26 August 2013

Resensi 12 MENIT "Surely, Dreaming is Believing!"



Judul Buku                        : 12 Menit
Penulis                              : Oka Aurora
Tebal                                 : xiv + 348 halaman
Penerbit/cetakan               : Noura Books/Cetakan pertama, Mei 2013
ISBN                                 : 979-602-7816-33-6
Harga                                 : Rp 54.000,00 43.200,00


Perjuangan terberat dalam hidup manusia adalah perjuangan mengalahkan diri sendiri. Buku ini adalah bagi semua yang memenangkannya.(halaman vii)

Saya pernah membaca buku Outliers karya Malcolm Gladwell, yang memaparkan dengan bukti-bukti, bahwa kita butuh latihan dan kerja keras selama 10 ribu jam sebelum kita benar-benar mencapai sukses. Contohnya adalah Bill Gates yang mencapai kesuksesan setelah dia mulai membuat program ketika duduk di kelas 8 pada tahun 1968. Delapan jam per hari dia berlatih membuat program, selama 7 tahun. Jika dihitung, jam berlatihnya ini sudah lebih dari 10 ribu jam!

Mungkin itulah yang juga dibuktikan oleh Tim Marching Band Pupuk Bontang Kaltim (PKT), dengan latihan rutinnya selama setahun penuh (mungkin kalau dihitung memang belum mencapai 10 ribu jam), hingga mereka benar-benar mencapai permainan yang sempurna.

Sang pelatih tim marching band PKT yang baru, Rene, adalah seorang wanita keras kepala lulusan Music and Human Education di sebuah universitas di Amerika. Curriculum Vitae-nya tak diragukan lagi. Baginya, membawa sebuah tim menyabet juara di ajang GPMB (Grand Prix Marching Band), sebuah ajang kompetisi tingkat nasional, bukanlah perkara sulit. Tak disangka, melatih anak-anak Bontang tak semudah mengajar anak-anak Jakarta. Mereka sama-sama memiliki bakat dan potensi. Hanya satu yang tak dimiliki anak-anak Bontang: mental juara. Butuh usaha ekstra keras baginya untuk meyakinkan anak-anak polos ini bahwa mereka bisa jadi pemenang.
Semakin lama berinteraksi dengan para anggotanya, membuat Rene mengenal masing-masing dari mereka. Tak jarang ia perlu memborbardir mereka dengan kata-katanya yang sepedas bhut jolokia (cabe terpedas di dunia) untuk menyadarkan mereka.

“Kamu tahu siapa yang paling kecewa kalau kamu menyerah? Bukan opa dan oma kamu. Bukan ibu kamu, yang lagi susah-susah kuliah di luar negeri demi kamu. Dan, bukan saya. Tapi, kamu!” (halaman 140)

Kalimat yang dituturkan Rene itu tetap tak dapat meyakinkan Tara. Gadis pemain snare drum berbakat itu telah terpilih menjadi anggota tim inti. Tapi, di tengah perjuangannya, ia meragu dan memilih untuk keluar dari tim. Meninggalkan lingkungan yang ia rasa tak mampu memahaminya. Rene menuntutnya terlalu lebih. Padahal Tara yang memiliki gangguan pendengaran ini sudah berusaha semaksimal mungkin, lantaran ia sering tak dapat mendengar aba-aba field commander. Bukan hanya itu. Kenangan masa lalunya tentang kecelakaan yang menewaskan ayahnya dan merusak pendengarannya itu terus menghantuinya dengan rasa bersalah. Tidak mudah untuk memilih tetap bertahan, atau mengundurkan diri saja dari tim itu. Hingga akhirnya, sebuah filosofi baru yang diberikan opanya memberinya pertimbangan: “dorong atau lepas”.

“Kadang-kadang, hidup itu, ya, kayak gitu, Dek. Kayak dorong mobil di tanjakan,” jelas Opa, “susah. Berat. Capek. Tapi, kalau terus didorong, dan terus didoain, insya Allah akan sampai.” (halaman 160)

Lain lagi masalah yang dimiliki oleh Elaine, seorang gadis blasteran Jepang, pindahan asal Jakarta. Bakat musiknya tak diragukan lagi. Kepiawaiannya memainkan biola, marimba, dan quarto, membuat Rene tak ragu memasukkannya ke tim inti, meskipun Elaine sebenarnya ingin menjadi field commander. Keinginannya itu terkabul ketika ia diminta menggantikan Ronny—sang field commander—yang kakinya patah akibat kecelakaan. Ketika GPMB sudah dekat, tiba-tiba Elaine mendapat pemberitahuan bahwa ia terpilih mewakili sekolahnya dalam ajang olimpiade Fisika. Ia tak perlu cemas seandainya pelaksanaan lomba itu tak bertabrakan dengan lomba GPMB. Ia harus memilih di antara keduanya. Jika olimpiade Fisika yang ia pilih, berarti ia menyenangkan papanya, Josuke Higoshi, yang menginginkannya jadi ilmuwan. Namun kata hatinya berkata lain. Musik-lah kecintaannya, dan itulah masa depan yang ia pilih. Akankah papanya mengerti?

“Yang bertanggung jawab sama masa depan Elaine itu Elaine sendiri, Pa,” sergah Elaine, “bukan siapa-siapa.” (halaman 235)

Departemen color guards juga tak kalah penting dalam sebuah tim marching band. Lahang, adalah salah satu anggota color guards, dan dia didaulat untuk menampilkan solo fouettes. Untuk berhasil mencapai 20 putaran, ia harus latihan ekstra. Tapi, kondisi kesehatan ayahnya yang makin menurun, membuat pemuda Dayak itu lebih memilih merawat ayahnya di rumah. Padahal, selama ini, Lahang selalu rajin berangkat latihan. Meski untuk mencapai tempat latihan, ia harus berjalan berkilo-kilometer, melewati jembatan berbahaya dengan rawa berisi buaya di bawahnya. Dilema menerjangnya, ketika tahu bahwa penyakit ayahnya tak bisa disembuhkan lagi. Ia harus memilih untuk menepati cita-cita almarhumah ibunya untuk melihat Monas, atau menyerah. Kecemasan melandanya, bagaimana jika ayahnya akan pergi untuk selamanya sebelum ia kembali dari Jakarta? Janji ayahnya untuk menunggu belum bisa meyakinkan Lahang, hingga Rene pun harus turut meyakinkannya.

