PLOT SUMMARY
Di sebuah desa di dataran tinggi di Yogyakarta, tepatnya di Kulonprogo, seorang gadis bernama Ajeng tinggal. Ajeng bukan gadis biasa, ia memiliki gangguan berbahasa yang membuatnya susah berkata-kata.
"Kata apa yang harus kupilih untuk menyuarakan pikiran?" (hlm. 85)
Kekurangannya itulah yang membuatnya tak bersekolah, tak punya teman, sering diremehkan, serta jadi bahan gunjingan tak sedap oleh orang-orang di sekitarnya. Ia juga sering dibanding-bandingkan dengan April, adiknya, yang cantik dan normal.
"Oalah, Kang, secantik dan rajin apa pun Ajeng, kalau ndak normal, ya, susah laku. Kalau model si April begitu, kan, bakal banyak laki-laki ngantre." (hlm. 13)
Bahkan, April sendiri selalu menunjukkan ketidaksukaan terhadap Ajeng. Untungnya, Pak Kliwon dan istrinya--orang tua Ajeng--memperlakukan kedua anaknya dengan setara. Di luar kekurangannya itu, Ajeng adalah gadis yang sopan dan rajin membantu orang tuanya menggarap sawah milik Pak Drajat.
Sementara itu, dengan sebuah tepukan singkat di bahu Ajeng dan sapaan hangat, Galih memulai perkenalan dengan gadis itu. Timbullah empati di hati Galih, yang mendorongnya untuk menyadarkan Ajeng bahwa kekurangannya itu tak lantas membuatnya tak berharga. Ketika kemudian kampung mereka didatangi sekelompok mahasiswa KKN (Kuliah Kerja Nyata) dari UGM, Galih pun meminta bantuan salah satu dari mereka, Mbak Lia (mahasiswi jurusan Sastra Indonesia) untuk membantu Ajeng belajar membaca dan menulis. Galih pula yang pertama menyadari kemampuan menggambar Ajeng, yang luar biasa. Namun, hubungan persahabatan Galih dan Ajeng tak bisa dibilang mudah. Awalnya, orang-orang memandang aneh hubungan persahabatan mereka, bahkan orang tua Ajeng sendiri. Mereka segan karena Galih adalah anak Pak Drajat, majikan mereka. Awalnya juga tak mudah bagi Ajeng untuk mulai belajar baca-tulis, lantaran ia masih meragukan kemampuan belajarnya sendiri.
"Mbak Ajeng ndak mungkin bisa belajar." (April, hlm. 56)
Galih pun sebenarnya punya masalah. Sebentar lagi ia akan lulus SMA dan ingin melanjutkan kuliah di UGM, tapi ayahnya tidak setuju. Bagi Pak Drajat, daripada kuliah, lebih baik anaknya meneruskan usaha pertanian dan merawat ternak miliknya.
Proses belajar Ajeng berjalan cukup lancar, Galih pun tak menyerah untuk membuat ayahnya mengizinkannya kuliah, apalagi setelah ia diterima di Jurusan Psikologi UGM. Namun, tiba-tiba, sesuatu terjadi pada Galih, yang membuatnya tak sama lagi.
REVIEW
Masa KKN merupakan sepenggal kisah yang tak akan terlupakan dalam hidup seorang mahasiswa UGM, termasuk saya sendiri. Pun saya merasa tertampar ketika membaca bagian "About Me" di halaman terakhir novel ini, dan menangkap pesan penulis bahwa novel ini ia tulis berdasarkan kisah KKN. Merasa tertampar, kenapa? Tak lain, karena dulu saya pernah berniat untuk menuliskan kisah KKN saya yang sangat life-changing itu ke dalam bentuk novel atau yang lain, tapi belum terwujud sampai sekarang *elus dada orang*.
Ardila Chaka telah menggambarkan dengan cukup baik betapa kolotnya cara pikir masyarakat desa yang jauh dari kota, yang ditandai, salah satunya dengan sikap mereka yang suka menghakimi (secara sadar maupun tidak). Nah, eksistensi Ajeng dengan keabnormalannya itu seolah menjadi "objek" menarik untuk "dihakimi". Tak cukup dihakimi, ia pun dibanding-bandingkan dengan "objek" yang dianggap mewakili kenormalan, yaitu April. Dari segi fisik, kakak-beradik itu sama-sama menarik. Ajeng sering disebut "manis", sedangkan April "cantik".
Selain keabnormalannya, Ajeng punya kualitas tersendiri, yang sudah saya sebutkan di bagian plot summary. Kekurangan Ajeng barangkali adalah keminderannya. Tak bisa disalahkan, keminderan tertanam dalam diri Ajeng berkat sikap antipati dan cemoohan orang-orang di sekitarnya, yang ia alami sepanjang hidup, sampai sebelum bertemu Galih. Namun, untunglah, setelah belajar dengan Mbak Lia dan Galih, yang selalu memberi semangat dan memberikan kata-kata positif, Ajeng semakin percaya diri dan bahkan mampu belajar dengan cepat.
