Judul Buku : Ground Zero (A Crime Behind
The Shadow)
Penulis : Chandra
Widayanthi, dkk
Tebal : 316
halaman
Penerbit/cetakan : de TEENS/Cetakan I, Maret 2014
ISBN : 978-602-279-129-4
“Peter, apa kamu percaya hantu?” tanyaku. (Ground Zero, hal. 302)
Apa kalian
percaya hantu?
“Tentu, Sir. Saya bertemu beberapa selama berjaga di lokasi.” (Ground Zero, hal. 302)
Tokoh Peter dalam cerpen Ground Zero,
cerpen yang dianugerahi sebagai cerpen terbaik #HororKotaNusantara, pernah
bertemu hantu saat ia berjaga di lokasi pasca pengeboman di Bali tahun 2002.
Apakah kalian juga pernah bertemu hantu—seperti yang dialami Peter? Kalau
pernah, apakah kalian takut?
“Tidak takut?”
“Takut, Sir. Tapi tugas adalah tugas. Saya lebih takut pada manusia yang diliputi benci daripada hantu.” (Ground Zero, hal. 302)
"Ground Zero" hanyalah salah satu dari 22
cerpen yang tergabung dalam kumpulan cerpen pemenang lomba #HororKotaNusantara
yang diadakan oleh Pak Edi Akhiles, CEO Diva Press, pada akhir tahun 2013 lalu.
Tajuk lombanya saja berembel-embel “Nusantara”, maka tak heran kita akan
menjumpai berbagai kisah horor dari berbagai kota di seluruh pelosok Nusantara.
Uniknya, banyak kisah hantu yang belum pernah saya dengar sebelumnya, sehingga
bisa disimpulkan bahwa para penulis kisah horor ini memiliki daya kreatif cukup
tinggi. Berbagai cerita hantu tersebar mulai dari kota-kota di Pulau Sumatera
(Bandar Lampung, Bukit Tinggi, Bengkulu, Palembang, Pematang Siantar),
Kepulauan Riau, Pulau Jawa (Yogyakarta, Bojonegoro, Boyolali, Depok, Surabaya,
Bandung, Cadas Pangeran, Kediri, Lamongan, Mojokerto, Wonosobo). Tak sampai di
situ, kita juga diajak bertualang hingga ke Pulau Bali (Sanur, Kuta), Pulau
Kalimantan (Samarinda), dan Pulau Sulawesi (Palu, Makassar). Jadi, salah besar
kalau ada yang beranggapan bahwa cerita hantu Nusantara itu hanya berkisar
antara Terowongan Casablanca dan Hantu Jeruk Purut.
Tokoh-tokoh dalam cerpen-cerpen ini
kebanyakan mengalami petualangan menghadapi hantu secara bersama-sama, seperti
pada cerpen “Ketika
Jarum Pendek Menyentuh Angka XII dan Jarum Panjangnya Menyentuh Angka IIII”
yang berlatarkan Jam Gadang, Bukit Tinggi. Tiga orang remaja masuk ke Jam
Gadang untuk mencari temannya, yang ternyata jiwanya ditawan oleh seorang hantu
nenek-nenek yang meminta tumbal 4 orang tiap jam 00.20. Itulah mengapa angka
empat pada Jam Gadang tertulis “IIII”, bukan “IV”. Ketiga remaja itu mengalami
akhir mengenaskan, seperti ending yang dialami oleh kebanyakan tokoh dalam
cerpen-cerpen lainnya. Banyak tokoh yang meninggal karena kesalahan yang tidak
ia lakukan, tapi si hantu telanjur membalas dendam, seperti dialami oleh tokoh
Winda pada cerpen “Inggris”. Winda yang terjebak di dalam Fort Marlborough,
Bengkulu, harus menghadapi teror sendirian. Hantu pemuda kurus yang ditawan
dalam penjara dan disiksa oleh tentara Inggris menuntut balas padanya hanya
karena Winda memiliki darah keturunan Inggris. Bukan hanya manusia, ternyata
hantu juga sering menggeneralisasi sesuatu hingga menimbulkan ketidakadilan.
Tapi, tenang saja, tidak semua tokoh mengalami
akhir yang mengenaskan. Malahan, ada yang dibantu oleh si hantu. Tokoh Rana,
seorang dokter kandungan, dalam cerpen “Jarum Gantung”, akhirnya dapat
mengetahui kenyataan yang disembunyikan oleh kekasihnya berkat petunjuk yang
diberikan oleh seorang hantu bernama Azizah. Begitu pula tokoh utama dalam
cerpen “Ground Zero”, yang dihantui oleh Maria, wanita asal Selandia Baru, seorang
korban Bom Bali I yang memberinya petunjuk untuk menemukan sisa-sisa mayatnya
dan menguburkannya dengan layak. Kebetulan, kedua tokoh di dua cerpen ini
berpikiran logis dan ilmiah; awalnya tidak memercayai adanya hantu. Beda lagi
dengan tokoh Kipli dalam cerpen “Onggo Inggi”, yang berhasil mengalahkan hantu
siluman bernama Ki Onggo, penunggu Sungai Bengawan Solo.
Ke-22 cerpen dalam antologi berjudul “Ground
Zero: A Crime Behind The Shadow” ini menambah pengetahuan tentang sejarah dan
mitos-mitos lokal Nusantara. Sebut saja, sejarah pembangunan Ambarukmo Plaza. Juga,
mitos tentang Negori Silop dalam cerpen “Tiyuh Beruyut”; cerita rakyat
Bojonegoro; mitos tentang "menggembok anak kecil" (“Onggo Inggi”, hal.