“Bapakmu masih hidup, Lahang. Kenapa nggak buat beliau bangga padamu? Berapa pun sisa usianya.” (halaman 258)
 


Dengan piawai, Kak Oka mampu mengeksplor konflik yang dialami masing-masing tokoh sentralnya. Hingga rasanya tiap kisah itu bisa dibangun menjadi satu novel tersendiri, saking kuatnya ide si penulis. Tanpa terkesan menggurui, penulis mampu mentransferkan ide-idenya yang menginspirasi melalu kalimat-kalimat yang diucapkan para tokoh, dan juga melalui narasinya. Lima puluh bab merajut novel ini dari awal hingga lembar terakhir. Konflik yang terbangun secara konstan, tak melepaskan mata saya untuk terus menelanjangi novel ini hingga akhir. Judul bab yang menarik dan tak terdiri dari jumlah halaman yang panjang, apalagi anti typo, berhasil menjauhkan saya dari rasa bosan. Berikut ini adalah gambaran emosi saya selama membaca. Naik-turun, memang, tapi tak pernah terlalu turun.
Kisah tentang perjuangan tim marching band Bontang ini terasa sungguh nyata, disajikan oleh penulis lengkap dengan emosi yang kadang membuat saya trenyuh, menangis, hingga tertawa. Ditambah dengan istilah-istilah dan narasi yang sangat padat tentang marching band, berhasil menambah pengetahuan saya tentang seluk beluk seni musik tersebut.

Sayangnya, banyaknya istilah-istilah teknis di bidang marching band tersebut tak ayal membingungkan saya, yang adalah pembaca awam. Dicantumkannya definisi beberapa kata tersebut pada glosarium di bagian belakang, agak membantu saya, meskipun malah memecah konsentrasi membaca. Akan lebih baik jika penjelasan tentang istilah teknis tersebut diletakkan di footnote.
Walaupun penulis berhasil merangkai kisahnya dengan alur bolak-balik secara lihai, tetap saja, saya merasa bingung ketika membaca bagian awal bab 18, Konser di Atas Perahu. Butuh saya baca kembali, hingga saya ngeh, bahwa bab 18 itu flashback. Bisa jadi, ini hanya gara-gara saya kurang konsentrasi.

Satu lagi yang terasa aneh adalah penulis menyajikan dua bab khusus untuk tokoh Rob, yaitu bab 5, The Blue Devils dan bab 13, Kopi Instan. Memang, Rob adalah salah satu anggota tim inti, tapi ia bukanlah tokoh sentral, seperti Tara, Elaine, Lahang, dan Rene. Bahkan setelah bab itu, namanya hanya disebut satu-dua kali saja (kalau tidak salah). Kurang sepantasnya tokoh Rob itu mendapat porsi dua bab, karena kisahnya terasa mengambang.

Terlepas dari itu semua, penulis mampu menginspirasi saya, membuat saya makin teguh dalam menggenggam impian. Terima kasih untuk Kak Oka, yang telah membuat saya sadar kembali bahwa dreaming is believing. Bahwa “Untuk melawan arus, kalian bukan hanya butuh tubuh yang kuat. Kalian juga butuh mental yang kuat. Dan, mental yang kuat datang dari komitmen yang kuat.... Untuk terus berenang seberapa kuat pun arus yang harus dilawan. Dan... untuk terus menancapkan pandangan pada tujuan.” (halaman 134-134)
VINCEROOOO!!!



22 August 2013

Resensi SUNSHINE BECOMES YOU "Secerah Sinar Mentari"

Judul Buku                        : Sunshine Becomes You
Penulis                              : Ilana Tan
Tebal                                 : 432 halaman
Penerbit/cetakan               : Gramedia/Cetakan kedua, 2012
ISBN                                : 978-979-22-7813-2
Harga                                : Rp 65.000,00 48.750,00 (diskon 25%)

