari kesalahannya, kemudian Stella datang dan membantu semangatnya muncul kembali. Kalimat Stella berikut ini cukup menohok dan mengingatkan kita bahwa segala hal akan terkendali jika dilakukan di tempat yang seharusnya.
"Apa bedanya main pedang dan lempar pisau? Sama-sama bahaya. Mereka juga akan melarangku main pedang setelah--"
"Nggak akan selama kamu menodongkan pedang di tempat seharusnya, Frene!"
(hlm. 244)
Novel tentang sirkus ini layak menjadi teman penghibur di saat kejenuhan akibat nyekripsi dan revisi yang rasanya tak kunjung selesai. Kelar sidang, masih harus revisi. Kelar revisi, masih harus mengurus administrasi yudisium dan wisuda. Yang nyesek adalah, setelah revisi selesai, waktunya sudah tidak cukup untuk mendaftar wisuda. Wkwk. Yang jelas, novel ini bisa menjadi pelarian sejenak dari rutinitas. Oya, ditambah dengan kovernya yang penuh warna dan cantik, hingga menularkan keceriaan a la sirkus. Siapa di antara kalian yang pernah nonton sirkus secara langsung? Atau siapa yang pernah main sirkus? Mungkin bisa dicoba suatu saat nanti. Hihi.

0 komentar:

Post a Comment

Your comment is so valuable for this blog ^^

bloggerwidgets