42) yang dapat menciptakan senyum di wajah saya ketika membaca cerpen horor. Ini
adalah salah satu bentuk kecerdasan penulis. Juga ketika si penulis “Onggo Inggi”
menyisipkan sedikit humor, seperti ketika Bapak dan Emak kebingungan
menjelaskan arti kata "menggauli" pada Kipli (hal. 45). Sosok penulis
cerdas lain juga bisa dijumpai lewat cerpen “Tikungan 33”, di mana ia mampu
menciptakan ketegangan dengan kisah yang hanya berlangsung dalam jangka waktu
pendek di satu latar tempat, itupun di dalam mobil di tengah jalan.
Selain keunggulan-keunggulan tersebut, saya
juga menemukan beberapa kejanggalan dan kekurangan dari cerpen-cerpen dalam
antologi ini. Namun, yang paling membuat dahi saya berkerut dan lidah tak henti
berdecak adalah cerpen “Rumah Sakit Kartika”. Gaya bercerita penulis kurang
luwes. Banyak kalimat tidak efektif, sehingga pembaca kurang bisa menangkap
maksud si pencerita, seperti tampak pada bagian berikut ini.
· 1. Hal.
26: "Kehilangan ekspresi seperti itu pasti akibat Doni."
2. Seharusnya, kalimat itu ditulis begini:
"Satpam itu kehilangan ekspresi seperti itu pasti gara-gara ulah
Doni." Eh, tapi, meskipun susunan kalimatnya sudah diperbaiki, saya tetap
tidak menangkap maksudnya. Apa hubungan antara "si satpam kehilangan
ekspresi" dengan "ulah Doni yang seenaknya"? Tidak logis, kan.
· 3. Kata
"kurusan" di halaman 26 paragraf 3, seharusnya "kurus".
Juga kata "darahan" pada paragraf 4 hal 35 seharusnya
"berdarah".
· 4.
Tidak
ada alasan kuat mengapa dihukum pergi ke rumah sakit yang sudah tutup karena
sering terlambat masuk kerja? Apa mereka disuruh bikin film dokumenter horor,
begitu (mengingat tokoh utama merekam segala kejadian dengan handycam)? Mungkin, tapi tidak ada
penjelasannya dalam cerpen ini (tokoh utama sedikit menyinggung ini di hal 24,
tapi tidak jelas juga).
· 5.
Terakhir,
mengapa gedung yang sudah tak terpakai masih dijaga oleh satpam?
Saya juga agak keberatan dengan cerpen “Bungaya”
yang tidak menegangkan sama sekali. Sangat disayangkan, pertemuan antara tokoh
utama dengan para hantu itu hanya sedikit diselipkan di akhir cerita, itupun
hanya lewat mimpi. Nah, biasanya ketika hantu sengaja meneror seseorang, maka
ada motif tertentu yang diusung si hantu tersebut. Kebanyakan adalah balas
dendam, seperti diangkat dalam cerpen “Pengantin Pasar Bubrah”, di mana si
hantu pengantin wanita membalas dendam pada semua lelaki beristri yang hendak
selingkuh, karena ia pernah diselingkuhi suaminya semasa hidupnya dulu. Motif
balas dendam juga diangkat oleh cerpen “Cantik Adalah Luka”. Bahkan, motif itu
bisa juga sesederhana “mencari teman bermain”, seperti tujuan hantu gadis kecil
dalam cerpen “Boneka”.
Saya hanya berani memberi bintang paling banyak
3, untuk 11 cerpen berikut. Salah satunya, "Inggris", adalah favorit saya.
· 1.
Onggo
Inggi
· 2.
Pengantin
Pasar Bubrah
· 3.
Inggris
· 4.
Ketika
Jarum Pendek Menyentuh Angka XII dan Jarum Panjangnya Menyentuh Angka IIII
· 5.
Cantik
Adalah Luka
· 6.
Jarum Gantung
· 7.
Darah Vietnam di Nusantara
· 8.
The Curse of The Twins
· 9.
Perjalanan Malam
· 10.
Ground
Zero
· 11.
Tikungan
33
Sementara itu, saya hanya memberikan bintang
2 atau 2,5 untuk cerpen-cerpen lainnya. Bukan karena saya jago banget nulis
cerpen horor (saya belum pernah bikin satupun cerita horor berhantu), melainkan
hanya karena bagi saya cerita-cerita tersebut kurang menyeramkan dan
menegangkan. Sampai saya membuka halaman terakhir buku ini, saya masih
bertanya-tanya: mengapa subjudul antologi ini “A Crime Behind The Shadow”?
Karena saya belum menemukan relevansinya dengan cerpen-cerpen di dalam antologi
cerpen ini. Malah, saya teringat film sekuel Sherlock Holmes—A Game of Shadows.
Hehehe.
Cerpen-cerpen ini mengusung pesan: jangan meremehkan mitos-mitos berbau makhluk gaib. Mereka ada, hanya saja tak kasat mata bagi kita (mungkin tidak bagi beberapa dari kita). Jika kita tidak mengganggu mereka, mereka juga tak akan mengganggu kita. Jadi, masih nggak percaya adanya hantu?
keren sekali reviewnya, kak. terima kasih atas 3 bintang untuk cantik adalah luka. salam.
ReplyDeletesama
Deleteaih, keren juga cerpen horornya. salam balik :D
ReplyDeleteHai ka fridaaaa :) welcome to BBI :)
ReplyDeletehai :D salam kenal ninda ^^
ReplyDelete