Sementara itu, karakter April, selain kecantikan dan kepandaiannya di sekolah (disebut-sebut bahwa ia selalu ranking satu di kelas--hlm. 13), sifat negatif mendominasi sosoknya. April bisa dibilang kurang dewasa, karena tak memahami kondisi finansial keluarga yang pas-pasan. Keinginannya (terutama dalam hal membeli barang-barang) harus dituruti. Pun ia tak pernah membantu orang tuanya bekerja.
"April kan banyak kegiatan sekolah, Pak. Sekolah April juga jauh. April sudah capek kalau pulang sekolah. Masa harus bantu-bantu juga. Itu loh, Mbak Ajeng kan ndak sekolah. Belajarnya juga cuma sore. Mbak Ajeng wajib bantu Bapak dan Mamak kalau gitu." (April, hlm. 95)
April memang selalu menunjukkan antipatinya terhadap Ajeng, tapi tak ada penjelasan terkait motivasi apa yang melatarbelakanginya. Apakah hanya karena Ajeng tidak normal, sehingga April malu? Atau lebih dari itu? Namun belakangan, sebagaimana Ajeng berubah jadi percaya diri, April juga berubah. Berubah jadi pendiam dan murung, sehingga jarang mengonfrontasi kakaknya.
Sebagaimana Cinderella punya Ibu Peri dan Puteri Putih Salju punya Tujuh Kurcaci, Ajeng punya Galih, yang menjadi penolongnya. Ah, alangkah mulia niat Galih untuk membantu Ajeng! Bisa dibilang, Galih sosok yang sangat suami-able :!!. Dengah gigih ia membantu Ajeng, sehingga Ajeng pun tertulari semangat pantang menyerahnya itu. Saya kagum dengan kemampuan Galih dalam melihat hal positif dalam diri Ajeng, ketika mayoritas orang hanya mampu melihat keabnormalannya. Belakangan, ketika semangat Galih meredup, Ajeng gantian memberinya semangat untuk bangkit kembali.
Sebagaimana Cinderella punya Ibu Peri dan Puteri Putih Salju punya Tujuh Kurcaci, Ajeng punya Galih, yang menjadi penolongnya. Ah, alangkah mulia niat Galih untuk membantu Ajeng! Bisa dibilang, Galih sosok yang sangat suami-able :!!. Dengah gigih ia membantu Ajeng, sehingga Ajeng pun tertulari semangat pantang menyerahnya itu. Saya kagum dengan kemampuan Galih dalam melihat hal positif dalam diri Ajeng, ketika mayoritas orang hanya mampu melihat keabnormalannya. Belakangan, ketika semangat Galih meredup, Ajeng gantian memberinya semangat untuk bangkit kembali.
"Siapa yang bilang kamu bodoh? Kamu bisa pintar seperti yang lain. Yang penting, kamu ndak patah semangat. Kamu harus tetap belajar." (hlm. 116)
"Jangan pernah patah semangat untuk belajar, ya!" (hlm. 131)
Saat membaca bagian Mbak Lia, saya langsung membayangkan bahwa mahasiswi ini adalah Ardila Chaka sendiri. Sama-sama jurusan Sasindo UGM (ternyata dia teman Indiana Malia, teman seangkatan saya di Kampus Fiksi 12). Di bagian akhir, Ajeng dan Galih mengetahui bahwa Mbak Lia menulis sebuah novel tentang kisah mereka. Nah, Ardila Chaka juga menulis tentang mereka, bukan? Belum lagi petikan dari "About Me" penulis, yang mengisyaratkan bahwa novel ini ditulis berdasarkan kisah nyata, "Buku ini adalah novel perdana yang ditulis di antara derai air mata perpisahan dan keringat pengabdian."
Menggunakan sudut pandang orang pertama Ajeng dan Galih bergantian tiap bab, penulis berhasil menggambarkan cara pikir dan pergulatan batin kedua tokoh utama tersebut dengan baik. Plot progresif dari awal sampai akhir, bersanding dengan gaya bahasa yang mengalir, menjadikan cerita enak dibaca. Namun, di bagian perubahan nasib Galih, saya agak terkejut. Bukannya menjadi twist, bagian itu malah seperti kemunculan Ibu Peri yang makjegagig, tiba-tiba di sebelah Cinderella, saat ia galau mau datang ke pesta dansa atau tidak. Seolah ada plot hole sebelum bagian tersebut, atau mungkin saja gerak penulis kurang leluasa terbatasi ketentuan jumlah halaman, terancam deadline, atau memang penulis malas menarasikan. Mungkin yang kedua atau ketiga lebih masuk akal, karena setahu saya ada novel-novel PING yang tebalnya 200 halaman lebih sedikit. Akan lebih baik jika penulis lebih mengeksplorasi cerita sebelum terjadinya peristiwa yang mengubah nasib Galih ini (hlm. 139).
Dalam hal gaya bahasa, saya menemukan beberapa hal yang saya kurang bisa menangkap maknanya.