Nama Ilana Tan yang tertera pada sampul depan novel ini tentunya memberi harapan besar akan kepuasan pembaca, seperti yang sudah-sudah. Ingatlah tentang empat karyanya sebelumnya, tetralogi empat musim yang laris manis bak barang diskon plus buy one get one free (apaan, sih -_-). Kisah romansa yang manis ciptaan Ilana Tan selalu berhasil menyihir saya, meskipun ada yang sad ending (baca Autumn in Paris). Mungkin jarang sekali orang menyukai kisah yang nggak happy ending. Tapi kalau semua kisah di dunia ini berakhir bahagia, itu sih bukan kehidupan nyata, melainkan cerita dongeng karangan Hans Christian Andersen. Hehehe.
Awalnya saya mengira Sunshine Becomes You ini akan berakhir bahagia. Sinopsis di sampul belakangnya juga nggak mengisyaratkan barang satu kata pun yang mengarah ke sad ending. Tapi ternyata, tak dinyana-nyana….
Alex Hirano, seorang pianis terkenal, terpaksa harus membatalkan konsernya. Mia Clark-lah yang patut ia salahkan, atas tangan kirinya yang terkilir. Membutuhkan waktu sekitar dua bulan untuk bisa digunakan secara normal kembali, padahal tanggal konsernya semakin dekat. Yah, meskipun gadis itu tak sengaja jatuh dari tangga dan menubruk, menimpa tubuh Alex hingga tangannya jadi seperti itu. Tetap saja, satu alasan itu cukup untuk membuat Alex membenci Mia. Pasti begitulah juga perasaanmu terhadap orang yang menyebabkan konsermu batal dan kau harus menderita kerugian besar. Belum lagi kerepotan yang diakibatkan kehilangan fungsi satu tangan, seperti kesulitan ketika hendak membuat kopi. Atau sekadar membuka pintu apartemen sambil memegang secangkir kopi. Ngomong-ngomong, Alex tak bisa mengawali harinya tanpa minum secangkir kopi. Dan itu akan membuatnya uring-uringan. Ditambah lagi dengan idenya yang sedang mampet untuk menciptakan lagu baru.
Alex mengerutkan kening menatap malaikat kegelapannya yang mendadak muncul di depan matanya. Kenapa gadis itu datang ke sini? (halaman 35)
Dituntun oleh rasa bersalah yang sedemikian memuncak mengalahkan gunungan sampah seantero Jakarta yang dikumpulkan jadi satu, Mia Clark menawarkan bantuan pada Alex. Dengan berat hati, awalnya, karena Alex takut berada dekat-dekat dengan malaikat kegelapannya itu, Alex menerima Mia di apartemennya.
“Kalau kau memang ingin menjadi pesuruhku, kuizinkan kau menjadi pesuruhku.” (halaman 42)
Sikap Alex yang antipati terhadap Mia sangat berlawanan dengan sikap Ray Hirano, adiknya. Cowok yang lebih dulu mengenal Mia itu (karena mereka sama-sama menjadi pelatih tari di studio Small Steps Big Steps) malah terlalu kentara memperlihatkan rasa sukanya terhadap Mia. Tapi ia harus kecewa karena Mia memperlakukannya sama dengan teman-teman pria lainnya.
Bisa ditebak, kebersamaan Alex dan Mia lama-lama mengubah sikap Alex terhadap gadis itu. Cowok itu jadi menyadari bahwa ia sangat membutuhkan kopi yang enak, buatan gadis itu. Mendadak, ia juga mendapat inspirasi untuk menulis lagu baru, setelah teringat akan Mia Clark, akan senyum gadis itu yang secerah sinar matahari. Ia juga merasa aneh ketika mendapati dirinya kesal melihat Mia bersama teman prianya, tersenyum pada mereka seperti ia tersenyum pada Alex. Lalu sebuah rasa pensaran muncul ketika Alex mengetahui bahwa Mia dulunya adalah salah satu penari Dee Black Dance Company (salah satu klub tari tersohor Amerika Serikat). Juga, kata Dee Black, Mia adalah salah satu penari terbaik yang pernah ia miliki, satu dari lima penari kontemporer terbaik dunia. Fakta itu membuat Alex bertanya-tanya, jika memang Mia sehebat itu, kenapa ia memilih hanya menjadi seorang pengajar di studio tari—bukannya bergabung dengan klub tari terkenal dan menari di panggung-panggung broadway?
Ketika akhirnya rasa penasarannya itu terjawab, Alex malah menyesal. Ia tak ingin memikirkan kemungkinan terburuk berkaitan dengan kondisi kesehatan Mia yang menjadi alasan untuk berhenti menari di panggung. Juga kenapa Mia tampak tak mau menjalin hubungan istimewa dengan laki-laki, padahal tak sedikit yang mengejar-ngejarnya (Ray termasuk di dalamnya). Begitu juga, akhirnya saya tahu maksud implisit dari salah satu kalimat sinopsis novel ini: “Kemudian Alex Hirano tersenyum, dan jantung Mia yang malang melonjak….” Frase kuncinya adalah “JANTUNG MIA YANG MALANG”.
Well, kalau obat-obatan tidak berhasil, tidak ada cara lain selain mencari jantung baru untukku.” (halaman 316)
Lalu satu tawaran untuk menari di panggung menyambut Mia. Dee Black memintanya menjadi penari utama pada pertunjukan terakhirnya di New York. Satu kali saja, menampilkan kembali kemampuannya yang luar biasa pada dunia dan mewujudkan impiannya….
“Impian setiap penari adalah menari di atas panggung, Dee. Kau tahu itu.”
“Aku juga penari. Jadi aku juga memiliki impian itu.” (halaman 303)
Tawaran yang dilematis, sementara kondisi jantung Mia makin melemah…. Pilihan apa yang akan dipilih Mia? Menari satu kali saja dengan membahayakan jantungnya, atau tidak menari sama sekali dan menyesal?
Alex juga mengalami kekhawatiran tersendiri, yaitu ketika Mia menghindarinya setelah ia menyatakan perasaannya pada gadis itu. Apa yang ia lakukan selanjutnya? Yang paling ingin ia ketahui adalah perasaan Mia terhadapnya. Apakah Mia sebenarnya memiliki perasaan yang sama atau tidak?
Ilana Tan selalu berhasil membikin saya berkhayal tentang tokoh laki-laki yang ia ciptakan. Tokoh laki-laki yang manis seperti Alex Hirano; yang rela melakukan apa saja demi gadis yang dicintainya. Gaya penuturan cerita dengan sudut pandang orang ketiga terbatas (bukan serba tahu) khas milik Ilana Tan membuat saya mengetahui pemikiran tiap-tiap tokoh utama. Kisah perkenalan hingga kebersamaan antara Alex dan Mia pun mengalir secara lincah dengan tempo yang tak terlalu cepat, tereksplor dengan optimal dan tak berlebihan, meski kadang banyak terjadi kebetulan. Tapi kebetulan-kebetulan itu masih wajar dan masuk akal.
Tapi saya merasa agak bosan dengan cara Ilana Tan menjabarkan pikiran-pikiran dan ekspresi tokohnya, terasa agak didramatisir, mungkin? Atau ini mungkin efek terlalu mengenal gaya penulisan Ilana Tan melalui novel-novel sebelumnya? Entahlah. Juga tentang setting-nya, latar tempat cerita. Saya tak terlalu merasakan suasana kota New York, meskipun Ilana mewadahi adegan-adegannya dengan hawa dingin musim gugur dan musim dingin kota New York, adegan perayaan Natal, adegan di beberapa spot kota New York, seperti kawasan Soho. Tapi semua deskripsi tempat itu terasa mengambang. Mungkin memang karena penulis tak memfokuskan karyanya pada penjabaran latar tempat, melainkan pada interaksi antartokoh.
Jujur saja, saya agak kecewa ketika sampai di bagian ending novel ini yang terasa terlalu cepat. “Oh gitu doang.” Begitulah kira-kira yang terucap setelah saya merampungkan sampai halaman terakhir. Plot yang diciptakan Ilana pun terasa datar, tanpa klimaks yang benar-benar klimaks. Menurut saya, ending Autumn in Paris jauh lebih menggigit emosi saya daripada ending novel ini. Saya ingat, beberapa tahun lalu, saya meneteskan air mata ketika membaca bagian ending Autumn in Paris. Sungguh disayangkan, padahal saya berharap lebih pada kepiawaian menulis Ilana Tan yang sudah terbukti.
Tunggu dulu, ada satu pertanyaan yang mengganjal di benak saya. Mengapa sedikit pun tak tebersit pemikiran di otak Alex Hirano untuk mendonorkan jantungnya buat Mia? Bukankah ia sangat mencintainya? Well, mungkin jantung mereka tidak akan cocok atau Alex tak sampai segitunya merelakan hidupnya sendiri. Atau bagaimana, ya? Saya nggak ngerti tentang syarat-syarat jadi donor transplantasi jantung.
Kemudian, ketika mendengar bahwa novel ini akan di-layarlebar-kan, saya jadi antusias karena ingin sekali mendengar seperti apa lagu Sunshine Becomes You ciptaan Alex itu. Lagu yang bisa membuat “penonton mendesah dan memejamkan mata, membayangkan sinar matahari yang hangat, padang rumput yang hijau, dan langit biru tak berawan” (halaman 432). Juga bagaimana memukaunya tarian Mia Clark pada penampilan terakhirnya di atas panggung. Saya ingin melihat bagaimana “ia bergerak dan menari dengan keanggunan, kelas, dan kehebatan penari tingkat dunia” dan bagaimana “ia bercerita melalui gerakan tubuh dan raut wajahnya” (halaman 389).
Tak sampai di situ saja. Mulailah otak saya berkelana, membayangkan siapa artis Indonesia yang cocok memerankan Alex, Mia, dan Ray. Hingga saya mampir di Google dan mendapatkan beberapa profil yang mungkin cocok seperti di bawah ini, meskipun saya tak tahu apakah mereka mumpuni untuk bermain piano (Alex) dan menari (Mia dan Ray).

  1. Alex Hirano: Mike Lewis

     
  2. Mia Clark: Jill Gladys
  3. Ray Hirano:  Fendi Chow
Lastly, I look forward to Sunshine Becomes You The Movie ^^

12 August 2013

Resensi PASANGAN (JADI) JADIAN "(Ternyata Nggak Cuma) Berbagi Ruang"



Judul Buku                            : Pasangan (Jadi) Jadian
Penulis                                  : Lusiwulan
Tebal                                    : 248 halaman
Penerbit/cetakan                   : Gramedia/Cetakan ketiga, 2009
ISBN                                   : 978-979-22-3538-8
Harga                                   : Tak diketahui (novel minjem, hihi)


“Kalian menikah!” Gantian Kakek yang berseru. (halaman 79)
Priyayi merapikan posisinya sesaat. “Aku sudah mikirin ini baik-baik. Kita nikah di hadapan Kakek, tapi kita tetap berteman...” (halaman 91)
OH MY GOSH!! Jangan pikir ini adalah novel tentang pernikahan dini. Tentang sepasang remaja yang terpaksa menikah gara-gara hamil duluan, alias MBA (Married by Accident). Oke, setengah benar..., di bagian “MBA”-nya. Tapi mereka bukan sepasang remaja. Dan si cewek juga nggak hamil.
Si cewek dan cowok itu adalah Priyayi dan Jagad, yang sudah berumur 24 tahun. Mereka tinggal serumah karena Priyayi menemukan ide bagus untuk menambah pemasukan celengannya demi cita-citanya jalan-jalan sampe mampus ke Eropa. Ide bagus itu adalah dia akan menyewakan sebuah kamar kosong di rumahnya yang ia tinggali sendiri. Juga karena Jagad yang sedang tak punya tempat tinggal dan terbelit masalah finansial..., maklum baru satu bulan bekerja sebagai guru matematika. Jadilah mereka berdua tinggal satu atap, berbagi ruang, nggak lebih (katanya).
Seorang gadis dan laki-laki tinggal serumah, sementara status mereka berdua hanya teman. Ini memang nggak etis. Apalagi kedua orang itu sama-sama sudah memiliki tambatan hati. Malah Priyayi dan Jimmy, pacarnya, sudah merencanakan masa depan bersama. Jimmy memang kurang setuju dengan keputusan Priyayi yang menerima Jagad dalam rumahnya, tapi dia mencoba berbesar hati. Sedangkan di pihak lain, Syamila, pacar Jagad, tak mengetahui bahwa pacarnya itu tinggal di rumah seorang cewek.
Awalnya semua berjalan normal. Keadaan menjadi runyam ketika Syamila akhirnya mengetahui di mana dan dengan siapa Jagad tinggal serumah. Makin menjadi-jadilah saat orang tua dan Kakek kesayangan Priyayi serta orang tua Jagad tanpa sengaja datang ke rumah Priyayi berbarengan di suatu pagi. Mungkin nggak akan terlalu mengejutkan jika saja Jagad nggak keluar dari kamar Priyayi dengan tampilan khas baru bangun tidur. Semua orang pasti bisa menyimpulkan apa yang telah terjadi.
“Ehh... emm...” Priyayi berujar terbata-bata. “Jagad main game semalaman di komputerku...”
“JANGAN BOHONG!” Kelima orang berseru bebarengan. (halaman 77-78)
Well, salahkan hasrat yang muncul tiba-tiba lantaran tubuh terkuasai efek mabuk minuman keras. Mereka melakukan “hal itu” hampir tanpa sadar dan menyesalinya kemudian. Akhirnya mereka menikah,demi menyenangkan Kakek Priyayi yang sampai jatuh sakit karena shock. Mereka memang menikah, tapi itu hanyalah bagian dari rencana Priyayi. Bermain peran, judulnya. Yah, mereka berpura-pura sebagai sepasang suami-istri muda yang bahagia, tapi di balik itu, mereka tetap menjalin hubungan dengan pacar masing-masing.
Beberapa kali Priyayi ketahuan sedang berduaan dengan Jimmy. Begitu juga Jagad, yang kepergok oleh Kumala (teman Priyayi yang seorang adventurer) sedang ketemu berdua dengan Syamila. Hal ini menambah beban Yasmin (sahabat Priyayi yang tahu rahasianya tentang “bermain peran”), yang harus menjaga rahasia semua orang, sementara ada pihak lain yang akan marah jika nggak dikasih tahu tentang rahasia itu. Lalu Jagad melakukan sebuah kesalahan besar: jatuh cinta pada Priyayi. Apakah Priyayi juga memiliki perasaan yang sama terhadapnya? Bagaimana jadinya hubungan mereka dengan pacar masing-masing? Juga, gimana jadinya pernikahan mereka itu?
Tema cerita yang diusung oleh Lusiwulan dalam novel ini memang klise. Dua orang cewek-cowok terpaksa tinggal satu rumah. Lalu melakukan “hal yang bikin keenakan” itu tanpa sengaja (kalau nggak sengaja, gimana bisa? Hahah). Terpaksalah juga mereka menikah, padahal tak saling cinta. Salah satu dari mereka, atau keduanya, (saling) jatuh cinta. Alur cerita ini memang gampang ditebak, tapi anehnya, novel ini laris manis, sampai cetak ulang ketiga kali, lho! Gimana bisa begitu?
Menurut saya, mungkin karena:
(1) gaya bahasa Lusiwulan yang mengalir lincah, bikin pembaca betah, apalagi dengan banyolannya yang jayus. Cocok banget buat bacaan hiburan. Kayak begini contohnya: “Lantaran mereka semua hidup di alam, maka berlakulah hukum alam, salah satunya adalah manusia boleh berencana, tetap Tuhan-lah yang menentukan. Jadi, selalu ada satu-dua hal meleset di luar rencana. Pasangan yang pakai kontrasepsi aja bisa kebobolan, apalagi yang bukan pasangan. Lho, kok gini analoginya?!” (halaman 29-30). Haha, silakan ngakak :p.
(2) meski begitu, tetap ada pesan moral yang disampaikan oleh Lusiwulan secara lugas dan sederhana. Seperti ini: “Kalau terus saja terpaku memikirkan dan menyesali itu, kapan kita maju untuk melanjutkan hidup? Walaupun untuk kesalahan itu berarti kita harus siap menerima konsekuensinya...” (halaman 86)
(3) nggak banyak deskripsi tempat. Semua setting diceritakan oleh Lusiwulan dengan singkat, sederhana, tapi cukup memberi gambaran pada pembaca. Penulis lebih menekankan interaksi interpersonal dan intrapersonal tokohnya. Hal ini membuat cerita dengan lincah melompat dari satu adegan ke adegan lainnya, terasa asyik bagi pembaca. Mungkin jika ini adalah novel yang berkonsep jalan-jalan, atau semacam seri STPC-nya Gagasmedia, poin ini justru akan menjadi kelemahannya.
(4) saya pribadi sangat suka dengan keberadaan subbab-subbab pada novel ini, bikin nggak bosan (saya selalu suka novel yang terdiri dari bab yang pendek-pendek, tapi jika bab itu lumayan panjang, dengan adanya subbab akan sangat membantu agar tak jenuh). Dan subbab itu juga lucu-lucu, unik, dan bikin penasaran. Matahari terbit, suplai oksigen (halaman 86). Perayaan, “uji akting” (halaman 159). Seharian, sesuatu yang lain (halaman 206). Smart idea, Kak Lusiwulan! Jadi pengen mencoba bikin novel dengan subbab unik kayak begitu. Hehehe.
(5) novel ini.... ANTI TYPO!!!! (maksudnya, ada typo tapi dikiiiiit banget, yang jelas nggak mengganggu J).
Selain alasan-alasan itu, saya juga suka dengan cara berpikir Priyayi. Bahwa ia tak setuju dengan cara pandang Kakeknya dalam menghadapi insiden yang menimpa cucunya itu. Yaitu tentang kehormatan, yang mengalahkan perasaan dan kasih sayang. Pandangan seperti ini umum dimiliki oleh para orangtua zaman bahula.
“Kenapa menyelamatkan muka lebih penting, Kek? Kenapa nggak nerima aku apa adanya?” (halaman 118)
Di sisi lain, saya setuju dengan sikap Mama dan Papa Priyayi yang menerima anaknya apa adanya, tanpa menghakimi. Meskipun awalnya mereka syok.
“Apapun kesalahanmu, selama kamu menyesalinya, mama dan papamu akan menganggap itu berlalu, cuma sedikit masa lalu. Masih banyak yang lebih baik di depan.” (halaman 83)
Keren banget. Merekalah contoh orang-orang dewasa yang BENAR-BENAR DEWASA. Meski, saya yakin, masih jarang di Indonesia orang tua yang berpikiran seperti itu, mungkin termasuk orang tua saya (sungguh disayangkan).
Satu hal yang agak mengganggu saya adalah, kadang, penjelasan tentang setting waktu dan tempat terlalu minim (meski ini salah satu poin lebih dari novel ini), hingga kadang saya bingung ini kejadian kapan dan di mana. Padahal tadi lagi ngapain, kok sekarang ngapain. Juga ada beberapa adegan dialog tanpa keterangan siapa yang bilang apa, membuat agak bingung.Overall, saya suka buku ini. Ceritanya ringan, cocok sekali untuk para pembaca yang sedang ingin membaca novel sebagai hiburan, nggak pake mikir berat ^^.