Menggunakan sudut pandang orang pertama Ajeng dan Galih bergantian tiap bab, penulis berhasil menggambarkan cara pikir dan pergulatan batin kedua tokoh utama tersebut dengan baik. Plot progresif dari awal sampai akhir, bersanding dengan gaya bahasa yang mengalir, menjadikan cerita enak dibaca. Namun, di bagian perubahan nasib Galih, saya agak terkejut. Bukannya menjadi twist, bagian itu malah seperti kemunculan Ibu Peri yang makjegagig, tiba-tiba di sebelah Cinderella, saat ia galau mau datang ke pesta dansa atau tidak. Seolah ada plot hole sebelum bagian tersebut, atau mungkin saja gerak penulis kurang leluasa terbatasi ketentuan jumlah halaman, terancam deadline, atau memang penulis malas menarasikan. Mungkin yang kedua atau ketiga lebih masuk akal, karena setahu saya ada novel-novel PING yang tebalnya 200 halaman lebih sedikit. Akan lebih baik jika penulis lebih mengeksplorasi cerita sebelum terjadinya peristiwa yang mengubah nasib Galih ini (hlm. 139).
Dalam hal gaya bahasa, saya menemukan beberapa hal yang saya kurang bisa menangkap maknanya.
Tak ada yang lebih indah dari memanjakan mata di tempat ini. (hlm. 7)
Mungkin kalimat tersebut terasa kurang pas karena penggunaan kata "dari", yang seharusnya "daripada".
Aku kesulitan berbicara dengan lancar. Kata-kataku tersendat di kerongkongan. (hlm. 9)
Nah, kalau ini, seharusnya "tenggorokan", bukan "kerongkongan". Suara dapat diproduksi berkat napas kita, yang melibatkan peran tenggorokan. Kalau yang masuk lewat kerongkongan itu makanan. Kalau ada ayam KFC masuk ke tenggorokan, nah itu namanya tersedak. Awas, 4-5 menit tak tertangani dengan baik, nyawa melayang!
Selalu ada April dalam setiap hal yang menyangkut diriku. Sejatinya memang April selalu menjadi bayang-bayang. April yang lebih unggul. (hlm. 37)
Mungkin seharusnya yang jadi bayang-bayang adalah Ajeng, ya, karena disebut "April lebih unggul".
Lain dari itu, hanya terdengar suara motor guru BK yang bergerak meninggalkan halaman rumah. (hlm. 155)
"Lain dari itu" adalah fragmen yang mengganggu. Mungkin maksud penulis adalah "selepas itu" atau sejenisnya.
Lokalitas dalam novel ini cukup tergambar nyata, salah satunya berkat penggunaan setting yang khas daerah tersebut. Banyak adegan terjadi di sekitar Waduk Sermo, objek wisata di desa Kalibiru.
Lokalitas dalam novel ini cukup tergambar nyata, salah satunya berkat penggunaan setting yang khas daerah tersebut. Banyak adegan terjadi di sekitar Waduk Sermo, objek wisata di desa Kalibiru.
Bagus, ya? Saya belum pernah ke sini. Hmm, saya memang kurang piknik. Sumber: di sini. |
Mungkin ada yang mau ngajak saya ke sini? *ngarep* Sumber: di sini. |
Selain itu, budaya masyarakat yang digambarkan juga membantu merangkai elemen lokalitas, misalnya logat Jawa para tokoh. Untunglah, elemen lokalitas di novel ini tak lantas jadi kabur seperti yang terjadi di novel terbitan PING yang lain, Interval. Novel remaja ini cukup menginspirasi dan mengedukasi dengan tidak menggurui. Terlebih, ia juga telah memberi saya pengetahuan baru seputar gangguan berbahasa (afasia broca dan aleksia). Semoga semangat Galih dan Ajeng mampu menginspirasi kita semua, yang barangkali tidak memiliki gangguan berbahasa, tapi seringkali kurang percaya diri dalam berkata-kata, atau malah kadang menggunakan kata-kata negatif untuk menjatuhkan semangat orang lain.
"Cinta bukan tetang apa, siapa, kapan, di mana, dan mengapa. Cinta ialah tentang bagaimana. Bagaimana kasih sayang kedua insan menjadi penutup bagi kekurangan masing-masing." (hlm. 187)
Rating saya:
@-) :-/ :) (3/5)
Judul: Kasta, Kita, Kata-kata
Penulis: Ardila Chaka
Editor: Avifah Ve
Penerbit: PING
Cetakan: I, 2016
Tebal: 188 halaman
ISBN: 978-602-296-183-3
Harga: Rp 38.000,00
Penulis: Ardila Chaka
Editor: Avifah Ve
Penerbit: PING
Cetakan: I, 2016
Tebal: 188 halaman
ISBN: 978-602-296-183-3
Harga: Rp 38.000,00
Saya juga sudah membaca novel ini. Menurut saya mah keren banget. Sederhana tapi sangat mengena.
ReplyDeletehttp://hapudin.blogspot.co.id/2016/02/buku-kasta-kita-kata-kata-by-ardila.html
Saya sudah baca review Bang Adin, nice review :D
Delete