Resensi SATIN MERAH "Aku Cuma Ingin Jadi Signifikan"



Judul Buku                            : Satin Merah
Penulis                                  : Brahmanto Anindito dan Rie Yanti
Tebal                                    : xiv + 314 halaman
Penerbit/cetakan                   : Gagasmedia/Cetakan pertama, 2010
ISBN                                   : 979-780-443-7
Harga                                   : Rp 37.000,00

Pertama kali membaca judul novel ini, saya membayangkan kain satin berwarna merah, yang mungkin nanti  akan muncul di dalam alur cerita. Apalagi cover depannya juga berhiaskan gambar abstrak semacam gumpalan kain berwarna merah. Saya tercengang begitu sampai di sekitar ¾ bagian novel, pada bab 62 yang menjelaskan secara eksplisit apa itu “satin merah”. Beneran tak terduga, jauh sekali dari persepsi saya, seperti jika Anda mendengar frasa “white collar” dan mungkin langsung muncul bayangan kemeja berkerah putih, padahal arti sebenarnya adalah “pekerja kantoran”. Hehe.
Beralih ke sub judulnya, yang sungguh menarik, “Aku cuma ingin jadi signifikan.” Signifikan yang bagaimana? Jadi orang penting yang seperti apa? Pertanyaan ini terjawab oleh paragraf pertama sinopsis pada cover belakang, “Satu-satunya cara untuk membuat Nadya merasa dirinya berharga dan ‘terlihat’ adalah dengan selalu berprestasi. Tapi seiring waktu berlalu, dia mendapati sinarnya kian memudar. Nadya tak ingin terlupakan. Dia merasa harus membuat gebrakan prestasi untuk membuat pujian dan tatapan kagum kembali tertuju padanya.”
Novel ini diawali dengan ditemukannya dua mayat sastrawan Sunda di pekarangan dan bak mandi rumah salah seorang dari almarhum itu. Jelas sekali bahwa mereka korban pembunuhan. Tapi, siapa yang melakukan perbuatan keji itu? Dan apa motivasinya?
Nindhita Irani Nadyasari atau biasa dipanggil Nadya adalah seorang murid kelas 12 SMA Priangan 2 Bandung. Ia termasuk ke dalam jenis murid yang study-oriented, selalu menyabet predikat ranking satu selama ia sekolah. Tapi adiknya, Alfi, makin bertumbuh menjadi seorang anak yang langganan mewakili sekolahnya dalam berbagai lomba dan tak jarang meraih juara. Hal itu menenggelamkan kecemerlangan Nadya, lantaran prestasi yang ia raih membosankan, itu-itu saja, yaitu menjadi ranking satu di kelas. Ditambah lagi dengan omelan-omelan dari orangtuanya yang sering membandingkannya dengan adiknya, makin membesarkan api kemarahan Nadya.
Datanglah satu kesempatan untuk menunjukkan bahwa ia mampu berprestasi. Untuk kembali merebut perhatian orang-orang di sekitarnya. Lomba siswa teladan se-Bandung-Raya itulah yang ia manfaatkan baik-baik untuk menyedot pujian-pujian dari seantero Bandung jika ia berhasil menjadi juara. Sampailah ia pada seleksi tahap ketiga, yang mengharuskannya menulis karya ilmiah dalam jangka waktu tiga bulan. Berbagai topik karya ilmiah diluncurkan oleh teman-temannya, semacam global warming, tapi ia butuh tema yang menantang.
“Sebuah tema yang tidak banyak diketahui orang, terutama oleh para kompetitornya di lomba ini. Namun, tema itu juga harus siginifikan...” (halaman 8)
Lantas, tanpa sengaja, suatu topik unik muncul di benaknya: sastra Sunda. Topik ini menimbulkan komentar negatif nan skeptis dari teman-temannya, Diana dan Valen, yang menyebabkan hubungan mereka merenggang. Hanya Echa-lah yang tetap setia menjadi temannya hingga akhir. Bahkan papanya juga tak menyetujuinya.
“Kamu ini ya, Sastra Sunda aja dipikirin! Ngapain sih, mau-maunya! Biar orang desa yang lebih berbakat kesenian yang ngurusin perkara remeh gitu. Di keluarga kita, nggak ada darah-darah sastrawan, tau nggak? Kamu mau jadi apa, Naaak, ngurusin sastra itu mau jadi apaaaa? Orang kere di Indonesia ini udah banyak!” (halaman 161)
Tak masalah. Tak ada yang mampu menghentikan Nadya jika ia sudah kerasukan roh ambisius seperti ini.
Langkah awal yang ia lakukan adalah mencari informasi lewat internet, tentang perkembangan sastra Sunda. Tapi pencarian itu tak membuahkan hasil yang memuaskan. Akhirnya ia mencari alamat dan mewawancarai para tokoh sastra Sunda, sekaligus meminta mereka menjadi mentornya yang akan mengajarinya menulis. Tokoh pertama yang ia datangi adalah Yahya Soemantri, seorang sastrawan yang hidup soliter, dingin, dan bermulut pedas. Cerpen yang Nadya buat dengan penuh usaha keras itu malah dicecarnya habis-habisan, memancing kemarahanNadya. Kemudian ia beralih ke tokoh lainnya, penulis yang memiliki spesialisasi genre kriminal, Didi Sumpena Pamungkas. Awalnya, ia belajar dengan penuh semangat lantaran Didi tak seperti Yahya; beliau humoris dan menyenangkan. Namun Nadya jadi panas dingin ketika Didi menunjukkan gelagat ingin menguak kebenaran di balik menghilangnya Yahya, teman sesama sastrawan Sunda.
Melalui jejaring sosial facebook, Nadya berkenalan dengan penulis lain, Nining, seorang wanita ramah, lembut, dan penuh cinta. Beliau selalu mendasari tulisannya dengan tema cinta. Orang ini juga mempopulerkan korelasi antara sastra dan terapi jiwa. Nadya juga ingin memiliki ilmu ini, di mana ia akan bisa memberi sentuhan cinta pada karya-karyanya. Tatkala ia telah berhasil memilikinya, seorang dosen Sastra Sunda Unpad, Lina Inawati, yang juga teman Nining, mengajaknya berkenalan lantaran tertarik akan karya-karya Nadya yang ia post di facebook.
Di sisi lain, Lina heran akibat meninggalnya orang-orang dekatnya dengan misterius. Mulai dari Yahya (pamannya), Didi, hingga Nining, sahabatnya. Ia pun mencurigai seseorang di facebook bernama Lotus, yang menge-post karya-karyanya di grup Sastra Sunda Plus (SS+). Kecurigaan Lina itu beralasan, kecermatannya membuatnya melihat kemiripan karya-karya Lotus dengan almarhum Yahya, Didi, juga Nining. Pada akhirnya, beliau juga mencurigai Nadya, karena ia ada di rumah Nining malam sebelum wanita itu meninggal akibat diracun.
Akankah Lina berhasil mengungkap siapa sebenarnya Lotus? Dan apakah benar ia pembunuh para sastrawan itu?
Apakah fenomena “energi putih”—penampakan berupa energi serupa mega putih di mimpinya, yang menandai bahwa ia sudah mewarisi ilmu-ilmu seseorang setelah ia bertemu dan berguru secara langsung dengan orang itu—yang sering dialami Nadya dan sudah menyimpang jauh itu akan dapat ia kendalikan?
“Tema yang nyaris tak tersentuh oleh penulis zaman sekarang. Dipadukan dengan kehidupan anak muda yang sangat akrab dengan teknologi internet. Menarik banget. Unik. Orisinal.” Begitulah testimoni dari Feby Indirani terhadap novel ini. Saya setuju dengan pendapat itu. Sebuah kisah misteri diwarnai secercah fantasi (tentang fenomena aneh “energi putih” itu), yang dibangkitkan oleh roh kesusasteraan Sunda, dan kejadian serta setting yang dekat dengan dunia nyata anak muda. Diolah secara apik oleh dua orang penulis ini, yang melakukan aktivitas penulisan hanya lewat jagat maya. Bagi saya, itu keren sekali. Tanpa pernah bertatap muka, mereka berdua berhasil menjalin kreativitas hingga mewujud jadi novel Satin Merah.
Jujur, saya selalu menyukai novel dengan bab-bab yang pendek-pendek. Oleh karena itu, saya puas membaca buku ini, bagaimana tidak, hanya dengan tebal 314 halaman, novel ini terbagi menjadi 81 bab. Teknik penulisan semacam ini berhasil menarik saya mengikuti alurnya yang menegangkan tanpa menjadi bosan.  Meski suasana yang dihadirkan oleh novel ini tegang dan kelam (hasil injeksi Brahm), tetap tak kehilangan keindahan unsur puitis sastra Sunda (ciptaan Rie Yanti). Alur yang dibangun pun turut membikin suasan tegang, dengan mengisahkan secara maju dan mundur. Misalnya ketika terakhir kali Nadya bertemu dengan Yahya pada bab 16, dan pada bab 26 baru diceritakan kembali kejadian bagaimana Yahya meninggal. Jarak yang lumayan jauh ini berhasil menghindarkan kebingungan pada pembaca tentang setting waktu.
Kedua penulis ini juga berhasil menciptakan penokohan yang kuat, terutama untuk Nadya. Tergambar secara konsisten bagaimana sifat gadis itu: arogan, ambisius, penuh rasa ingin tahu, tak sabaran. Juga bagaimana lembutnya Nining. Dinginnya Yahya. Humorisnya Didi. Cerdas & penuh curiganya Lina.
Namun yang disayangkan, meskipun novel ini bergenre misteri, tapi menurut saya kurang narasi aktual di bagian ketika Didi, Nining, dan Hilmi dibunuh. Ketiga kasus itu hanya diceritakan melalui tokoh figuran lain. Lalu ada satu peristiwa yang masih mengusik logika saya hingga saat ini (setelah dua kali saya baca Satin Merah), yaitu adegan meninggalnya Nadya. Tubuhnya gosong tersambar petir dan mati. Bukankah petir itu akan mencapai puncak benda yang paling tinggi lebih dulu? Maka dari itu, dipasang penangkap petir pada gedung-gedung tinggi, bukan, yang akan mengalirkan energi listrik petir itu ke tanah, jadi tak berbahaya? Nah, yang aneh adalah Nadya tersambar petir di kawasan yang dihuni bangunan tinggi (menurut deskripsi novel itu, kafe Terakota yang ada di jalan itu saja terdiri dari dua lantai, kan?). Jadi, bagaimana bisa tubuh Nadya yang diincar si petir? Kecuali jika memang kejadian ini dimaksudkan sebagai peristiwa gaib.
Terlepas dari itu semua, saya hendak memberi tepuk tangan untuk novel ini. Sukses memperkaya tulisan fiksi anak bangsa di genre thriller, di mana Indonesia masih miskin saat ini. Sudah saatnya para penulis Indonesia melirik dan menggarap tema-tema yang unik. Apalagi berani mengolah unsur lokalitas berpadu dengan kemodernan zaman seperti Satin Merah ini.
“Aku bersumpah jadi sastrawan yang siginifikan. Nggak bakal ada lagi orang yang meremehkan Sastra Sunda!” (halaman 279)



6 August 2013

Resensi BANGKOK, THE JOURNAL "Telusurilah Bangkok dan Temukan Warisanmu!"





Judul Buku                        : Bangkok, The Journal
Penulis                              : Moemoe Rizal
Tebal                                : viii+436 halaman
Penerbit/cetakan               : Gagasmedia/Cetakan pertama, 2013
ISBN                                : 979-780-629-4
Harga                               : Rp 57.000,00

Kita semua mungkin pernah melakukan kesalahan terhadap orangtua kita. Ada yang langsung termaafkan, tapi ada pula yang meninggalkan luka dan penyesalan yang dalam, hingga mengendap bertahun-tahun. Itulah yang dialami oleh tokoh utama novel ini, Edvan, si arsitek muda, ganteng (yang katanya lebih ganteng daripada Chaiwat Thongsaeng, artis Thailand), narsis, dan baru saja mencapai kesuksesan karirnya. Sekilas ia tampak sempurna sebagai seorang pria. Tunggu dulu. Di balik kesempurnaan “eksterior”-nya itu, sebenarnya “interior” hatinya menyimpan penyesalan tentang ibunya.

Lantas, apa yang akan kaulakukan jika kau mendapat berita tentang kematian ibumu, yang sudah kaubenci dan kautinggalkan selama sepuluh tahun?
Pasti kau akan langsung pulang ke kampung halamanmu demi melihat wajah ibumu untuk terakhir kali. Begitu jugalah yang dilakukan Edvan, setelah ia mendapat kabar dari adiknya, Edvin. Sayang sekali, ia sampai di pemakaman ibunya setelah ahli kubur menimbuni peti ibunya dengan tanah.  Kepulangannya ke tanah air ternyata juga membawa kejutan lain: adiknya menjelma menjadi seorang wanita cantik dan anggun yang mirip ibunya, dan meminta dipanggil “Edvina”. Edvan tak bisa menerima kenyataan itu awalnya; sulit untuknya menerima kenyataan bahwa adiknya yang dulu laki-laki itu kini adalah seorang wanita.
“Manusia nggak pernah bisa diterima di dunia kalau menjadi diri sendiri.” (Edvin—halaman 26)
Bukan itu saja. Edvin memberi kejutan lain. Sebuah warisan dari ibu mereka, yang beliau ingin berikan kepada Edvan. Apakah uang? Rumah? Emas? Saham? Not at all. Nyatanya, yang disodorkan oleh Edvin adalah selipat kertas kalender yang telah menguning, dengan jurnal ibunya di baliknya. Jumlah jurnal bertanggal tahun 1980 itu ada tujuh, dan Edvan harus mencari sisanya (enam) yang tersebar di kota Bangkok.
“Semua jurnal ini tersebar di Bangkok, Thailand. Lokasi jurnal sebelumnya, selalu ada di jurnal sesudahnya... Ibu cuma pengen Kakak mengumpulkan semua jurnal itu, merangkaikan, dan menemukan warisan Ibu dari situ...” (Edvin kepada Edvan—halaman 33)
Untuk pertama kalinya, Edvan Wahyudi melepas gentleman’s dignity-nya, dan menjadi anak yang baik bagi ibunya, untuk menebus kesalahannya dulu. Ia mengambil cuti dari kantor, meninggalkan proyek-proyek besar yang mungkin akan bisa dipegangnya jika ia tak pergi ke Bangkok, dan memulai pencarian mustahil itu bersama Charm, seorang gadis Thailand yang hafal seluruh sudut kota Bangkok. Pencarian itu ternyata tak semudah perkiraannya. Dibantu juga oleh Max, adik Charm, satu persatu jurnal itu terkumpul.

Kebersamaan Edvan bersama Charm membuatnya terjangkit fenomena “witing tresno jalaran saka kulina”. Namun, sikap Charm tiba-tiba berubah, setelah Edvan menyatakan cinta padanya. Ia menjaga jarak dan sering menghilang, seolah ada sesuatu yang dirahasiakannya. Meratapi nasib cintanya yang tak berjalan mulus, kebingungan yang melandanya akibat pertanyaan, apa yang salah dari dirinya hingga Charm tak menerima cintanya? Pada akhirnya, ia mengetahui bahwa bukan dirinya yang salah. Bukan juga Charm.
Perjalanan di Bangkok itu telah mengubah Edvan, memberinya sudut pandang baru terhadap hal-hal yang selama ini diyakininya. Sembari menapaki kisah masa lalu Artika, ibunya, melalui jurnal-jurnal itu. Juga bertemu dengan orang-orang yang masa lalunya pernah menjadi cerah karena ibunya. Pertemuannya dengan seorang waria di Wang Lang market dan seorang ibu yang memuja anaknya yang seorang stripteaser waria di sebuah bar, memberinya pencerahan baru. Bahwa ia dapat menerima adiknya seutuhnya, tanpa menghakiminya lagi. Bahwa adiknya adalah satu-satunya keluarga yang ia punyai.
“Kau tak perlu menerima kehadiran mereka... Buatku, waria seperti anakku, yang sering menghormati aku, jauh lebih baik di banding laki-laki jantan yang berdosa terhadap dirinya sendiri. Harusnya manusia dinilai dari apa yang dia lakukan pada orang lain, bukan pada dirinya sendiri semata.” (halaman 297)
Lalu, pertemuan tak disengaja dengan sepasang kakak beradik: bocah lelaki bernama Monyakul dan adiknya yang waria bernama Kanok menyadarkannya untuk menjadi dirinya sendiri saat mencintai seseorang. Kemudian, hal itulah yang dilakukannya pada Charm. Akankah Charm menerima cintanya? Apakah Edvan lebih memilih proyek besar di Bang Kachao, atau kenangan manis bersama Charm dan Max? Dan apa sebenarnya yang disembunyikan Charm? Yang jelas, Edvan pada akhirnya berhasil menemukan warisan yang diberikan ibunya itu.

Novel ini adalah seri STPC (Setiap Tempat Punya Cerita) pertama yang saya punya, dan masih satu-satunya yang saya punya sampai saat ini. Haha. Pengennya sih,  bisa mengoleksi semuanya.

Dari awal membuka sampul novel ini, saya langsung disuguhi desain cover yang manis, ditambah dengan bonus post card bergambar pemandangan Bangkok (entah Bangkok sebelah mananya). Jadi nggak nyesel mengeluarkan uang 57 ribu ^^. Beranjak ke ilustrasi-ilustrasi yang terdapat di setiap halaman awal bab baru, yang menambah hawa Bangkok menjalari imajinasi. Juga saya sama sekali tak menyesal membeli novel ini, karena sinopsisnya menarik dan tidak menipu (akhirnya, hufh).

Dengan gaya penulisan yang mudah dicerna, ringan, kadang membuatmu terbahak karena kekonyolan tokoh-tokohnya, atau gara-gara footnote-nya yang dengan lihai, oleh Moemoe Rizal, dijadikan sarana curhat sang tokoh utama. Padahal, awalnya saya kira footnote itu akan sama dengan footnote  pada umumnya, tapi ternyata tidak. Haha, sifat humoris si penulis nampak sekali di sini (nggak tahu, sih, aslinya si penulis ini orangnya kayak gimana, hoho).

Kadang juga, kalimat-kalimat dalam novel ini membuatmu berpikir, lalu mengiyakan kebenarannya. Bahkan mungkin juga merenungkannya, membandingkan dengan pengalaman hidupmu sendiri. Lalu mungkin kau juga akan terharu atau menangis ketika sampai di bagian di mana Edvan benar-benar merubah sikapnya pada Edvin. Di situlah kehebatan gaya bercerita sang penulis.

Bangkok, The Journal ini bukanlah satu jenis novel yang akan sekadar menyuguhkan setting tempat yang terkenal saja di Bangkok, melainkan sampai ke sudut-sudut kota itu, dan detail-detail kehidupan di sana. Kelihatan sekali bahwa sang penulis tidak hanya googling tentang Bangkok, tapi benar-benar pernah bertualang ke sana.

Ada beberapa hal yang mengganggu saya pada novel ini. Pertama, sebagian kalimat percakapan dalam bahasa Thailand tidak ada terjemahannya. Mungkin karena penulis benar-benar memosisikan diri sebagai tokoh Edvan, yang saat itu tidak tahu apa arti dari kalimat-kalimat berbahasa Thailand itu. Tapi itu tetap mengganggu, lantaran membuat saya penasaran apa artinya. Kedua, ada adegan yang aneh buat saya, yaitu di mana seharusnya Charm sedang botak (menurut penjelasan sebelumnya) tapi lalu ada adegan ketika rambutnya tertiup angin. Ini membuat saya bertanya-tanya apakah ia memakai wig. Namun, diruntut dari adegan sebelumnya, Charm mengenakan skarf untuk  menutupi kepalanya yang botak. Jadi? Jadi, sebaiknya tak usah terlalu dipikirkan, karena hal tersebut tak mengurangi keasyikan membaca Bangkok, The Journal hehehe.

Wait, ada satu isu besar yang dibahas secara eksplisit oleh Moemoe Rizal di sini. Yak, isu seputar transgender. Dari novel ini, saya menangkap kesan pro oleh si penulis terhadap orang-orang yang memutuskan  mengubah kelamin. Memang, secara religius, hal itu salah. Tapi, secara manusiawi, kita tak bisa menyalahkan mereka. Mereka juga tak memilih Tuhan menciptakan mereka seperti apa. Yang jelas, dengan menjadi transgender, mereka telah menjadi diri sendiri, dan tahu bahwa mereka bahagia dengan hal itu. Berikut ini adalah beberapa quote favorit saya mengenai pandangan tentang kaum transgender.
“Karena ketika aku menjadi diri sendiri, aku bisa jadi orang yang berguna.” (Waria di Wang Lang Market—halaman  128)
“Bayangkan betapa monokromnya dunia kita kalau hanya manusia-manusia konvensional seperti kita yang menghuni. Tuhan punya tujuan ketika menciptakan Edvin seperti itu.” (Ibu Edvan—halaman 285)
Berkat Moemoe Rizal, saya jadi makin menyukai gaya bercerita penulis laki-laki Indonesia, selain Putu Wijaya dan Brahmanto Anindito (nanti saya akan menulis resensi novelnya juga ^^).  Satu kata untuk novel ini: เจ๋ง alias cěng alias COOL!
Sàwàtdee, kha!

bloggerwidgets